Mubadalah.id – Nabi Muhammad Saw pernah menegaskan bahwa kami tidak pernah diperintahkan untuk memulai perang untuk mengajak (dakwah) orang mengikuti agamanya.
Keberhasilannya mengajak (dakwah) orang kafir beriman kepadanya lebih karena sikap hidup, tingkah laku, dan tutur katanya yang menawan hati.
Islam mengajarkan kepada kita bahwa mengajak kebaikan haruslah kita lakukan dengan cara yang baik pula, bahkan lebih baik.
Para ulama Islam juga menegaskan suatu norma: “Adh-Dharar la yuzalu bi adh-dharar (Kerusakan tidak boleh dihilangkan atau diatasi dengan cara merusak).”
Al-Qur’an menyatakan:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl (16): 125).
Ada kisah yang menarik bagaimana para sahabat Nabi Saw memberikan ruang aman bagi orang beragama lain dalam menjalankan ibadah. Ketika Ali bin Abi Thalib berangkat ke luar kota bersama teman-temannya, ia melihat orang-orang Yahudi sedang menjalankan sembahyang di sinagog (tempat ibadah) mereka. Kepada para sahabatnya, ia mengatakan:
“Kami diperintahkan Nabi Saw untuk membiarkan mereka menjalankan apa yang mereka yakini.”
Abu Bakar ash-Shiddiq
Sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, saat memberikan pengarahan kepada para prajurit yang akan berangkat untuk perang, mengatakan hal yang senada:
“Kalian tentu akan melewati suatu komunitas yang tengah tekun beribadah di dalam gereja mereka. Maka biarkanlah mereka menjalankannya.”
Demikianlah teks-teks Islam dan praktik kenabian berbicara tentang kerahmatan, keadilan, dan toleransi. Seyyed Hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim kontemporer terkemuka, mengatakan:
“Jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, universalitas, kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan. Termasuk pemenuhan segala tanggung jawab manusia, dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup. Jantung atau inti Islam mengisyaratkan kepada kita untuk bangun dari mimpi yang melalaikan, ingat tentang siapa diri kita dan mengapa kita ada di sini. Serta untuk mengenal dan menghargai agama-agama yang lain.”
Maka, sudah saatnya kita, terutama para tokoh agama, duduk bersama dalam suasana hati yang tenang dan pikiran yang jernih tanpa prasangka. Hal ini dapat merumuskan kembali agenda bersama dalam kerangka menciptakan relasi manusia yang harmonis, damai, dan menyejahterakan.
Pertemuan dan dialog antar para pemimpin agama kita harapkan dapat melahirkan rekomendasi-rekomendasi mendasar dan strategis bagi hubungan baik antar kelompok-kelompok keagamaan dalam ruang internalnya masing-masing. Maupun antar para pemeluk agama-agama (relasi eksternal) untuk kehidupan kita hari ini maupun hari esok yang panjang.
Para tokoh agama adalah panutan masyarakat. Kepada merekalah rakyat dan masa depan bangsa ini bergantung. Sebuah pepatah mengatakan: “An-nas ala dini mulukihim.” Cara hidup dan berkehidupan rakyat adalah cara hidup para pemimpinnya.
Kemudian, Imam al-Ghazali, mengutip para bijak bestari mengatakan: “Kelakuan rakyat adalah produk dari kelakuan para pemimpin mereka. Karena mereka (rakyat) belajar dari mereka dan mematuhi mereka.” []