• Login
  • Register
Minggu, 15 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Terbuang Tetap Sayang: Perjalanan Menjadi Difabel Bermakna

Zahra Amin Zahra Amin
17/02/2025
in Personal
0
Difabel Bermakna

Difabel Bermakna

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

 “Mbak Zahra terima kasih ya!”

Mubadalah.id – Kalimat singkat dan lugas itu disampaikan Stella, salah satu peserta Akademi Mubadalah 2025 saat kami bertemu di lift Hotel Tara Yogyakarta. Aku masuk lebih dulu, lalu Stella dengan seorang pendamping ikut masuk mendorong kursi rodanya. Ya, kataku, sama-sama. Ada rasa haru yang diam-diam menyelinap. Aku tentu saja sangat bangga, Stella telah menjadi difabel bermakna.

Istilah difabel bermakna aku pinjam dari pengertian partispasi anak muda bermakna, di mana dalam situasi yang sama kita juga bisa melibatkan teman-teman difabel secara aktif. Sebagaimana penuturan Stella melalui karya bukunya Terbuang tetap Sayang.

Melalui buku ini, Stella menceritakan perjalanan hidupnya, dari seseorang yang tidak diinginkan karena keterbatasan fisik yang ia miliki, hingga menjadi aktivis, penulis dan insiator kegiatan bersama komunitas difabel lain di kota kelahirannya, di Jombang Jawa Timur.

Nyalakan Lilin

Kehidupan yang harus Stella jalani memang tak mulus, bahkan penuh dengan duka dan air mata. Sejak lahir, ia merasa berbeda dan mendapat perlakuan berbeda pula dari lingkungannya. Tatapan kasihan dan merasa tak diinginkan kerap ia rasakan. Ia kemas bahasa ketakberdayaannya itu dalam puisi dan tulisan panjang tentang diri.

Menilik perjalanannya kini, Stella telah mampu menjadi difabel bermakna. Ia menjelma lilin yang menjadi terang bagi kegelapan di sekitarnya. Baginya, tak ada alasan untuk berhenti bermimpi dan meraih cita-cita. Meski keinginan bisa kuliah harus tertunda 10 tahun, tapi ia tetap merasa bersyukur telah berhasil mewujudkannya.

Baca Juga:

Belajar dari Malaysia Soal Akses Difabel

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Aku jadi teringat apa yang Buya KH Husein Muhammad sampaikan ketika menjadi nara sumber materi Fiqh Disabilitas dalam kegiatan yang sama. Kata Buya, jangan hanya mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lilin untuk meneranginya.

Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Martin Luther King, seorang menteri, aktivis, dan pemimpin terkemuka dalam gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Sudah lebih dari 50 tahun sejak dia dibunuh pada tahun 1968, namun kata-kata bijaknya tetap relevan hingga kini.

“Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that.”                                                                                                                               

“Kegelapan tidak dapat mengusir kegelapan; hanya terang yang dapat melakukan hal itu. Kebencian tidak dapat mengusir kebencian; hanya cinta yang dapat melakukan hal itu.”

Duka tak Pernah Abadi

Stella mungkin hanya satu orang dari sekian banyak difabel perempuan di Indonesia. Namun suaranya telah mewakili difabel lainnya yang sunyi, dan penuh luka. Hal ini nampak dalam puisi di bagian pertama yang berjudul “Terbuang”.

Aku terlahir tanpa pelukan. // Rimbun sampah pinggir jalan. // Tangis membabi buta. // Mencari peraduan. // Terbujur kaku. // Tubuhmu tak ada di sampingku. // Aku bermunajat di siang malam. // Agar kau pulang. // ketuk denyut jantungnya. // gerak langkah kakinya. // tuk surga yang kurindu. // ibu.

Akhirnya melalui pengalaman pribadi Stella menjadi difabel bermakna ini, kita tahu duka tak pernah abadi. Kabar baik akhirnya ia terima pada 13 September 2020, di mana ketika menerima kepastian bisa melanjutkan kuliah. Meski harus menunggu 10 tahun, sebagaimana Stella tuliskan dalam bukunya.

“Doa yang dilangitkan kepada semesta setiap tahun, akhirnya menemukan sinar cahayanya.. Alhamdulillah saya melanjutkan mimpi yang tertunda selama 10 tahun. Bagi saya itu sangat lama, tapi bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Tidak mustahil jika Allah berkehendak..”

Difabel Bermakna

Melansir dari laman youthatheart yang menjelaskan tentang partisipasi anak muda yang bermakna, melalui tulisan pendek ini, aku menggantinya dengan difabel bermakna. Harapannya, teman-teman difabel juga turut ambil bagian secara aktif untuk bicara isu disabilitas di Indonesia.

Jika Partisipasi Pemuda yang Bermakna (MYP) adalah tentang memastikan kaum muda memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan, strategi, dan program yang memengaruhi mereka. Maka kita menggantinya dengan memastikan difabel memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat.

Ini berarti bekerja dengan difabel sebagai pemimpin, mitra, dan penerima manfaat, dan mendengarkan apa yang paling penting bagi mereka, dengan tujuan mempertimbangkan pandangan, perhatian, dan saran mereka dalam kebijakan, strategi, dan program kita.

Partisipasi difabel bukan hanya tentang bekerja dengan mereka dalam hal-hal yang menjadi agenda utama kita. Difabel juga harus memiliki kesempatan untuk menyuarakan agenda mereka sendiri. Bagian penting dari proses partisipasi adalah memastikan difabel mendapatkan informasi yang tepat tentang isu-isu yang sedang mereka hadapi dan proses yang mereka ikuti.

Apa yang aku sampaikan ini sejalan dengan pesan dari founder Mubadalah.id Dr Faqihuddin Abdul Kodir dalam kegiatan Akademi Mubadalah 2025. Bahwa dalam konteks disabilitas, tidak hanya kita yang bicara isu disabilitas, tapi juga teman-teman disabilitas juga yang akan bicara tentang hak-hak disabilitasnya.

Jadi, kata Kiai Faqih, kita tidak sekadar tahu tapi mengalami. Yang mengalamilah yang harus memberi fatwa. Beri kesempatan yang mengalami untuk membuat fiqh disabilitas. Membuat ekosistem, lingkungan yang memberikan kemungkinan bagi difabel untuk berfatwa dan membuat kebijakan. []

 

Tags: Akademi Mubadalah 2025Difabel BermaknaFiqh DisabilitasInklusiIsu Disabilitas
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Jadi Perempuan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

14 Juni 2025
Perempuan Berolahraga

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

13 Juni 2025
Humor

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

13 Juni 2025
Menyulam Spiritualitas

Menyulam Spiritualitas dan Rasionalitas: Belajar Menyebut Nama Tuhan dari Perempuan Abad 16

12 Juni 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

11 Juni 2025
Devotee

Mengenal Devotee: Ketika Disabilitas Dijadikan Fetish

10 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

    Ketika Rumah Tak Lagi Aman, Rumah KitaB Gelar Webinar Serukan Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ayat Al-Qur’an tentang Relasi Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?
  • Bagaimana Mewujudkan Perkawinan yang Kokoh dan Penuh Kasih Sayang?
  • Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara
  • Ayat Al-Qur’an tentang Relasi Suami dan Istri
  • Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID