Mubadalah.id – Tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat plural. Pluralitas ini terjadi bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama. Sehingga, kemajemukan di Indonesia tidak mungkin bisa dihindari.
Keberagaman telah menyusup dan menyangkut dalam berbagai ruang kehidupan. Tidak saja dalam ruang lingkup keluarga besar seperti masyarakat negara. Bahkan dalam lingkup keluarga, pluralitas juga bisa berlangsung. Setiap orang senantiasa berada dalam dunia pluralitas.
Menghadapi pluralitas tersebut, yang dibutuhkan tentu saja bukan pada bagaimana menjauhkan diri dari kenyataan pluralisme tersebut. Tetapi pada bagaimana cara dan mekanisme yang bisa diambil di dalam menyikapi pluralitas itu.
Sikap antipati terhadap pluralitas, di samping bukan merupakan tindakan yang cukup tepat, juga akan berdampak kontra-produktif bagi tatanan kehidupan manusia yang damai.
Nasionalitas
Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja. Indonesia merekrut anggotanya bukan didasarkan pada kriteria keagamaan, tetapi pada nasionalitas.
Dengan perkataan lain, yang menemalikan seluruh warga negara Indonesia bukanlah basis keagamaan, melainkan basis nasionalitas (muwathanah).
Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil jerih payah seluruh warga bangsa, bukan hanya masyarakat Islam melainkan juga non Islam, bukan hanya masyarakat Jawa melainkan juga masyarakat luar Jawa.
Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya warga negara kelas dua. Umat non-Islam Indonesia tidak bisa kita katakan sebagai dzimmi atau ahl al-dzimmah dalam pengertian fikih politik Islam klasik.
Oleh karena itu, menjadikan nasionalitas sebagai aksis atau poros di dalam perumusan hukum Islam khas Indonesia adalah niscaya.
Artinya, kenyataan nasionalitas Indonesia mestinya merupakan batu pijak dari hukum Islam. Ini penting kita lakukan. Sebab, sebagai agama mayoritas, Islam (dan segala urusan yang berkaitan dengannya) tidak pernah menjadi urusan umat Islam sendiri.
Apa yang terjadi pada Islam dan umatnya kerap membawa dampak yang besar buat orang lain (al-akhar). Tentu, upaya ini tidak gampang kita lakukan di tengah kecenderungan untuk menghidupkan secara perus-menerus hukum (fikih) Islam klasik.
Akan tetapi, tetaplah harus kita upayakan bahwa realitas pluralisme merupakan faktor determinan di dalam memformat hukum Islam Indonesia. Penafian terhadap realitas tersebut hanya akan menyebabkan hukum Islam yang terbentuk mengalami keguguran sejak awal. []