Mubadalah.id – Jika nusyuz terjadi, baik oleh istri maupun suami, maka al-Qur’an menyarankan sejumlah mekanisme tindakan yang perlu ditempuh.
Pada kasus istri yang nusyuz, suami boleh melakukan tindakan kepada istrinya dengan cara menegur atau mengingatkan akan kekeliruan sikapnya itu. Jika tindakan ini sang istri abaikan, maka suami dapat melakukan cara pisah tidur (pisah tempat tidur). Jika cara ini masih juga tidak dipatuhi, maka suami berhak memukulnya.
Terhadap tindakan yang terakhir ini, para ulama fikih sepakat agar tidak melakukan pemukulan yang melukai, tidak mengenai wajah, dan tidak dengan alat yang keras.
Para ulama menyarankan dengan alat yang paling ringan, seperti “siwak” atau sapu tangan. Mereka berpendapat bahwa tindakan ini semata-mata sebagai “Ii at-ta’dib” (mendidik).
Jika sesudah tindakan ini keduanya sudah lakukan, namun masih juga belum ada perubahan, maka pada nusyuz sudah meningkat menjadi “syiquq”, konflik atau perpecahan.
Dalam kondisi ini proses perdamaian (arbitrase) dengan menghadirkan wakil dari masing-masing suami dan istri menjadi cara yang harus keduanya tempuh. Jika tidak mencapai kesepakatan, maka langkah terakhir adalah perceraian.
Bagaimana jika suami yang nusyuz? Al-Qur’an dengan tegas menyatakan agar melakukan perdamaian. Al-Qur’an menyatakan bahwa berdamai (ishlah) adalah jalan yang paling baik.
Sebagaimana perdamaian (ishlah) dalam kasus istri yang nusyuz, perdamaian untuk kasus suami yang nusyuz bisa ia gunakan. Yakni, menghadirkan wakil dari kedua pihak.
Mereka kemudian membicarakan jalan keluar untuk mengembalikan kondisi suami istri menghindari perceraian. Apabila jalan damai gagal, istri mendapatkan hak untuk melakukan khulu‘, yakni gugat cerai. []