Mubadalah.id – Para ahli fiqh di atas mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam memahami kalimat perintah menutup aurat pada al-Qur’an Surat al-Araf ayat 31. Sebagian ulama mengatakan bahwa “kenakan”, atau “pakailah”, dalam ayat ini merupakan perintah yang pada dasarnya menunjuk makna wajib.
Sementara sebagian yang lain, kata perintah itu bukan wajib, tetapi sunah saja. Bagi yang memahami perintah ini sebagai wajib, menutup aurat dalam ibadah adalah wajib. Bagi yang berpendapat bukan wajib, maka menutup aurat dalam ibadah itu adalah pilihan yang baik.
Selanjutnya perlu dikemukakan pula bahwa kata “zinah”, dalam ayat di atas, berarti perhiasan yang biasa dipakai pada bagian-bagian tertentu dari tubuh perempuan. Seperti cincin (al-khatam) di jari-jari manis, gelang (Siwar) di pergelangan tangan, dan anting (al-Qurth) di telinga.
Lalu kalung (al-Qiladah) di leher, gelang di kaki (al-Khalkhal), bahkan celak mata (al-Kuhl), dan pacara tangan dan kaki (Khidhab).
Ini semua adalah makna awal yang dimaksud pada kata “al-zinah” (perhiasan). Tetapi para ulama memaknainya sebagai pakaian yang indah dan bersih.
Inilah yang banyak para ulama pilih dan kemudian menjadi dasar kewajiban untuk menutup aurat. Terlepas dari perdebatan mengenainya, lalu bagaimana dan apa saja batasan-batasan tubuh yang harus ia sembunyikan (aurat) menurut hukum Islam (fiqh).
Para ulama, pertama-tama mengemukakan adanya kontroversi tentang batasan aurat antara laki-laki dan perempuan. Untuk aurat lelaki walaupun ada perbedaan dalam beberapa hal. Tetapi secara umum mayoritas ulama berpendapat bahwa aurat lelaki adalah anggota tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki.
Sementara untuk aurat perempuan ulama fiqh juga berbeda pendapat, tetapi secara umum perempuan lebih tertutup dari lelaki. []
Sumber : Buku Jilbab dan Aurat Karya KH. Husein Muhammad