• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Berumah Tangga Itu Belajar Menempa Diri

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
09/05/2018
in Kolom
0
belajar menempa diri

belajar menempa diri

49
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Berumah tangga adalah proses dialektik yang tidak pernah selesai. Ia ibarat sebuah medan pembelajaran, kawah penempaan ketakwaan kepada Tuhan, pendidikan kesadaran bahwa tak ada yang sempurna di hadapan Allah SWT.

Mubadalah.id – Banyak yang bilang, menikah itu gampang, berumah tangga itu yang susah. Menikah sebagai sebuah prosesi memang tak memerlukan banyak energi. Paling lama, prosesi pernikahan hanya beberapa hari. Bahkan ada yang berlangsung dalam tempo yang sangat singkat. Hanya beberapa jam. Tapi, berumah tangga akan berlangsung hingga di penghujung usia. Andai tanpa persiapan matang, semuanya bisa berantakan. Berumah tangga itu belajar menempa diri.

Berumah tangga memang susah karena menyatukan dua manusia yang berbeda itu tak mudah. Bisa jadi selama berpacaran dan berkenalan, satu pasangan dapat mengenal tabiat dan karakter satu sama lain. Dari pengalaman itu kemudian rasa pengertian dan penghormatan bisa timbul. Tapi tetap saja, karakter orang tak bisa dilihat sepenuhnya. Ibaratnya, yang kelihatan hanya puncak gunung es saja. Kedalamannya siapa yang tahu?

Pernah suatu waktu, salah seorang teman satu bangku waktu sekolah dulu bertanya padaku saat dia hendak melangkah ke jenjang pernikahan. Dia ragu gegara khawatir karakter jelek pasangannya akan keluar semua pas setelah menikah. Semasa fase pengenalan, yang dia tahu pasangannya adalah manusia sempurna. Hampir tak ada cacatnya.

Waktu itu saya hanya bisa memberikan saran, ketakutannya itu tak beralasan. Seseorang yang hendak menikah harus belajar ikhlas menerima segala kekurangan. Termasuk kekurangan yang belum tampak. Pasangan hidup yang baik adalah yang saling melengkapi, bukan yang sempurna. Sebab tak ada manusia sempurna di dunia ini. Kalau di akhirat nanti, mungkin saja ada.

Jadi alangkah baiknya jika menikah itu disadari sebagai sebuah gerbang menuju kepasrahan total kepada Tuhan. Kepasrahan itulah yang akan membimbing kita untuk menerima segala kekurangan pasangan maupun kekurangan yang ada pada diri kita. Berumah tangga adalah proses dialektik yang tidak pernah selesai. Ia ibarat sebuah medan pembelajaran, kawah penempaan ketakwaan kepada Tuhan, pendidikan kesadaran bahwa tak ada yang sempurna di hadapan Allah SWT.

Baca Juga:

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Andai tidak menikahi ‘orang lain’, keburukan diri tidak akan terlihat. Tapi karena menikah, kita jadi tahu bahwa yang selama ini kita anggap sebagai sebuah kebaikan bisa jadi justru sebaliknya. Pasangan bisa menjadi penjaga kita agar tidak terus melakukan keburukan. Pasangan bisa menjadi pengingat bahwa pikiran orang berbeda-beda dan penyatuannya sungguh sulit dilakukan.

Contoh kecil saja, dengan memiliki pasangan, segala kekurangan dalam diri itu diinsyafi sebagai sebuah retak-retak yang manusiawi. Sebuah alpa yang harus segera dihadapi dengan sikap siap memperbaiki diri untuk kebahagiaan bersama. Dengan begitu, pernikahan akan mengubah kemalasan menjadi kerja keras. Ketergantungan akan menjadi kemandirian. Keacuhan menjadi tanggung jawab. Segala gerak dan langkah berubah menjadi ibadah.

Memang ada beberapa ‘orang pilihan’ yang tidak menikah dan memilih untuk mengabdi pada pengetahuan dan masyarakat. Mereka bahkan memilih untuk mencintai hanya Tuhan. Mereka antara lain Ibnu Jarir al-Thabari, Imam Zamakhsyari, Sayyid Ahmad Badawi, Karimah Al-Marwaziyah, maupun Rabi’ah Al-Adawiyah. Sekali lagi, mereka adalah yang terpilih yang memilih jalan kehidupan yang sulit lagi sepi.

Tapi sebagai orang awam saya meyakini, setidaknya sampai hari ini, bahwa melalui pernikahan dan hidup berumah tangga, saya bisa mengetahui bahwa Tuhan Maha Pencipta begitu perkasa mencipta manusia dengan bentuk dan watak yang berbeda-beda. Kemudian Ia menyatukannya dalam sebuah ikatan suci yang sulit sekali untuk diterima akal. Bahwa yang berbeda itu menyatu dan saling menempa untuk menghasilkan manusia baru yang saling ikhlas menerima.

Saya juga meyakini bahwa penempaan diri di dalam hidup berumah tangga bisa terjadi hanya jika suami istri memiliki relasi yang setara dan mubadalah. Tanpa kesetaraan, mustahil dialog dan perbaikan diri suami maupun istri akan mewujud. Tanpa kesalingan, mustahil pula akan muncul kesadaran untuk menerima kekurangan dan saling melengkapi. Kesetaraan dan kesalingan adalah prasyarat bagi kehidupan rumah tangga agar menjadi jalan menuju kepasrahan total kepada Tuhan. Kata kiaiku, ketakwaan tak pernah lahir dari relasi yang timpang.[]

Tags: berumah tanggakeluargalaki-lakiperempuanRelasi
Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID