• Login
  • Register
Kamis, 19 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menyapih Anak, Tanggung Jawab Bersama

Shofi Puji Astiti Shofi Puji Astiti
10/10/2020
in Keluarga, Kolom
0
190
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tidak setiap Ibu mempunyai pengalaman menyapih, karena tidak setiap Ibu menyusui anaknya. Tapi setiap Ibu yang menyusui anaknya mempunyai pengalaman menyapih, beragam pengalaman tentang menyapih yang dirasakan seorang Ibu yang menyusui, karena setiap Ibu yang menyusui mempunyai pengalaman yang berbeda dengan karakter anak yang berbeda dan latar belakang keluarga yang berbeda.

Nah disaat seperti ini,  maka perlu disadari bersama, bahwa setiap Ibu dan anak responnya juga berbeda terkait pengalaman menyapih. Ada anak yang mudah sekali disapih, ada yang butuh perjuangan ekstra saat disapih. Dalam hal ini, tentunya semudah-mudahnya anak ketika disapih, ada masamya rewel dan hal tersebut adalah wajar, karena ada kebiasaan baru yang terjadi dalam dirinya, begitupun yang dialami seorang Ibu.

Ibu juga butuh adaptasi, butuh proses dalam menyapih anak, karena kebiasaan Ibu yang awalnya menyusui akan berubah menjadi tidak menyusui kembali. Pastinya ada rasa emosional yang bergejolak, ada rasa eman, takut kasih sayang anak akan berkurang, dan lain sebagainya. Ada juga yang merasakan sakit di payudara ketika dalam menyapih tidak dengan proses yang tepat, bisa menyebabkan payudara membengkak dan lain sebagainya.

Maka di saat seperti ini, dibutuhkan peran seorang kepala rumah tangga, yaitu Ayah sangatlah penting. Kerjasama dan motivasinya sangatlah dibutuhkan seorang anak maupun seorang Ibu. Kaena ketika Ibu memutuskan mau menyapih anak, maka harus dimusyawarahkan terlebih dahulu pada Ayah agar dalam proses menyapih akan menyenangkan, tidak membuat rasa takut dan lain sebagainya.

Ketika anak rewel, bantuan seorang Ayah penting, ketika seorang Ibu berjuang dengan perasaannya, berjuang dengan rasa sakitnya, dan berjuang dengan komentar dari orang lain maka dukungan ataupun motivasi dari Ayah sangat diharapkan. Saat menyapih, perasaan anak dan Ibu tidak stabil, jika mendengar komentar dari orang lain mudah sekali terbawa perasaan, maka Ayah yang menjadi orang terdekat, harus mampu memberikan rasa aman dan ketenangan. Tidak ikut-ikutan berkomentar yang akan memicu dan menambah rasa sakit yang dialami seorang Ibu.

Baca Juga:

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

Jika dalam proses menyapih ada kerja sama yang baik antar Ayah, Ibu dan anak, maka proses menyapih akan terasa menyenangkan, karena sejatinya menyapih bukan menjadikan hal negatif kepada anak dan Ibu, akan tetapi akan mendatangkan kebaikan-kebaiakan jika dalam proses menyapihnya tepat dengan kesalingan atau kerjasama yang baik dalam keluarga. Adapun manfaat menyapih dalam Islam, terdapat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 233.

“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban Ayah memberi makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang Ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang Ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian,” (Q.S Al-Baqarah: 233).

Dalam surat di atas, Allah SWT menegaskan, apabila seorang Ibu ingin menyempurnakan penyusuannya, mereka dapat melakukannya selama dua tahun. Namun, bila tidak menyusui bayinya hingga dua tahun, saat usia anak kurang dari dua tahun juga tidak mengapa. Biasanya menyapih dilakukan saat ia sudah bisa mengonsumsi MPASI (makanan pendamping asi) saat usianya 6 bulan. Tetapi, proses menyapih ini dilakukan secara bertahap, sampai anak dan Ibunya siap untuk menyapih. Sebagaimana yang tertera dalam lanjutan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 233.

“… Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Besar Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah : 233).

Tidak ada larangan jika anak disapih kurang dari dua tahun. Selama orang tua (Ayah Ibu) sama-sama rela dan tidak menimbulkan perselisihan yang dapat merusak rumah tangga. Bahkan bisa jadi (ada konsekuensi) hukumnya apabila si Ibu terus menyusui dapat menyebabkan sakit atau kematian baginya. Dalil hadis Nabi perihal ini adalah sebagai berikut:

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ : لَمَّا تُوُفِّيَ الْقَاسِمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَدِيجَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ دَرَّتْ لُبَيْنَةُ الْقَاسِمِ فَلَوْ كَانَ اللَّهُ أَبْقَاهُ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِضَاعَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ إِتْمَامَ رَضَاعِهِ فِي الْجَنَّةِ (رواه ابن ماجه)

Dari Fatimah binti Al Husain dari bapaknya Al Husain bin Ali ia berkata, “Tatkala Al Qasim putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, Khadijah berkata, “Wahai Rasulullah, air susu Al Qasim melimpah, sekiranya saja Allah memberinya kehidupan hingga tuntas penyusuannya. ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menjawab: “Sungguh penyusuannya akan disempurnakan di surga. ” (HR. Ibnu Majah)

Ibu-ibu pejuang ASI tidak perlu merasa bersalah atau minder apabila tidak bisa menyusui anaknya kurang dari dua tahun sebab alasan tertentu. Jika itu yang terbaik, maka diperbolehkan. Di dalam Al-Qur’an memang termaktub dua tahun, namun diperbolehkan untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun jika ayah dan ibunya ridha karena sebab-sebab yang menuntut untuk disapih.

Adapun beragam cara menyapih, diantaranya dengan cara berniat dan berdoa dalam setiap prosesnya agar diberikan kemudahan dalam proses menyapih. Bersabar dan bijaksana, menyadari betul bahwa ini dilakukan untuk kebaikan anak. Jika menggunakan teknik tertentu seperti menerapkan beberapa bahan yang pahit pada puting susu, atau memberi warna pada puting susu sehingga anak enggan menyusu lagi. Selagi itu aman, tidak membahayakan bagi anak maka diperbolehkan.

Melakukan proses menyapih harus dilakukan perlahan. Jangan terlalu memaksakana apalagi membandingkan si kecil dengan anak yang lain. Cobalah untuk berkomunikasi dengan baik dengan anak bahwa ia sudah cukup besar untuk tidak lagi menyusu. Untuk itu karena menyapih butuh proses dan tidak semuanya mudah dalam menyapih, maka harus ada kerja sama yang baik antar pasangan, harus saling musyawarah, saling memotivasi dan saling menguatkan di antara keduanya. []

Tags: anakislamkeluargaparenting
Shofi Puji Astiti

Shofi Puji Astiti

Dosen IAIN Salatiga

Terkait Posts

Revisi Sejarah

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

19 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Greta Thunberg

Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

18 Juni 2025
SIS Malaysia

Berproses Bersama SIS Malaysia

18 Juni 2025
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

18 Juni 2025
Raja Ampat

Surga Raja Ampat dan Ancaman Pertambangan Nikel

18 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tastefully Yours

    Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ulasan Crime and Punishment: Kritik terhadap Keangkuhan Intelektual
  • Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya
  • Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur
  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga
  • Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID