Mubadalah.id – Dalam sejarah panjang pemikiran keagamaan terutama dalam tradisi fikih, seksualitas perempuan sering kali dipandang sebagai fitnah, bahkan sumber bencana sosial. Pandangan ini membentuk konstruksi sosial dan keagamaan yang melihat tubuh perempuan sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. Salah satu bentuk kontrol yang paling nyata adalah dalam praktik khitan atau sunat perempuan.
Dalam banyak literatur fikih klasik, khitan pada perempuan dianggap sebagai tindakan mulia karena diyakini dapat meredam hasrat seksualnya. Sebaliknya, khitan laki-laki dipuji karena memudahkan pencapaian kenikmatan seksual.
Dalam kerangka ini, tubuh perempuan dibentuk bukan untuk hak dan kenikmatan dirinya, tetapi untuk melayani dan tidak “mengganggu” sistem sosial yang patriarkal.
Padahal, jika kita cermati, tidak ada satu pun hadis sahih yang secara eksplisit memerintahkan khitan perempuan. Ulama seperti Ibn Hajar al-Asqalani, Asy-Syaukani, Muhammad Syaltut, Sayyid Sabiq, dan Wahbah az-Zuhaili telah menegaskan lemahnya dasar hukum tersebut. Mereka menilai bahwa hadis-hadis yang sering menjadi dalil tidak memenuhi standar validitas yang kuat dalam ilmu hadis.
Khitan Laki-laki
Menariknya, argumentasi normatif dalam kitab-kitab fikih tentang khitan lebih banyak merujuk pada praktik laki-laki seperti yang Nabi Ibrahim lakukan dan bukan pada perempuan.
Alasan medisnya untuk kebersihan alat kelamin, pencegahan penyakit. Hingga peningkatan kenikmatan hubungan seksual semuanya relevan untuk laki-laki, bukan perempuan.
Sebaliknya, khitan perempuan terbukti justru berdampak negatif terhadap hak dan pengalaman seksual perempuan.
Pemotongan klitoris atau bahkan bibir kecil (labia minora), seperti yang terjadi di beberapa komunitas di Afrika, berpotensi menimbulkan trauma psikologis dan menghilangkan kemampuan perempuan untuk merasakan orgasme.
Karena klitoris adalah pusat kenikmatan seksual perempuan; menghilangkannya berarti menafikan perempuan atas hak tubuhnya sendiri.
Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana fikih tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dalam kultur dan cara pandang yang patriarkal, di mana tubuh dan seksualitas perempuan menjadi objek kontrol demi menjaga tatanan sosial yang telah laki-laki buat.
Oleh karena itu, pembacaan ulang terhadap teks-teks fikih sangat kita perlukan agar hukum tidak lagi menjadi alat penindasan. Tetapi benar-benar menjadi jalan keadilan dan penghormatan atas martabat manusia termasuk martabat perempuan. []