• Login
  • Register
Rabu, 25 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan

Membuang makanan begitu saja, itu sama saja dengan kita merampas hak orang miskin. Itu kata Paus Fransiskus tahun 2013 silam.

Khairul Anwar Khairul Anwar
25/06/2025
in Publik
0
Simbol Keadilan

Simbol Keadilan

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebutir nasi, bagi kita mungkin hal sepele. Tapi ini adalah simbol keadilan. Di luar sana banyak orang yang nggak mampu makan nasi. Jangankan satu butir, satu sendok aja perlu perjuangan mati-matian untuk mendapatkannya.

Sebutir nasi yang kita konsumsi hari ini adalah anugerah tuhan yang patut kita syukuri. Kita semestinya bersyukur hidup di Indonesia, sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alamnya. Yang bisa kita gali dan nikmati.

Ada batu bara, nikel, air, kayu dan ada umbi-umbian. Itu semua bisa kita “eksploitasi” untuk kepentingan kita, rakyat kecil. Nasi yang kita makan hari ini, adalah wujud tersedianya bahan pangan yang muncul dari tanah-tanah subur di Indonesia, berupa padi yang dihasilkan dari jerih payah para petani.

Nasi yang sudah kita ambil, perlu kita habiskan. Itu bagian dari kita mensyukuri nikmat Allah. Dahulu, para orang tua juga selalu mewanti-wanti dan mengingatkan anak-anaknya untuk menghabiskan makanan yang sudah kita ambil, “nasinya dihabiskan, kalau tidak habis nasinya bisa nangis”. 

Sampah Makanan

Itu sebuah kiasan. Maknanya, sebagai simbol keadilan kita diharuskan menghargai makanan. Terutama nasi, yang merupakan makanan pokok di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Menghargai nasi salah satunya dengan tidak membuangnya, walau hanya sebutir.

Baca Juga:

Revolusi Hijau : Seni Bertani sambil Merusak Lingkungan

Cerita Wong Dermayu: Tarso dan Turini

Cerita Petani dan Refleksi Spirit Gerwani

Sulitnya Regenerasi Para Petani Muda di Desa Pasawahan  

Namun, dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah mengimplementasikannya? Kalaupun sudah, pertanyaan berikutnya: seberapa sering kita melakukannya? Mari renungkan pada diri kita masing-masing. 

Seringkali kita makan tak sampai habis. Dengan alasan sudah kenyang atau terburu-buru. Sisa makanan yang ada di piring, atau di wadah kertas, pada akhirnya terbuang begitu saja.

Saat menghadiri pesta pernikahan, misalnya, seringkali saya melihat banyak makanan tercecer tak karuan di tanah atau di meja, juga saat momentum pengajian-pengajian. Ada banyak sisa nasi talam yang tidak habis dimakan para pengunjung. Saat di restoran, rumah makan, warteg, dan tempat makan lainnya, situasinya juga hampir sama. 

Saya tak tahu persis kemana larinya sampah-sampah makanan tersebut. Tapi, semoga ada pihak-pihak cerdas yang mengelolanya menjadi sesuatu yang berguna dan berkelanjutan, untuk kepentingan ekonomi maupun alam.

Bencana Ekologis

Sikap kita, yang tak jarang suka membuang makanan, kerap kali kita anggap hal sepele. Dan tidak satu dua orang, melainkan saya yakin ada jutaan orang yang sering membuang-buang makanan.

Sepotong daging yang tak tersentuh, nasi yang tersisa meski hanya belasan butir, gorengan yang hanya kita gigit pinggirnya, sayur yang kita biarkan dingin, dan kemudian masuk ke tempat sampah dan air minum kita ambil secara berlebihan sehingga tak kita minum, dapat mengakibatkan bencana ekologis.  

Pada tahun 2024, komunitas Indonesian Gastronomy Community (IGC) memaparkan, Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terbesar nomor dua di dunia, dengan jumlah 20,93 juta ton setiap tahun. Angka ini nggak kecil. Pun, bukan sekadar statistik. Ini adalah cerminan dari sikap kita yang terkadang berlebihan dalam hal apapun. Termasuk  mengambil makanan, namun tak mampu menghabiskannya.

Dari 20,93 juta ton sampah makanan itu, barangkali diri kita menyumbang nol koma nol sekian persen. Saya nggak mau banyak berteori tentang bahaya sampah makanan bagi lingkungan. Yang jelas, sampah makanan (food waste) dapat menjadi sumber emisi gas rumah kaca seperti metana, yang berkontribusi pada pemanasan global, pencemaran tanah dan air, serta menjadi sarang penyakit. Itu di antaranya.

Perbuatan Mubazir

Tidak hanya itu, apa yang kita hambur-hamburkan hari ini di meja makan, tidak hanya berimplikasi negatif bagi lingkungan dan kesehatan. Tetapi kita telah berdosa kepada sang pemberi rizki. Allah SWT sangat membenci hambanya yang melakukan perbuatan mubazir atau membuang-buang harta yang ia miliki. 

Larangan membuang-buang harta termasuk makanan ini terdapat salah satunya pada surah Al Isra’ ayat 26-27. Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa perilaku pemborosan adalah merupakan kebiasaan setan. Siapapun yang melakukan tindakan tersebut maka dikatakan sebagai saudara-saudara setan. Nah lho, ternyata selama ini kita itu punya saudara. Setan, namanya. 

Urusan membuang makanan tidak hanya berhubungan secara vertikal manusia dengan tuhannya, tetapi memiliki hubungan horizontal kita dengan sesama manusia. Membuang sisa makanan bagi orang kaya khususnya, mungkin menjadi hal lumrah karena anggapannya sudah tak bernilai. 

Namun, pernahkah kita berpikir, saat kita menyia-nyiakan makanan begitu saja, ada orang-orang miskin yang menunggu uluran tangan kita. Ada kaum fakir yang jangankan bisa makan enak, makan satu kali sehari saja butuh perjuangan setengah mati. Ada pengemis tua renta yang tiap harinya kelaparan. Pernahkah kita berpikir sejauh itu? Mari kita refleksikan bersama. 

Merampas Hak Orang Miskin?

Membuang makanan begitu saja, itu sama saja dengan kita merampas hak orang miskin. Itu kata Paus Fransiskus tahun 2013 silam. “Membuang makanan tak ubahnya mencuri makanan dari meja orang miskin dan kelaparan.” Pernyataan Paus ini merupakan bagian dari khotbahnya yang dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dicanangkan PBB.

Sebuah refleksi mendalam bagi kita, apakah selama ini kita telah merampas hak orang miskin? Perlakuan kita terhadap makanan adalah gambaran kepedulian kita terhadap kaum lemah. Mari kita kembalikan hak orang miskin dengan makan secukupnya, sesuai porsi, dan selalu menghabiskan makanan yang telah kita ambil. Kita berusaha menuju ke arah situ. 

Kita jangan menjadi orang yang serakah, yakni sifat seseorang yang memiliki keinginan berlebihan untuk menguasai harta, meski harta itu bukan milik kita, juga tamak dalam hal kekuasaan, atau apapun yang kita anggap bernilai, tanpa memperhatikan batasan atau akibat yang bakal ditimbulkan. Biar pejabat kita saja yang haus kekuasaan, jabatan, dan serakah, kita nggak perlu ikut-ikutan, apalagi kalau kita belum tahu ilmunya.

Peran Petani

Ada banyak andil orang lain dalam proses masuknya nasi dalam perut kita. Dari mulai petani, distributor, warung penjual beras, sampai ke ibu atau mbak kita yang menyiapkan nasi di meja makan rumah kita.

Membuang nasi sama dengan tidak menghargai jerih payah para petani, lelahnya ibu dan mbak-mbak kita, juga tentu saja, melukai warga miskin yang kekurangan makanan. Petani berperan penting dalam keberlangsungan kehidupan kita. Dari merekalah kemudian muncul seporsi nasi di hadapan kita.

Prosesnya pun tak mudah yang (mungkin) tak banyak orang mengetahuinya. Proses nasi mulai dari menabur benih di tanah, dipupuk, teraliri air, dicabut, ditanam, dicabut rumputnya (matun) atau dikored, dikeringkan airnya, disemprot hamanya, dipupuk, dan dipanen. Sudah? belum dong. 

Setelah dipanen, gabahnya dijemur, hingga proses penggilingan menjadi beras. Beras lalu dimasak menjadi nasi. Lalu dimakan. Proses panjang yang melelahkan itu perlu dilalui oleh para petani, dan kita dengan semena-mena malah melenyapkan makanan?

Petani rela kepanasan dan kehujanan agar kita bisa makan nasi. Di bawah terik matahari, ada keringat yang bercucuran, ada tenaga yang diperas, ada tulang yang dibanting, dan ada kesejahteraan yang kurang dihargai.

Ya, mayoritas petani di Indonesia belum mendapatkan kesejahteraan yang layak. Meski Indonesia menyandang status negara agraris dengan kekayaan melimpah, banyak di antara mereka yang malah hidup di bawah garis kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 47,94 persen profil pekerjaan dari penduduk miskin ekstrem berasal dari sektor pertanian. Ini survey tahun 2024, baru kemarin saja. Bukan angka yang kecil, bukan pula sekadar statistik di atas kertas. Ini adalah problem serius yang harus teratasi dengan sungguh-sungguh pula, khususnya oleh para pemegang kekuasaan dan pengendali segala aturan yang ada di negara kita. []

Tags: bencana ekologisfood wastehak orang miskinpetanisebutir nasiSimbol Keadilan
Khairul Anwar

Khairul Anwar

Lecturer, Sekretaris LTNNU Kab. Pekalongan & sekretaris PR GP Ansor Karangjompo, penulis buku serta kontributor aktif NU Online Jateng. Bisa diajak ngopi via ig @anwarkhairul17

Terkait Posts

Hijrah

Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

25 Juni 2025
Menjaga Ekosistem

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

25 Juni 2025
Etika Berbagi

Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital

24 Juni 2025
Digital

Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!

24 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

24 Juni 2025
Korban KBGO

Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

23 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menemani Laki-laki dari Nol

    Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Khitan Perempuan: Upaya Kontrol atas Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saat Fikih Menjadikan Perempuan Kelompok Paling Rentan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang
  • Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa
  • Saat Fikih Menjadikan Perempuan Kelompok Paling Rentan
  • Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?
  • Mengurai Bias Fitnah Perempuan dalam Wacana Keislaman

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID