• Login
  • Register
Rabu, 25 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

Krisis lingkungan tak pernah datang sendiri—ia selalu berdampak ganda, merambat dari satu aspek kehidupan ke aspek lainnya.

Hijroatul Maghfiroh Hijroatul Maghfiroh
25/06/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Menjaga Ekosistem

Menjaga Ekosistem

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suatu ketika di kelas perkuliahan Environmental Law di Macquarie University tempat saya belajar, dosen pengampu melempar pertanyaan: “Kenapa penting bagi kita menjaga ekosistem, bahkan yang bukan milik kita—seperti habitat Koala di Australia?”

Satu per satu kami merespon. Ada yang menyinggung soal keseimbangan rantai makanan, tanggung jawab moral manusia, hingga perspektif hukum lingkungan internasional. Latar belakang kami berbeda—ada yang dari ilmu lingkungan, hukum, ilmu sosial, hingga teknik—tapi intinya serupa: semua ekosistem saling terhubung. Kerusakan di satu titik bisa berdampak luas dan tak terduga ke titik lainnya.

Pengalaman di kelas itu menyadarkan saya akan satu hal penting. Selama ini kita terlalu sering memandang alam secara terpisah-pisah, seolah hutan, laut, udara, dan makhluk hidup berdiri sendiri-sendiri. Padahal, ekosistem bekerja dalam jaringan yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Krisis lingkungan pun tak pernah datang sendiri—ia selalu berdampak ganda, merambat dari satu aspek kehidupan ke aspek lainnya.

Krisis Planet: Saling Bertaut dan Memburuk

United Nations Environment Programme (UNEP) menyebut saat ini planet bumi sedang mengalami tiga krisis yang ketiganya saling berkaitan. Perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversitas), dan polusi. Perubahan iklim merusak habitat dan memperparah bencana; hilangnya biodiversitas melemahkan fungsi ekosistem; dan polusi mengancam kesehatan serta ketahanan masyarakat.

Dari tiga krisis dia atas menunjukkan bahwa alam bukanlah rakitan mesin yang bisa kita bongkar pasang, tapi sistem hidup yang kompleks. Dalam catatan pendahuluan, penulis buku Earth Surface Science, dia menyebutkan:

Baca Juga:

Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

Surga Raja Ampat dan Ancaman Pertambangan Nikel

Menyemarakkan Ajaran Ekoteologi ala Prof KH Nasaruddin Umar

“If God had consulted me before embarking on the Creation, I would have suggested something simpler.”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa penciptaan ini terlalu rumit untuk bisa disederhanakan manusia.

Misalnya perubahan iklim. Isu ini bukan sekadar naiknya suhu global, tapi juga perubahan pola hujan, pencairan es, naiknya permukaan laut, hingga memicu migrasi ekologis dan memperbesar ketimpangan global. Bahkan Bjorn Lomborg—salah satu intelektual skeptis iklim penulis buku False Alarm — pun mengakui bahwa perubahan iklim nyata dan aktivitas manusia sebagai salah satu pemicu utamanya.

Begitu pula biodiversitas. Hilangnya satu spesies bisa meruntuhkan jejaring kehidupan: dari penyerbukan hingga pengendalian hama alami. Di Indonesia—negara megabiodiversity—kerusakan hutan dan laut tak hanya mengancam ekosistem global, tapi juga ruang hidup komunitas lokal yang menggantungkan hidup dari alam.

Sementara itu, polusi adalah bentuk ketidakadilan yang paling diam-diam namun nyata. WHO mencatat tujuh juta kematian per tahun akibat polusi udara. Dampaknya lebih besar terhadap perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin. Polusi bukan hanya pencemaran, tapi cermin ketimpangan ekologis.

Melampaui Batas dan Tanggung Jawab Etis Kita

Tiga krisis ini sejatinya sejalan dengan konsep planetary boundaries—kerangka ilmiah yang dikembangkan oleh Johan Rockström dan tim ilmuwan dari Stockholm Resilience Centre. Kerangka ini mengidentifikasi sembilan batas aman (safe operating spaces) bagi sistem kehidupan di bumi, termasuk aktivitas manusia di dalamnya.

Jika batas-batas ini terlampaui, stabilitas bumi sebagai rumah bersama akan terganggu. Saat ini, enam di antaranya telah Melawati batas aman—termasuk iklim, biodiversitas, dan polusi kimia. Kita sedang berada di wilayah yang tidak stabil.

Itulah mengapa krisis ini tak bisa kita lihat terpisah-pisah. Jika kita terus memandangnya secara sektoral, solusinya hanya akan bersifat tambal-sulam, bukan perubahan sistemik.

Tugas kita hari ini bukan sekadar memperbaiki, tapi menjaga agar bumi tetap berada dalam ruang aman. Dan dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan kearifan lokal tidak saling menggantikan, tetapi saling memperkuat. Keduanya mengingatkan kita bahwa dunia ini adalah sistem yang rapuh dan saling terhubung.

Al-Qur’an berkali-kali mengajak kita bertafakkur—merenung atas ciptaan, memahami cara kerja alam, dan mengambil pelajaran dari pola-pola keseimbangannya. Seruan ini bukan semata spiritual, tapi juga dorongan intelektual dan moral: berpikir sebelum bertindak, dan bertindak dengan kesadaran sebagai penjaga bumi, bukan penguasa.

Kesadaran saja tidak cukup. Ia perlu kita wujudkan dalam perlindungan hukum. Di sinilah pentingnya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) salah satu prinsip dalam hukum lingkungan. Prinsip ini menyatakan bahwa ketiadaan bukti ilmiah yang pasti bukan alasan untuk menunda tindakan perlindungan, jika ada risiko besar terhadap lingkungan.

Menariknya, prinsip ini memiliki padanan dalam kaidah fikih Islam:

Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih
(Mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan.)

Kaidah ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi dua hal—kemaslahatan dan potensi kerusakan—maka mencegah kerusakan harus menjadi prioritas utama. Ini bukan semata soal kalkulasi untung rugi, tetapi soal tanggung jawab etis dalam mengambil keputusan yang berdampak luas dan jangka panjang.

Prinsip ini tidak berhenti di atas kertas hukum atau kitab fikih. Ia telah menjadi dasar putusan pengadilan di banyak negara. Salah satu contoh penting datang dari New South Wales (NSW), Australia, dalam perkara Gloucester Resources Limited v Minister for Planning (2019).

Dalam kasus ini, warga setempat menentang pembangunan tambang batubara Rocky Hill yang diusulkan di kawasan pedesaan Gloucester, dengan alasan kekhawatiran terhadap polusi, krisis iklim, dan ancaman terhadap mata pencaharian mereka yang bergantung pada ekowisata.

Yang menarik, gugatan ini menjadi titik balik. Land and Environment Court of NSW tidak hanya menolak klaim perusahaan, tetapi juga menegaskan secara eksplisit bahwa keberadaan tambang tersebut akan berdampak negatif pada iklim global melalui emisi karbon, merusak lanskap alami, serta mengganggu kesejahteraan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari pertanian dan ekowisata.

Hakim Brian Preston dalam putusannya menekankan bahwa proyek tambang tidak bisa kita nilai hanya berdasarkan nilai ekonominya semata, tetapi harus terlihat secara holistik—termasuk dampak jangka panjang terhadap perubahan iklim, keadilan antargenerasi, dan hak komunitas lokal untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan lestari.

Putusan ini bukan hanya relevan bagi Australia, tetapi menjadi rujukan penting di tingkat internasional. Ia memperlihatkan bagaimana hukum dapat berpihak pada keberlanjutan ketika dituntun oleh prinsip kehati-hatian. Ia juga memberi preseden bahwa argumen berbasis iklim, kesehatan masyarakat, dan etika ekologis dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk menolak proyek-proyek industri yang merusak.

Lebih jauh lagi, putusan ini menegaskan bahwa keberlanjutan bukan semata persoalan teknis, tetapi pilihan moral dan politik: apakah kita berani mengatakan “tidak” pada pertumbuhan yang merusak, demi mengatakan “ya” pada kehidupan yang berkelanjutan.

Keadilan Ekologis: Menjaga Alam, Menjaga Sesama

Namun krisis ekologis bukan hanya soal kerusakan fisik. Ia juga menyangkut ketimpangan yang mendalam. Siapa yang menanggung beban, dan siapa yang menikmati keuntungan. Inilah yang kita sebut keadilan ekologis, sebuah konsep yang teruraikan dengan mendalam oleh akademisi hukum lingkungan Ole W. Pedersen. Menurutnya, keadilan lingkungan memiliki tiga sisi yang tak terpisahkan.

Pertama, keadilan distribusi—tentang bagaimana manfaat dan risiko lingkungan terbagi. Dalam praktiknya, mereka yang tinggal di sekitar tambang, perkebunan sawit, atau proyek infrastruktur besar seringkali tidak menikmati hasilnya, tetapi justru harus menanggung dampak buruknya: pencemaran, bencana, dan hilangnya mata pencaharian.

Kedua, keadilan prosedural—tentang siapa yang terdengar dan kita ikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Masyarakat adat dan komunitas lokal, yang selama ini hidup berdampingan dengan alam, justru kerap tersingkirkan dari ruang-ruang perundingan. Padahal mereka adalah penjaga ekosistem paling efektif yang telah teruji waktu.

Dan yang ketiga, keadilan ekologis itu sendiri—yakni pengakuan bahwa alam bukan sekadar sumber daya, tetapi entitas yang punya hak untuk dihormati dan dilindungi. Pandangan ini mengajak kita meninggalkan cara pandang antroposentris dan mulai mengakui nilai-nilai intrinsik yang melekat dalam hutan, sungai, laut, dan segala makhluk hidup.

Dalam konteks ini, keberadaan masyarakat adat sangat penting. Mereka bukan hanya mempertahankan cara hidup leluhur, tetapi juga sedang menjaga stabilitas ekologis bagi dunia. Hutan yang mereka pertahankan, laut yang mereka rawat, dan tanah yang mereka jaga adalah penyangga kehidupan lintas benua.

Sebab tiga krisis planet—iklim, biodiversitas, dan polusi—tidak mengenal batas negara. Kerusakan di Papua bisa berdampak pada iklim global. Kegagalan menjaga hutan di Kalimantan bisa memperparah bencana di belahan dunia lain.

Kebijakan Konservasi Berbasis Masyarakat Lokal

Sementara itu, beberapa negara maju telah membuktikan bahwa pertumbuhan dan perlindungan lingkungan bisa berjalan beriringan. Norwegia dan Selandia Baru, misalnya, telah menurunkan tingkat deforestasi mereka secara signifikan dalam dua dekade terakhir, sembari tetap menjaga kesejahteraan warganya.

Menurut data OECD (2023), kebijakan konservasi berbasis masyarakat lokal di dua negara ini berhasil mempertahankan biodiversitas sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi wilayah pedesaan mereka.

Sayangnya, banyak negara berkembang justru menjadi sasaran eksploitasi alam secara besar-besaran, sering kali demi memenuhi permintaan dari negara-negara maju. Ketimpangan ini mencerminkan wajah nyata dari ketidakadilan ekologis global.

Pertanyaan sederhana di kelas tentang apa pentingnya menjaga ekosistem ternyata menyimpan makna besar. Ia bukan hanya soal akademik, tapi soal posisi etis kita dalam semesta ini. Apakah kita hanya penikmat anugerah Tuhan, atau juga penjaga yang bertanggung jawab?

Anugerah itu bukan sekadar untuk dinikmati—ia juga ujian: apakah kita mampu merawatnya, atau tergoda untuk mengeksploitasi sebanyak-banyaknya?

Ekosistem bukan milik kita, tapi titipan. Merawatnya adalah bentuk iman, kecerdasan, dan tanggung jawab kita sebagai manusia. Di tengah krisis global, merawat lingkungan bukan sekadar pilihan. Ia adalah amanah. []

 

Tags: Isu LingkunganKeadilan EkologisKrisis EkologisMenjaga EkosistemPerubahan Iklim
Hijroatul Maghfiroh

Hijroatul Maghfiroh

Studying Sustainability and Environmental Studies, Macquarie University - Australia dan Penulis buku Dakwah Ekologi: Panduan Penceramah Agama tentang Akhlak pada Lingkungan

Terkait Posts

Hijrah

Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

25 Juni 2025
Simbol Keadilan

Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan

25 Juni 2025
Etika Berbagi

Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital

24 Juni 2025
Digital

Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!

24 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

24 Juni 2025
Korban KBGO

Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

23 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menemani Laki-laki dari Nol

    Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Khitan Perempuan: Upaya Kontrol atas Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saat Fikih Menjadikan Perempuan Kelompok Paling Rentan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang
  • Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa
  • Saat Fikih Menjadikan Perempuan Kelompok Paling Rentan
  • Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?
  • Mengurai Bias Fitnah Perempuan dalam Wacana Keislaman

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID