Mubadalah.id – Novel Cantik Itu Luka membuka cerita dengan perempuan yang bangkit dari kubur. Sebuah metafora yang barangkali terasa surealis, tapi justru begitu akrab dalam kenyataan. Tubuh perempuan yang terus dibangkitkan dari luka, kita jadikan simbol, direbut kembali untuk membayar sesuatu yang tak pernah mereka hutangi.
Dewi Ayu, tokoh sentral novel ini, adalah perempuan yang tubuhnya berkali-kali menjadi arena kuasa. Ia diperkosa, dijual, terlihat sebagai tubuh tanpa jiwa, dan dirayakan hanya karena kecantikannya. Dari rahimnya lahir anak-anak perempuan yang mengalami nasib serupa—dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Cantik dalam novel ini bukan karunia, melainkan kutukan. Sebuah ironi tajam atas bagaimana perempuan terlihat, terbentuk, dan dikendalikan.
Namun kekuatan novel ini bukan hanya pada kisahnya yang kelam dan jujur, tetapi pada bagaimana ia merekam berlapis-lapis warisan luka yang tak selesai. Kekerasan terhadap perempuan tidak muncul sebagai insiden, tapi sebagai pola. Kekerasan menjadi sistem, bahkan ketika para pelaku tak lagi sadar bahwa mereka sedang melukai.
Laki-laki Penguasa Tubuh
Dalam refleksi Islam, manusia tercipta untuk saling menyejahterakan. Laki-laki dan perempuan kita sebut sebagai pasangan yang tercipta dari jiwa yang sama, agar saling tenteram dan saling menjaga. Tapi dalam novel ini, relasi semacam itu nyaris tidak kita temukan. Laki-laki tampil sebagai penguasa tubuh, pengambil paksa keputusan, dan pemilik tafsir tunggal atas hidup perempuan. Tidak ada ruang aman, tidak ada perlindungan.
Maka sulit rasanya membaca Cantik Itu Luka tanpa resah. Sebab kekerasan yang Eka Kurniawan hadirkan bukan fiksi belaka. Ia mengandung kebenaran sosial yang menyakitkan, bahwa bagi banyak perempuan, dunia tidak pernah menjadi tempat tinggal yang utuh. Bahwa dalam sejarah, tubuh perempuan lebih sering tercatat sebagai arena dosa atau sumber kutukan, daripada sebagai manusia yang harus dihormati.
Namun yang lebih menyedihkan, adalah bagaimana perempuan dalam novel ini tampak harus menerima semuanya sendirian. Mereka bertahan, tapi tidak terpulihkan. Mereka kuat, tapi tidak dipeluk. Sementara para lelaki—bahkan yang tampak mencintai—tetap gagal memahami bahwa cinta tanpa keadilan hanyalah bentuk baru dari penguasaan.
Membaca Kemarahan
Dalam Islam, kasih sayang bukan sekadar perasaan. Ia adalah amanah. Rasulullah terkenal karena kelembutannya terhadap istri-istrinya, karena perhatiannya yang setara, karena keberpihakannya kepada yang lemah. Tapi nilai-nilai itu nyaris tak berbekas dalam tokoh-tokoh laki-laki novel ini. Mereka hidup dalam dunia yang membiarkan kekerasan mengalir sebagai hal biasa.
Membaca novel ini berarti juga membaca kemarahan. Tapi lebih dari itu, membaca novel ini seharusnya menggugah kesadaran: bahwa luka tidak boleh terwariskan. Bahwa tubuh perempuan bukan tempat menebus sejarah, dan bahwa keadilan harus tumbuh dari relasi paling mendasar—antara suami dan istri, antara ayah dan anak, antara manusia dan kemanusiaannya.
Dalam dunia yang berkali-kali melukai perempuan, kita butuh lebih banyak ruang yang bisa memulihkan. Bukan hanya dalam bentuk wacana, tetapi dalam bentuk kehadiran yang nyata. Di rumah, di sekolah, di masjid, dan dalam cara kita mendidik anak-anak kita tentang tubuh, tentang kehormatan, tentang cinta.
Novel Cantik itu Luka ini tidak menawarkan solusi. Tapi sebagai pembaca, kita bisa memilih untuk tidak menjadikannya akhir. Kita bisa membaca untuk mengingat, untuk berduka, tapi juga untuk membangun. Karena sesungguhnya, yang paling radikal bukanlah melawan dengan amarah. Tapi dengan kasih yang adil, dan dengan iman bahwa tidak ada satu pun manusia yang ditakdirkan untuk terus menderita. []