Mubadalah.id – Coba bayangkan jika Indonesia hari ini menerapkan model Islam Wahabi sebagaimana di Saudi Arabia. Siapa saja yang akan dianggap kafir atau murtad? Bisa jadi daftarnya amat panjang.
Dalam pandangan Muhammad bin Abd Wahhab (1703-1792), banyak hal yang sesungguhnya tumbuh subur dalam tradisi Islam, seperti tasawuf, ziarah kubur, bahkan filsafat justru dicap sebagai bid’ah, syirik, atau warisan kafir.
Lebih jauh lagi, seluruh penganut Syiah otomatis dinilai kafir. Tawassul dianggap syirik, ziarah kubur pun bisa menjadi biang kesyirikan. Bahkan seorang Muslim yang mengucapkan salam pada non-Muslim juga dapat dicap kafir.
Semua itu, dalam logika Wahabi, pantas dijatuhi hukuman mati karena dianggap sebagai bentuk kekufuran dan kemusyrikan. Kekhalifahan Turki Utsmani juga mereka nilai kafir karena menyebarkan tasawuf. Maka mendukung atau mengakui kekhalifahan ini berarti menerima kekufuran dan melakukan dosa besar.
Beruntung, dakwah Islam di Indonesia selama ini lebih banyak menempuh jalan damai dan penuh hikmah. Namun bukan berarti kita boleh lengah. Gerakan Islam transnasional kini sedang giat membangun jejaknya di tanah air, perlahan mencabut akar budaya bangsa Indonesia yang sejak lama menjunjung tinggi kemajemukan, termasuk dalam keyakinan dan cara beragama.
Fikih Ar-Riddah
Dalam konteks ini, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah mengingatkan pentingnya membaca ulang (re-interpretasi) konsep fikih ar-riddah yaitu konsep dalam hukum Islam klasik yang kerap menjadi dasar legitimasi untuk menghukum warga Muslim yang menyimpang dari keyakinan otentik (mainstream). Hukuman ini berjenjang, mulai dari hukuman ringan berupa ta’zir hingga yang paling ekstrem berupa hukuman mati (had al-qatl).
Tanpa pembacaan ulang yang kritis dan kontekstual, konsep ini akan mudah bertabrakan dengan prinsip-prinsip demokrasi modern yang meniscayakan kesederajatan semua warga negara dalam memperoleh hak-haknya, tanpa diskriminasi atas dasar keyakinan. Jika kita biarkan terus, bukan tidak mungkin fikih riddah bisa menjadi bom waktu yang mengancam keutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sejak awal, bangsa ini kita bangun di atas fondasi kebangsaan yang plural dan mengakui keberagaman. Jangan sampai spirit ini rusak oleh tafsir keagamaan sempit yang mudah mengafirkan dan menutup ruang dialog. Islam sejatinya hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bukan sumber stigmatisasi apalagi legitimasi kekerasan yang dapat memecah belah persaudaraan sesama anak bangsa. []