• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Kita tidak sedang mencari hidup yang sempurna, tapi hidup yang nyata—meski berjejak luka.

Layyinah Ch Layyinah Ch
30/06/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Toxic Positivity

Toxic Positivity

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Recovery can take place only within the context of relationships; it cannot occur in isolation.”

– Judith Herman

Mubadalah.id – Sebelumnya, mari kita sepakati satu hal. Saat ini sebagian besar dari Kita sedang hidup di tengah banjir motivasi instan. “Semesta mendengar, asal kamu yakin.”, “Jangan menyerah!”, “Lihat sisi positifnya!” Menjadi kata- kata manis, tapi tak selalu berdampak manis bagi mereka yang sedang terjebak di titik rendah.

Kita hidup dalam budaya yang menuntut untuk selalu terlihat bahagia, bahkan ketika hati sedang hancur dan hidup kehilangan arah. Di sinilah toxic positivity bekerja secara halus tapi melukai: positif yang memaksa, dan menyangkal realitas.

Budaya ini bukan hanya soal psikologis pribadi—ia juga proyek sosial dan spiritual yang diam-diam ambisius. Di zaman sekarang, kebahagiaan sudah kayak lomba desain interior: harus estetik, rapi, dan bisa kita pamerkan. Pada satu sisi, ini bagus—kita belajar menghargai hal-hal kecil, menyusun hidup agar terasa lebih teratur, menciptakan ruang aman bagi diri sendiri.

Namun, jika kita tidak bisa memisahkan antara pengalihan dan penyelesaian, maka berpikir positif justru bisa menjadi racun yang diam-diam mengendap. Ia tidak menyelesaikan luka, hanya menyembunyikannya di balik wangi aromaterapi. Emosi-emosi yang tertekan bukan hilang, tapi berubah bentuk: menjadi kelelahan kronis, kemarahan yang meledak tiba-tiba, sulit tidur, atau rasa putus asa yang datang tanpa alasan jelas.

Padahal, sebagaimana Judith Herman ingatkan dalam karya monumental Trauma and Recovery, pemulihan dari luka batin tidak pernah terjadi dalam kesunyian atau paksaan untuk segera “move on”. Pemulihan adalah proses panjang yang butuh ruang aman, pengakuan terhadap rasa sakit, dan dukungan relasional. Ini bukan tentang berpikir positif, tapi tentang bertahan hidup dengan realistis dan penuh kasih.

Baca Juga:

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

Stigma Tubuh Perempuan sebagai Sumber Fitnah

Toxic Positivity: Positif yang Menolak Realitas

Toxic positivity adalah tekanan untuk selalu tampak kuat, bersyukur, dan tersenyum, bahkan saat dunia dalam diri kita sedang runtuh. Ia adalah bentuk penyangkalan terhadap emosi-emosi yang dianggap negatif: marah, sedih, takut, kecewa. Tapi emosi ini bukan musuh. Mereka adalah sinyal bahwa ada luka yang perlu dirawat, bukan disangkal.

Fenomena ini juga punya akar struktural. Dalam budaya patriarkal dan spiritualitas transaksional, kita sering diajarkan bahwa bersedih adalah bentuk kelemahan iman. Perempuan, apalagi, sering terbebani dua kali lipat: harus sabar, harus tegar, harus tidak “drama.” Padahal justru dalam kesedihan itulah terkandung potensi untuk jujur, bertumbuh, dan menemukan diri.

Budaya Over-Influence dan Luka yang Terbengkalai

Setelah saya amati, Toxic positivity tidaklah datang sendirian. Ia memiliki ketersambungan dengan budaya over-influence—tekanan sosial untuk selalu menunjukkan kehidupan yang cerah, sehat, sukses, dan penuh syukur. Media sosial menjadi cermin palsu yang memantulkan standar kebahagiaan yang seringkali tak manusiawi.

Penelitian oleh Saari et al. (2023) menunjukkan bahwa toxic positivity berkorelasi erat dengan penekanan emosi dan peningkatan depresi, khususnya di kalangan muda yang aktif di media digital. Sementara studi Yusof & Munirah (2022) menemukan bahwa semakin sering seseorang menampilkan kebahagiaan secara berlebihan di media sosial, semakin besar pula kemungkinan ia merasa hampa dan kehilangan arah hidup.

Bayangkan seorang content creator yang rajin bicara soal healing dan self-love. Tapi tiap selesai live, ia menangis sendiri di kamar karena merasa tidak dicintai. Ia menyemangati ribuan orang, tapi tak tahu harus bicara pada siapa. Ia bukan penipu—ia hanya lelah jadi simbol kekuatan tanpa pernah diizinkan lemah

Dalam suasana seperti ini, kita tidak hanya dilarang terlihat sedih—kita juga merasa bersalah karena tidak bisa cepat pulih.

Judith Herman dan Tiga Tahap Pemulihan

Dalam Trauma and Recovery, Judith Herman menulis pemulihan tidak terjadi karena niat semata atau afirmasi manis yang dicetak di mug kopi atau hiasan dinding podcast close the door. Ia adalah proses panjang, tidak instan, dan tentu tidak instagramable.

Setidaknya ada tiga tahap dasar pemulihan yang Herman tawarkan:

  1. Keamanan (Safety):

Pemulihan selalu kita mulai dari rasa aman—secara fisik, emosional, dan psikologis. Ini bisa berarti menjauh dari relasi toksik, tidur cukup, mengatur napas, atau sekadar berkata “tidak” saat tubuh dan batin meminta istirahat. Dalam masyarakat yang memaksa terus produktif, berani istirahat adalah bentuk keberanian.

Tapi tentu, jangan seperti penulis yang kadang terlalu berani—hingga istirahatnya suka kebablasan.

  1. Mengingat dan Berkabung (Remembrance and Mourning):

Herman menyarankan kita untuk tidak menghapus masa lalu, tapi mengingat dan meratapinya dengan sadar. Ini bukan drama. Ini cara jiwa berduka. Kadang artinya menulis puisi murung, atau menangis sendirian sambil dengerin lagu lama yang dulu pernah kita setel waktu patah hati.

Tahap ini menekankan pentingnya mengakui luka, bukan menutupinya dengan “semangat!” atau “pasti bisa!”. Mengizinkan diri menangis, menulis tentang pengalaman pahit, atau berbicara pada seseorang yang aman adalah bagian dari proses berduka yang sehat. Ini adalah bentuk keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam rasa sakit.

  1. Koneksi dan Reintegrasi (Reconnection):

Pemulihan sejati terjadi dalam hubungan: dengan orang lain, dengan komunitas, dan dengan diri sendiri. Di tahap ini, individu mulai membangun kembali makna hidup, menyusun masa depan dengan lebih sadar, dan merawat jati diri yang pernah tercerai.

Seperti menanam tanaman hias yang daunnya rontok. Tidak langsung hijau, tapi tumbuh. Terkadang tumbuhnya miring. Kadang lupa disiram seminggu. Kadang cuma hidup karena dikasih cahaya dari lampu belajar. Tapi tetap tumbuh.

Jadi, kalau kita belum “bersemi” juga setelah nonton tujuh video healing dan menulis tiga jurnal rasa syukur, tenang. Kamu bukan gagal. Kamu cuma manusia.

Coping Mechanism: Realisme yang Penuh Belas Kasih

Dalam pendekatan Herman, coping mechanism bukan tentang menolak masalah, tapi membangun cara untuk hidup berdampingan dengan luka. Kadang coping artinya menulis puisi, kadang artinya tidur seharian. Kadang artinya memutus hubungan, kadang justru membangun kembali yang rusak. Perlu di ingat: coping bukan pelarian, tapi tindakan sadar untuk bertahan.

Dalam masyarakat yang terobsesi pada solusi instan dan afirmasi palsu, pendekatan ini terasa asing. Jadi mari bersama-sama kita terima: kadang kita tidak butuh solusi, hanya butuh selimut dan pengakuan bahwa “hari ini memang berat.”

Melampaui Ilusi: Bahagia yang Manusiawi

Toxic positivity membuat kita percaya bahwa bahagia adalah tujuan utama dan satu-satunya. Tapi seperti kata Pak Fakhruddin Faiz dalam Filsafat Kebahagiaan:

“Orang paling menderita adalah orang yang hidupnya sibuk tampil, bukan mendalam. Karena yang pamer tak akan pernah kenyang, dan yang dangkal mudah kecewa.” (hlm. 65)

Bahagia bukan proyek penampilan, tapi perjalanan penghayatan. Kita tak harus bahagia setiap waktu. Kita hanya perlu terbiasa untuk bisa hidup dengan lebih jujur, lebih sadar, dan lebih lembut terhadap luka-luka yang belum selesai.

Mari Berhenti Menjadi Kuat Sepanjang Waktu

Ajakan yang menyesatkan? Tapi percayalah wahai manusia, Kita tak harus selalu kuat. Kita hanya perlu jujur. Kita tak perlu terus bersyukur sambil menekan amarah. Banyak orang tumbuh dengan kebiasaan menekan amarah—bukan karena sabar, tapi karena takut dianggap lemah.

Perasaan itu tersimpan, dibungkam, terbawa ke mana-mana seperti menggenggam bara api di saku celana. Lama-lama hangus juga. Dan ketika akhirnya meledak, bukan ledakan dramatis yang melegakan, tapi semacam letupan kecil yang menyakitkan, membakar ke dalam diam-diam.

Ada orang yang tampak tenang, tapi sebenarnya sedang jungkir balik menahan kecewa yang tak punya nama. Ia mudah tersulut, tapi tidak tahu kenapa. Karena selama ini, ia terlalu sibuk menjadi “baik-baik saja.”

Mbak Judith mengingatkan kita bahwa pemulihan adalah kerja kolektif. Ia bukan soal sembuh cepat, tapi membangun ulang hidup dalam konteks relasi yang suportif. Kita tidak sedang mencari hidup yang sempurna, tapi hidup yang nyata—meski berjejak luka.

Karena di dunia yang terlalu sibuk menampilkan bahagia, mungkin keberanian terbesar adalah berhenti berpura-pura. []

Tags: Coping MechanismkebahagiaanKesehatan MentalstigmaToxic Positivitytrauma
Layyinah Ch

Layyinah Ch

Layyinah CH. seorang ibu, pengajar, yang terkadang menulis sebagai refleksi diri dengan latar belakang pendidikan pesantren dan kajian Islam. Fokus tulisan pada isu keadilan gender, spiritualitas, pendidikan Islam, serta dinamika keluarga dan peran perempuan dalam ruang-ruang keagamaan.

Terkait Posts

Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID