Sabtu, 25 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Resolusi Jihad

    Resolusi Jihad Santri: Dari Angkat Senjata hingga Media Sosial

    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    Ulama Perempuan Disabilitas

    Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    Praktik P2GP

    Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    Hari Santri Nasional

    Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

    Perundungan

    Kita, Perempuan, Membentengi Generasi dari Perundungan

    Konferensi Nasional KUPI 2025

    Disabilitas di Konferensi Nasional KUPI 2025: Sebuah Refleksi

    Perempuan Disabilitas

    Refleksi Perempuan Disabilitas di Hari Santri Nasional

    Fiqh al-Murūnah

    KUPI Mengenalkan Fiqh al-Murūnah bagi Pemenuhan Hak-hak Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas: Antara Jaminan Konstitusi dan Prinsip Keadilan Islam

    Moral Solidarity

    Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Resolusi Jihad

    Resolusi Jihad Santri: Dari Angkat Senjata hingga Media Sosial

    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    Ulama Perempuan Disabilitas

    Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    Praktik P2GP

    Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    Hari Santri Nasional

    Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

    Perundungan

    Kita, Perempuan, Membentengi Generasi dari Perundungan

    Konferensi Nasional KUPI 2025

    Disabilitas di Konferensi Nasional KUPI 2025: Sebuah Refleksi

    Perempuan Disabilitas

    Refleksi Perempuan Disabilitas di Hari Santri Nasional

    Fiqh al-Murūnah

    KUPI Mengenalkan Fiqh al-Murūnah bagi Pemenuhan Hak-hak Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas: Antara Jaminan Konstitusi dan Prinsip Keadilan Islam

    Moral Solidarity

    Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Aplikasi Metode Mubadalah dalam Memaknai Hadits Bukhari tentang Memerdekakan Perempuan Budak

Hadis ini menaikkan standar moral. Jangan berhenti di pendidikan atau pernikahan, tetapi wujudkan pemerdekaan sebagai puncak etika kemanusiaan.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
24 Oktober 2025
in Rekomendasi, Zawiyah
0
Metode Mubadalah

Metode Mubadalah

276
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Teks Hadits:

عَنْ أَبِي مُوسَى الأشعري رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ عِنْدَهُ وَلِيدَةٌ فَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيمَهَا، وَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا، ثُمَّ أَعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا، فَلَهُ أَجْرَانِ. (صحيح البخاري، كتاب النكاح، رقم الحديث: 5139).

Terjemah:
Dari Abu Musa, dari Nabi Saw bersabda: “Barang siapa (seorang laki-laki) yang memiliki seorang budak perempuan, lalu ia mengajarinya dengan baik, mendidiknya dengan baik, kemudian  memerdekakannya dan menikahinya, maka baginya dua pahala.” (HR. al-Bukhari, Kitāb an-Nikāḥ, no. 5139).

 Pengantar Awal

Mubadalah.id – Hadits dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī ini lazim menjadi dalil ulama tentang keutamaan memperlakukan budak—khususnya budak perempuan—secara manusiawi. Mengajarinya, membinanya secara etis, lalu memerdekakannya. Ia juga menjadi dasar kebolehan sekaligus kebaikan menikahi mantan budak setelah dimerdekakan.

Metode Mubadalah memaknai ulang teks ini. Berdialog dengan khazanah klasik dan pembacaan kontemporer—agar pelajarannya lebih berakar pada visi kerahmatan Islam dan misi akhlak mulia, sekaligus relevan bagi konteks kekinian. Judul yang mungkin bisa kita usulkan untuk makna dasar dari teks hadits ini adalah: “Mengajar dan Mendidik untuk Memerdekan Manusia dalam Perspektif Hadits”. Kaidah kunci pendekatan Mubadalah, dalam proses pemaknaan ini, adalah:

العِبْرَةُ بِعُمُومِ الرِّسَالَةِ لَا بِخُصُوصِ الْخِطَابِ وَالْمُخَاطَبِ

Yang dipegang ialah keumuman pesan, bukan kekhususan redaksi atau siapa yang disapa.

Dengan kaidah ini, pesan universal hadis harus kita identifikasi terlebih dahulu, lalu relasi subjek–objeknya kita kenali dan kita kembangkan. Sehingga seluruh pihak—terutama laki-laki dan perempuan—sama-sama tersapa untuk mewujudkan dan merasakan kemaslahatan yang dikandungnya. Selain itu terhindar dari kemudaratan yang dilarangnya, —baik di tingkat individu, keluarga, lembaga, organisasi, negara, maupun hubungan global.

Pesan Utama Hadits

Kerja pokok Metode Mubadalah ialah menemukan makna dasar (predikat etis) dari teks, yang selaras dengan visi kerahmatan dan misi akhlak mulia. Pada aras prinsip, seluruh nash (al-Qur’an dan hadits) berporos pada dua hal: mewujudkan kebaikan (ījād al-maṣāliḥ) dan menghapus keburukan (maḥw al-mafāsid).

Dalam hadits ini, pesan dasar terpetakan melalui empat tindakan:

  1. فَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيمَهَا – mengajarinya dengan baik,
  2. وَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا – mendidiknya (membina adab) dengan baik,
  3. ثُمَّ أَعْتَقَهَا – kemudian memerdekakannya,
  4. فَتَزَوَّجَهَا – lalu menikahinya.

Keempatnya membentuk lintasan etik dari relasi kuasa menuju transformasi kemanusiaan. Dalam bingkai tiga nilai Mubādalah—karāmah (martabat), ‘adālah (keadilan relasional), dan maṣlaḥah (kebaikan bersama. Tindakan ketiga, memerdekakan, adalah inti yang mengikat seluruh rangkaian.

Karena itu, mengajar, mendidik, dan menikahi harus kita pahami sebagai instrumen yang melayani tujuan pemerdekaan. Menumbuhkan kemandirian, menjaga kehormatan, memberi perlindungan dari kezaliman, serta memenuhi kebutuhan dasar pihak yang dibina.

Konsekuensinya, menikahi mantan budak bukan kelanjutan dari pola kepemilikan, melainkan puncak pengakuan kemanusiaan. Yakni memasuki kemitraan (zawāj) yang setara. Maka, mengajar dengan baik dan mendidik dengan baik tidak boleh berorientasi pada penguasaan, pembatasan, atau hegemoni. Demikian pula pernikahan tidak boleh menjadi kanalisasi dominasi. Semua itu bertentangan dengan pesan pemerdekaan (i‘tiq) yang menjadi inti hadits.

Rujukan Qur’ani

Sejalan dengan itu, rujukan Qur’ani tentang tujuan pernikahan—sakinah, mawaddah, wa raḥmah (QS. al-Rūm 30:21)—menegaskan bahwa zawāj adalah kemitraan aktif yang dijalankan dengan mīthāqan ghalīẓan (perjanjian kokoh). Lalu mu‘āsyarah bi al-ma‘rūf (perlakuan yang baik), tashāwur (musyawarah), dan tarāḍī (kerelaan timbal balik).

Dengan menempatkan pemerdekaan sebagai poros, tiga nilai Mubādalah terwujud secara operasional. Karāmah (martabat manusia dijunjung), ‘adālah (yang kuat memberdayakan yang lemah), dan maṣlaḥah (kebaikan menjadi milik bersama, kedua belah pihak menjadi pelaku sekaligus penerima kebaikan). Hal ini selaras dengan misi Islam yang transformatif untuk melindungi dan memberdayakan al-mustaḍ‘afīn (QS. 4:75).

Dengan demikian, memerdekakan di sini bermakna kerja transformasi melalui pengajaran, pembinaan karakter, dan—bila dipilih sebagai istri. Pernikahan yang berlandaskan kemitraan, dari kondisi tak atau kurang bermartabat menjadi bermartabat, dari lemah menjadi kuat, dari tak atau kurang maslahat menjadi berdaya dan berkemaslahatan. Transformasi ini menyiapkan seseorang menjadi subjek yang kapabel mengemban amanah kekhalifahan. Aktif mewujudkan kebaikan (ījād al-maṣāliḥ) dan meniadakan keburukan (maḥw al-mafāsid).

Mengenali Subjek–objek pada Konteks Awal

Dalam teks hadits ini, subjek yang kita sebut adalah rajulun—seorang laki-laki merdeka—yang melakukan serangkaian tindakan etis dan transformatif: mengajar, mendidik karakter, memerdekakan, dan menikahi. Sementara objek dari tindakan tersebut adalah walīdah, budak perempuan, yang dalam konteks sosial Arab abad ke-7 berada dalam posisi sosial paling rentan. Tidak merdeka, terbatas akses pendidikannya, lemah secara ekonomi, dan tanpa jaminan perlindungan masa depan.

Pertanyaan muncul: mengapa yang disebut secara eksplisit adalah laki-laki?

Jawabannya terletak pada realitas sosial saat itu. Laki-laki merdeka memang memiliki otoritas ekonomi, sosial, dan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan hadits. Bahkan, dalam masyarakat tersebut, banyak laki-laki memiliki budak perempuan dan sebagian tertarik menikahinya.

Dalam konteks inilah, Nabi Saw menegaskan orientasi etis dari tindakan itu. Bahwa relasi tersebut harus bertransformasi dari hubungan kepemilikan menuju hubungan kemanusiaan, dari eksploitasi menuju pemberdayaan, dan dari subordinasi menuju kemitraan yang bermartabat.

Dengan demikian, penyebutan laki-laki (rajulun) bukan bentuk pengkhususan ajaran, tetapi strategi komunikatif yang sesuai dengan struktur sosial ketika hadits itu tersampaikan. Nabi Saw mengarahkan para laki-laki agar mempraktikkan prinsip-prinsip etik Islam dalam relasi yang penuh ketimpangan sosial. Yakni menjadikan relasi tersebut sarana pemerdekaan dan pemberdayaan, bukan penguasaan.

Selain itu, redaksi hadits ini juga dapat kita baca sebagai bentuk pendidikan sosial yang progresif. Mendorong transformasi dari tindakan sederhana menuju tindakan etis yang lebih tinggi. Bisa jadi pada masa itu sebagian laki-laki hanya mengajar atau mendidik budak perempuannya, sebagian lain hanya ingin menikahi tanpa memerdekakan.

Hadits ini menaikkan standar moral tersebut. Jangan berhenti di pendidikan atau pernikahan, tetapi wujudkan pemerdekaan sebagai puncak etika kemanusiaan. Dengan demikian, sabda Nabi Saw ini tidak hanya mendidik budak perempuan agar merdeka, tetapi juga mendidik laki-laki agar menjadi subjek etis yang bertanggung jawab terhadap transformasi sosial di sekitarnya.

Meluaskan Subjek–objek

Langkah penting setelah menemukan pesan utama teks dalam Metode Mubadalah adalah meluaskan cakupan subjek dan objek. Prinsip dasarnya, pesan universal dari suatu teks tidak berhenti pada siapa yang kita sebut secara literal, melainkan berlaku bagi semua pihak yang dapat merealisasikan nilai etis yang terkandungnya.

Dalam hadits ini, kata rajulun tidak harus kita pahami sebagai identitas biologis yang eksklusif. Tetapi sebagai simbol bagi siapa pun yang memiliki kapasitas dan posisi sosial untuk melakukan kerja-kerja etis transformatif.

Dengan demikian, rajulun dapat mencakup perempuan merdeka yang mengajarkan, mendidik, dan memberdayakan orang lain hingga merdeka. Fokusnya bukan pada jenis kelamin pelaku, melainkan pada tindakan etis yang dilakukannya. Karena pahala ganda dalam hadits ini diberikan kepada pelaku kebaikan, bukan kepada laki-laki sebagai jenis kelamin tertentu.

Begitu pula dengan walīdah, objek yang disebut dalam teks. Ia tidak harus kita maknai semata-mata sebagai budak perempuan, tetapi juga bisa melambangkan setiap pihak yang berada dalam posisi lemah, tertindas, atau belum berdaya—termasuk laki-laki budak pada masa itu.

Dengan demikian, makna hadits ini meluas menjadi seruan universal agar siapa pun yang memiliki kelebihan pengetahuan, status, atau sumber daya menggunakan kelebihannya untuk mendidik, melindungi, dan memerdekakan pihak lain dari segala bentuk ketergantungan dan penindasan.

Perluasan makna ini tidak hanya menjaga relevansi hadits, tetapi juga menjaga ruh Islam sebagai ajaran yang terus menumbuhkan keadilan dan kemaslahatan dalam setiap ruang dan waktu. Fokusnya bukan pada siapa yang kita sebut, tetapi pada nilai yang diperintahkan untuk diwujudkan.

Kontekstualisasi Makna

Apabila pesan utama hadits ini adalah memerdekakan manusia dalam pengertian sosial, intelektual, dan moral, maka ketika sistem perbudakan telah terhapus secara historis, makna pemerdekaan harus kita terapkan dalam berbagai bentuk relasi sosial kontemporer.

Relasi antara majikan dan buruh, guru dan murid, penguasa dan rakyat, suami dan istri, lembaga dan masyarakat, hingga negara kaya dan negara miskin. Seluruhnya dapat menjadi medan aktualisasi pesan etis hadits ini. Dalam setiap bentuk relasi tersebut, nilai yang harus kita wujudkan adalah pemberdayaan, bukan dominasi; perlindungan, bukan eksploitasi; kemitraan, bukan ketergantungan.

Hadis ini juga dapat kita baca sebagai kritik terhadap struktur sosial modern yang masih menyisakan bentuk-bentuk “perbudakan baru”—seperti eksploitasi ekonomi, ketidakadilan pendidikan, diskriminasi gender, atau ketimpangan global. Dalam semua konteks ini, pihak yang memiliki kekuatan atau sumber daya—baik individu, lembaga, maupun negara—dituntut untuk berperan sebagai subjek etis yang berkomitmen pada pemerdekaan pihak lain.

Dengan demikian, pesan hadis ini dapat kita aplikasikan pada tataran kelembagaan dan global. Lembaga pendidikan yang memberdayakan kelompok marginal, organisasi sosial yang mendidik masyarakat rentan, atau negara yang membantu negara lain mencapai kemandirian dan kesejahteraan. Semua bentuk tindakan tersebut merupakan aktualisasi dari kerja etis “mengajar, mendidik, memerdekakan, dan menikahkan” dalam makna moralnya. Membentuk hubungan yang manusiawi, adil, dan saling menumbuhkan.

Kesimpulan

Hadis tentang laki-laki yang mengajar, mendidik, memerdekakan, dan menikahi budak perempuan bukan semata teks hukum mengenai status perbudakan dan pernikahan, melainkan sebuah teks etis tentang transformasi kemanusiaan. Dengan pembacaan melalui Metode Mubādalah, makna literal hadits ini berkembang menjadi pesan universal tentang pembebasan, pemberdayaan, dan kemitraan yang berkeadilan.

Dalam konteks awal, hadits ini berfungsi sebagai pendidikan moral bagi laki-laki agar menggunakan kekuasaan dan otoritas sosialnya untuk membebaskan. Bukan mengeksploitasi perempuan yang berada dalam posisi lemah. Pada tahap perluasan, pesan etis ini menjangkau seluruh manusia—laki-laki maupun perempuan. Yakni untuk berperan sebagai subjek moral yang memerdekakan sesama dan menumbuhkan kemaslahatan bersama.

Dalam konteks kekinian, makna pemerdekaan dalam hadits ini relevan untuk seluruh bentuk relasi sosial yang menuntut keadilan dan kesalingan. Baik di tingkat individu, keluarga, lembaga, organisasi, negara, maupun hubungan global. Prinsip yang kita tekankan adalah bahwa segala bentuk kelebihan. Baik berupa pengetahuan, kekayaan, kedudukan, maupun otoritas—harus berfungsi untuk memerdekakan, bukan menindas; membangun kemitraan, bukan menciptakan hierarki.

Dengan demikian, hadits ini menegaskan salah satu prinsip mendasar Islam. Bahwa rahmat dan akhlak mulia harus terwujud dalam relasi sosial yang memuliakan manusia. Metode Mubadalah menghidupkan kembali pesan tersebut dengan cara menempatkan setiap relasi manusia sebagai ruang pemerdekaan, kesalingan, dan kemaslahatan bersama. Baik dalam lingkup pribadi, keluarga, kelembagaan, kenegaraan, maupun kemanusiaan global. []

Tags: Hadis MubadalahKontekstualisasi MaknaMemaknai TeksMetode MubadalahRujukan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Metode Mubadalah
Hukum Syariat

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Fiqh
Hikmah

Kaidah Fiqh dapat Menjadi Rujukan dalam Membaca Realitas

4 Juli 2023
Al-Qur'an
Hikmah

Al-Qur’an Menjadi Rujukan dalam Menjawab Semua Persoalan Sosial

27 Juni 2023
al-Qur'an dan Hadis
Hikmah

Hadis dan Al-Qur’an Menjadi Sumber Rujukan Umat Islam

26 Juni 2023
Biologis
Hikmah

Pengalaman Biologis dan Sosiologis Perempuan Menjadi Sumber Rujukan Pengetahuan

21 Juni 2023
metode mubadalah
Hikmah

Metode Mubadalah Menggunakan Prinsip Dasar yang Menyapa Laki-laki dan Perempuan

27 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Metode Mubadalah

    Aplikasi Metode Mubadalah dalam Memaknai Hadits Bukhari tentang Memerdekakan Perempuan Budak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mbah War Sudah Kaya Sebelum Santri Belajar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum
  • Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP
  • Aplikasi Metode Mubadalah dalam Memaknai Hadits Bukhari tentang Memerdekakan Perempuan Budak
  • Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya
  • Memaknai Kebahagiaan Lewat Filosofi Mulur Mungkret Ki Ageng Suryomentaram

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID