• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Anak; Buah Cinta Bapak dan Ibu

Ulfatun Hasanah Ulfatun Hasanah
07/11/2022
in Kolom
0
Anak Buah Cinta Bapak dan Ibu

Anak; Buah Cinta Bapak dan Ibu

64
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– Anak yang hebat ditanya siapa bapaknya, anak yang nakal ditanya siapa ibunya! Begitulah realitas yang terjadi di masyarakat. Padahal anak adalah buah cinta dari bapak dan ibu. Tidak ada bapak, tak akan ada anak. Begitupun sebaliknya, tidak ada ibu mustahil seorang anak terlahir ke dunia.

Maka, mengurus anak dan tetek bengek dalam urusan rumah tangga lainnya seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya perempuan yang diberi tanggung jawab sedemikian berat seorang diri.

Saat anak sakit, ibu yang “dirasani”. Anak tidak lancar bicara dan membaca, ibu yang disalahkan. Bahkan saat anak teriak mau cewok (cebok) pun ibu yang sedang memasak di dapur dipanggil. Padahal bapaknya sedang santai membaca koran.

Tetapi giliran anak menjadi bintang kelas, bapak yang dipanggil. Bapak dipersilakan naik ke atas panggung untuk mendampingi anaknya menerima penghargaan. Bapak-lah yang dipersilakan.

Baca juga: Ayah Jangan Gengsi Memandikan Anak

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Hal ini sudah menjadi pemandangan biasa dan dianggap wajar-wajar saja. Tidak ada yang mengeluh, pun menuntut. Sebab perempuan yang “seperti itu” dianggap perempuan idaman dan salihah yang menjadi cerminan penghuni surga.

Persoalannya, siapa yang mengatakan itu? Tentunya laki-laki yang menginterpretsikan teks sesuai kemauan dan kebutuhannya. Interpretasi teks yang dipaksa masuk ke dalam ranah ibadah, walaupun hal itu sebenarnya adalah muamalah.

Hal yang paling miris adalah saat istri hanya dianggap budak suaminya. Sebagaimana diceritakan dalam kitab ’Uqudu al-Jain, yaitu:

“Hendaknya suami memberi pengertian kepada isterinya bahwa, sesungguhnya keberadaan isterinya tidak lebih bagaikan hamba sahaya (budak) di mata tuannya. Atau bagaikan tawanan yang tidak berdaya karena itu isteri tidak berhak mempergunakan harta-harta suaminya kecuali memperoleh izinnya.”

Baca juga: Mengkritisi Qurrah al-Uyûn dengan Nalar Mubadalah

Pembacaan teks seperti ini banyak digunakan laki-laki untuk melegitimasi bahwa istri hanyalah the second human yang menemani dirinya, hanya sebagai pelengkap. Jadi sah-sah saja saat urusan rumah tangga seperti menjaga anak menjadi tanggung jawab istri sepenuhnya. Sebab, ia hanya hamba sahaya, tugasnya hanya melayani suaminya.

Padahal tujuan menikah dalam Islam bukanlah penghambaan seorang perempuan kepada laki-laki. Melainkan proses untuk mengikatkan diri pada perjanjian kemitraan demi mencapai keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (Samara).

Tidak boleh ada yang menghambakan atau menjadi hamba pada yang lain, tetapi yang harus dibangun adalah kesalingan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan bersama dalam bingkai Samara.

Harapan kebahagiaan (sakinah) akan terwujud ketika masing-masing merasa senang dengan mencintai dan melayani (rahmah). Pada saat yang sama juga senang karena dicintai dan dilayani (mawaddah).

Baca juga: Rumah Tangga yang Samara

Sama halnya dalam persoalan mengurus anak, yang dibangun semestinya adalah kesalingan di antara seorang bapak dan ibunya. Keduanya bersama-sama mengasuh, mendidik, dan memberikan yang terbaik kepada anaknya.

Jika bapak juga bisa menemani anak bermain, mengapa harus menunggu ibu. Jika Bapak bisa memandikan dan menyuapi anak maka tak perlu menyuruh ibunya.

Bapak dan ibunya bisa menjadi partner yang solid untuk “ngemong” anaknya.

Dengan kesolidan ini seorang anak dapat merasakan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya tanpa ketimpangan salah satunya. Hal itu juga menjadi pembelajaran terhadap mental anak tentang pentingnya kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam menciptakan keluarga yang bahagia.

Dengan demikian, dari suasana keluarga yang seperti itu diharapkan lahir pribadi-pribadi tangguh yang penuh cinta, generasi yang baik budi pekertinya. Pasangan yang salih dan salihah, keluarga yang harmonis, dan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Demikian penjelasan sejatinya anak; buah cinta bapak dan ibu. Semoaga bermanfaat. []

Tags: anakayahbahagiaGenderIbuistrikeluargalaki-lakimawadahperempuanrahmahRelasirumah tanggasakinahSAMARAsuami
Ulfatun Hasanah

Ulfatun Hasanah

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version