• Login
  • Register
Jumat, 31 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Analisa Kritis Menyoal Pernikahan Beda Agama di Indonesia

Perbincangan nikah beda agama di Indonesia selalu mengundang perdebatan dan kontroversial. Hal ini karena ada dua pemicunya. Pertama, hukum keluarga terkait nikah beda agama di Indonesia yang masih dipandang ambigu dan tidak jelas. Kedua, ada ayat al-Qur'an yang membolehkan menikah dengan ahl al-kitab.

Fathonah K. Daud Fathonah K. Daud
24/05/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Pernikahan

Pernikahan

608
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tadi pagi ada diskusi dengan teman-teman terkait nikah beda agama. Tema ini jelas bukan isu baru, tetapi menurutku selalu hangat untuk dbincangkan dan seakan tidak pernah selesai. Oleh karena itu saya ingin berbagi  pendapat saya di tulisan sini.

Perbincangan nikah beda agama di Indonesia selalu mengundang perdebatan dan kontroversial. Hal ini karena ada dua pemicunya. Pertama, hukum keluarga terkait nikah beda agama di Indonesia yang masih dipandang ambigu dan tidak jelas. Kedua, ada ayat al-Qur’an yang membolehkan menikah dengan ahl al-kitab.

Saya akan mengulas yang pertama dulu, bahwa bunyi pasal 2 (1) UU Perkawinan No 1 tahun 1974 berbunyi: “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.” Menurut pasal ini, banyak yang memandang bahwa menikah beda agama jelas dilarang dan dipandang tidak sah menurut hukum yang berlaku.

Namun, ada pasal lain di UU yang sama tentang perkawinan campuran yang berbunyi: “Perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berada di Indonesia tunduk pada hukum yg berlainan.” Rumusan pasal ini tidak jelas, apakah yang dimaksud dengan tunduk pada hukum yang berlainan itu dilihat dari hukum karena berbeda golongan penduduknya atau karena beda agama, atau beda warga negaranya? Sebagai keterangan dalam Pasal 163 yang membagi rakyat Indonesia menjadi 3 golongan (Vide Indesche Staatsregelung) yaitu pribumi, Timur Asing, dan Eropa.

Akibat dipandang ambigu tersebut, maka rumusan pasal itu sendiri menimbulkan perdebatan, akibatnya ketidakjelasan hukum bagi mereka yang akan menikah beda agama. Namun ada keterangan lain yang dijelaskan dalam Pasal 57 UU No.1/1974 menyatakan: ‘Perkawinan campuran adalah perkawinan antar dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan warga negara dan salah satunya WNI.” Merujuk pasal tersebut, maka nikah beda agama adalah bukan termasuk nikah campuran. Ini sudah jelas.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Nafkah Keluarga Bisa dari Harta Istri dan Suami
  • Mengasuh Anak Tugas Siapa?
  • Kewajiban Orang Tua Menjadi Teladan Ibadah bagi Anak
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak

Baca Juga:

Nafkah Keluarga Bisa dari Harta Istri dan Suami

Mengasuh Anak Tugas Siapa?

Kewajiban Orang Tua Menjadi Teladan Ibadah bagi Anak

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

Atas dasar UU di atas, maka nikah beda agama di Indonesia selalu mendapat penolakan dari KUA (atas dasar nikah cara Islam). Meskipun demikian, menikah tidak selalu antar muslim dengan Hindu, Budha, dan agama lainnya, tetapi termasuk dengan perempuan Yahudi dan Nasrani.

Namun hal itu berbeda dengan keputusan di Pengadilan Negeri yang kadang masih memberikan izin bagi perkawinan antara orang yang berbeda agama. Dalam pendapat yang terakhir ini, karena mereka berpedoman pada pasal yang membolehkan perkawinan campuran tadi. Ini membingungkan, kan?

Oleh karena itu, yang menjadi perdebatan bukan hanya dalam tatanan aturan, tetapi dalam implementasi hukum juga simpang siur antara KUA, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Negerinya.

Dalam hukum Islam sudah jelas bahwa menikah beda agama adalah haram. Tetapi dalam al-Qur’an terdapat ayat yang membolehkan muslim menikah dengan perempuan ahli Kitab (Q.S al-Baqarah [2]: 221).

Surat al-Baqarah ayat 221 menjelaskan bahwa Muslim dilarang menikah dengan Musyrik. Artinya, apabila terjadi pernikahan antar mereka, maka hukumnya haram mutlak. Namun jumhur membolehkan menikah dengan ahli Kitab, karena ada beberapa alasan berikut ini: Pertama, Ahli kitab berbeda dengan Musyrik, dalam firman Allah:

لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البينة

Argumentasi kelompok ini mengatakan bahwa waw (huruf athaf) di sana mengandung adanya perbedaan esensi antara Ahl al Kitab dengan Musyrikin. Lantas siapa Ahli Kitab yang disebut dalam al-Qur’an ini? Yaitu mereka yang berpegang kepada kitab selain al-Qur’an. Jika disebutkan demikian, maka definisi tersebut berarti umat Yahudi dan Nasrani, karena mereka adalah umat yg mendapat Kitab sebelum al-Qur’an dan mereka termasuk dalam kategori agama Samawi (Semit). Meskipun demikian banyak yang menyangsikan hal itu, karena umat tersebut dipandang kini tidak lagi berpegang kepada Kitab yang murni.
Kedua, Berdasarkan pada Q.S. Al Maidah: 5 ‘Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang beriman dan yang menjaga kehormatan dari Ahl al Kitab sebelum Kamu’. Ayat ini turun belakangan dari surat al-Baqarah ayat 221. Oleh karenanya tidak dapat dinasakh dan dipandang masih terbuka sampai kapan pun.

Ketiga, Ada banyak fakta historis dari beberapa sahabat yang menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani. Karena perbuatan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari dakwah Islam kepada mereka. Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah saw, yang akhirnya perempuan ahl al Kitab itu masuk agama yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Atas dasar itu, banyak para sahabat yang membolehkan pernikahan dengan ahl Kitab. Seperti Usman, Talhah, Ibnu Abbas, Jabir, dan Khuzaifah. Sedangkan dari kalangan Tabiin, ada Said ibn Musyyab, Said bin Zubair, Hasan, Mujahid, Tawis, Ikrimah, Sya’bi, Dhahhak, jumhur fuqaha dan beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf al Qaradawi, Mahmud Syaltut, dan lainnya.

Bagi ulama yang mengharamkan nikah dengan perempuan ahli Kitab, argumentasi mereka cukup jelas karena ahl Kitab yang sekarang itu termasuk Musyrikin (dalil al Baqarah: 221). Mereka dipandang telah merubah dan menyeleweng dari ajaran kitab sucinya. Sehingga perempuan ahli kitab sudah berbeda jauh dengan agama tauhid. Pendapat ini telah sejalan dengan KHI pasal 40 (c): ‘Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria Islam dengan seorang perempuan tidak beragama Islam.” Kaum Yahudi dan Nasrani di Indonesia disebut Non- Muslim, sehingga pendapat ini tdk perlu diperdebatkan. Dalam al Quran berbunyi:

وماىؤمن أكثرهم بالله إلاوهم مشركون

Selain itu ada dalil lain seperti Q.S al-Maidah: 51; Q.S Ali Imran: 118, dan al Bayyinah: 6. Saya kira dasar hukum dari pendapat ini juga sudah jelas. Saya termasuk ikut pendapat ini.

Kembali pada hukum perkawinan di Indonesia yang dipandang ambigu tadi, bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sepintas memang sudah jelas, redaksi di atas, dan yang dimaksud kepercayaan di sini karena di Indonesia memang masih ada aliran kepercayaan.

Tapi, saya bertanya-tanya apa motif para penetap hukum ketika itu (1974) dengan redaksi seperti ini? Terutama jika dikaitkan dengan nikah beda agama? Sebab apabila ditinjau kembali dengan redaksi ‘dan (menurut) kepercayaannya’ ini menjadi luas maknanya sehingga dapat dikembalikan kepada keyakinan masing² individu, tidak hanya terkait pola beragamanya, tetapi juga ada pilihan pendapat ulama di dalamnya.

Hal ini saya kira masuk dalam kategori kepercayaan tiap individu. Terlepas apa motif para penetap hukum ketika itu, sehingga seakan-akan bisa dibenarkan apabila ada seorang Muslim yang mengikuti pendapat ulama yang membolehkan hendak menikahi perempuan Nasrani.

Demikianlah dugaan saya, maka seolah terkait pelaksanaan nikah beda agama yang khusus untuk perempuan ahli Kitab dan seorang pria Muslim ini bisa diserahkan kepada masing-masing keyakinan mereka dalam memahami pesan dari teks suci al-Qur’an.

Tentu di sini kita tidak dapat memaksa orang lain untuk sependapat dengan kita. Apabila kita memandang itu haram, maka belum tentu berlaku pada orang lain yang beragama sama dengan kita. Tugas umat Islam hanya memilih pendapat yang diyakininya benar dan jelas dasarnya dalam al-Quran dan Hadist. []

 

Tags: Beda AgamaFiqih PerkawinankeluargaKompilasi Hukum Islamperkawinanpernikahan
Fathonah K. Daud

Fathonah K. Daud

Lecturer di IAI Al Hikmah Tuban

Terkait Posts

Kontroversi Gus Dur

Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

30 Maret 2023
Ruang Anak Muda

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

29 Maret 2023
Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Goethe Belajar Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Puasa dalam Psikologi dan Medis: Gagalnya Memaknai Arti Puasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Puasa: Menahan Nafsu Atau Justru Memicu Food Waste?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja
  • Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam
  • Nafkah Keluarga Bisa dari Harta Istri dan Suami
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist