• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Cerita Petani dan Refleksi Spirit Gerwani

Spirit Gerwani memiliki politic of location yang mampu membaca problem lokal perempuan-perempuan Indonesia.

Alfiatul Khairiyah Alfiatul Khairiyah
02/10/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Cerita Petani

Cerita Petani

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id– Kami bukan juga bunga tercampak; dalam hidup terinjak-injak; penjual keringat murah; buruh separuh harga; tiada perlindungan; tiada persamaan; sarat dimuati beban. Ada yang ingat siapa yang menulis bait puisi ini? Ya, puisi ini karya Sugiarti anggota Lekra yang ia tulis pada tahun 1962.

Beberapa bait dalam puisi utuh berjudul “Wanita” ini bagi saya tidak hanya menggambarkan situasi perempuan saja. Tetapi siapapun yang kondisinya mengalami penindasan. Bait puisi ini cukup menggambarkan situasi ketimpangan, beban berlebih, upah murah, dan kerentanan.

Hal ini akan saya kaitkan dengan situasi cerita petani di pinggiran dan pedesaan sebagai subjek yang paling jarang kita soroti padahal penting diangkat. Berhubung tanggal 24 September kemarin kita juga baru saja melaksanakan Hari Tani Nasional.

Jadi mengapa cerita-cerita tentang petani tidak boleh hilang dari obrolan kita, bahkan dalam lalu-lalang informasi media sosial sekalipun? Kerena petani memiliki himpitan multidimensi, situasinya tak jauh berbeda dengan puisi di atas.

Karenanya, kaum tani juga menjadi salah satu agenda perjuangan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang bergandengan dengan Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam mengorganisir buruh tani dan terlibat dalam agenda land reform.

Baca Juga:

Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan

Gerakan Perempuan Indonesia

KUPI adalah Gerakan Bersama untuk Meneguhkan Eksistensi dan Peran Keulamaan Perempuan

Gerakan Perempuan di Pesantren

Jika ada pertanyaan dari mana baiknya kita memulai perjuangan di tingkat lokal, maka jawabannya dari para petani. Mengapa begitu? beberapa hari yang lalu, saya bersama teman ke salah satu desa di Jawa Tengah, Desa Randurejo Kabupaten Grobogan.

Cerita dari Petani

Selama beberapa hari saya hidup bersama para petani yang sedang tidak memiliki kepastian hak atas tanah. Klaim negara atas lahan melalui skema perhutani menyababkan petani di sana selalu dihantui oleh kekhawatiran-kekhawatiran atas tanahnya. Ketidakpastian hak atas tanah bagi para petani merupakan ancaman perampasan lahan dan penggusuran.

Seperti yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia, ada banyak praktik-praktik perampasan dan penggusuran yang menyebabkan petani kehilangan lahannya. Kebijakan perhutanan sosial dari pemerintah sebagai upaya menyejahterakan masyarakat sekitar hutan melalui pola pemberdayaan yang tetap berpedoman pada aspek kelestarian nyatanya tidak berjalan demikian.

Dalam acara peringatan Hari Tani Nasional waktu itu, kita semua bersama serikat tani Randurejo sama-sama sepakat bahwa kebijakan perhutanan sosial dan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) tidak berpihak kepada petani.

Petani yang diminta menanam tanaman kayu separuh lahan akan membuat hasil panen jagung sebagai komoditas utama mereka semakin sedikit. Belum lagi persoalan pembagian hasil. Sedangkan petani di sana hanya menggantungkan sumber ekonomi mereka kepada sektor pertanian.

Di tengah ketidakpastian hak atas tanah, petani juga mengalami ketidakpastian ekonomi karena faktor krisis iklim yang berdampak signifikan pada kondisi pertanian. Saya merasakan betul, bagaimana petani di sana bergantung hanya kepada hujan untuk bercocok tanam. “sudah lima bulan kami tidak menanam jagung, tanah kering dan hasil panen jagung kecil-kecil” kata Ibu Zahra saat kami duduk bersama bercerita prihal pertanian.

Kita tahu sendiri, bagaimana musim hari ini selalu datang tidak tepat waktu, atau bergeser dari waktu biasanya. Musim hujan kadang berakhir dengan cepat atau sebaliknya. Membuat petani tidak bisa memperkirakan aktivitas pertaniannya. Di Desa Randurejo sendiri, petani mengalami kekeringan lahan. Hal ini juga berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi masyarakat petani. Petani mengalami himpitan ekonomi, iklim, dan struktur secara bersamaan.

Spirit Gerwani

Cerita kedua setelah itu, saat saya mengikuti bedah buku berjudul Metode Jakarta di FISIPOL UGM. Dalam diskusi kemarin, salah satu pembahasannya adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ita Fatia Nadia, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Universitas Gadjah Mada sempat mengatakan bagaimana gerakan perempuan perlu mengambil pola-pola dan metode yang dilakukan oleh Gerwani.

Menurutnya, spirit Gerwani memiliki politic of location yang mampu membaca problem lokal perempuan-perempuan Indonesia. Pernyataan Ibu Ita memang saya amini. Soal bagaimana Gerwani merumuskan problem dasar perempuan Indonesia dengan perspektif lokalitas tanpa melupakan pengaruh global. Apa bukti Gerwani memiliki sens of locality? Coba tebak!

Kita bisa melihatnya dari gerakan-gerakan Gerwani yang selalu berafiliasi dengan organisasi-organisasi akar rumput seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan isu-isu yang diadvokasi oleh Gerwani adalah isu lokal.

Seperti yang tertuang dalam rumusan program perjuangan Gerwani yang terangkum dalam sembilan butir hak-hak bagi perempuan. Beberapa hal tersebut seperti hak sama bagi perempuan dalam perkawinan, hukum adat dan perburuhan, pelayanan sosial seperti sekolah, penitipan anak, dan layanan kesehatan.

Namun, gerwani juga tidak menutup mata pada problem-problem pedesaan dan pertanian, seperti bagi hasil, pajak tinggi, kenaikan bahan pokok, dan membantu gerakan petani dalam melawan upaya perampasan dari pemerintah terhadap tanah perkebunan yang telah petani garap sebelumnya.

Dalam perjuangannya, Gerwani bergerak dengan dua kaki, yakni kultural dan struktural dalam melawan imperialisme dan penindasan. Dua kaki ini juga bisa kita lihat dari tiga front gerakannya, front politik, feminis, dan kedaerahan.

Menyatukan Keduanya (Petani dan Spirit Gerwani)

Gerakan Gerwani yang menggurita menyebabkan Gerwani memiliki peran dalam berbagai isu. Gerwani melaksanakan beberapa front semenjak bernama Gerwis. Dalam front feminis, Gerwani telah mendukung tuntutan reformasi perkawinan, sedangkan dalam front kedaerahan mereka ikut terlibat bersama BTI dalam aksi reforma agraria.

Spirit kedaerahan Gerwani bagi saya tentu masih relevan hingga saat ini. Setelah cerita dari para petani Grobogan, bagaimana mereka hidup dari berbagai himpitan struktural dan kultural, termasuk para petani wanita. Politic of locality sepertinya juga perlu menjadi refleksi kita bersama hari ini.

Bertepatan dengan momen 30 September dan Hari Tani Nasional, saya kira menjadi momen yang pas bagi para aktivis perempuan untuk mengembalikan khittah perjuangannya bersama kaum tani. Gerwani terlibat aktif mengorganisir dan memberikan pendidikan hak atas tanah kepada perempuan petani dan terlibat atas beberapa pelaksanaan land reform.

Tentu, cerita soal kerentanan nasib petani atas tanahnya tidak hanya terjadi di Randurejo, Grobogan. Yang saya ceritakan hanyalah sebuah representasi dari bagaimana kondisi para petani hari ini. Cerita-cerita petani ini perlu diamplifikasi lebih luas, disikusikan, dikonseptualisasikan menjadi suatu gerakan bersama.

Saya juga masih ingat, para petani perempuan di Randurejo kemarin menyanyikan Mars perempuan yang jujur menggetarkan hati. “Perempuan bangkit melawan, Galang semua kekuatan, Lawan segala penindasan” menggema di tengah kerumunan petani laki-laki lainnya.

Spirit Gerwani juga dapat saya dengar dari nyanyian ini. Tinggal, spirit ini terus kita pelihara dan lakukan terus menerus. Aktivisme perempuan harus terus hidup bersama masyarakat-masyarakat yang mengalami penindasan. []

Tags: 30 SeptembergerakanGerwaniHari Tani NasioanalpetaniWanita tani
Alfiatul Khairiyah

Alfiatul Khairiyah

Founder Pesantren Perempuan dan Mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Terkait Posts

Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Lebih Religius

    Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID