• Login
  • Register
Kamis, 2 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Etika Mengajukan Lamaran (Khitbah)

Fathonah K. Daud Fathonah K. Daud
01/05/2020
in Featured, Hukum Syariat
0
557
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Islam memerintahkan setiap orang yang hendak menikah dapat memahami terlebih dahulu keadaan seseorang yang akan dinikahinya. Setidaknya memahami bahwa pasangan yang dipilih adalah seorang yang secara syara’ boleh dinikahi dan keadaannya baik. Di sini kedudukan lamaran menjadi signifikan untuk keberlangsungan pernikahan setiap insan.

Lamaran dalam literatur Islam dikenal dengan istilah khiṭbah. Menurut KH. A. Aziz Masyhuri (2017: 296), khiṭbah adalah peminangan kepada seorang wanita untuk dijadikan isteri sehingga salah seorang dari keduanya sudah terdapat ikatan sebagai calon suami isteri. Biasanya diwakili keluarga masing-masing. Khiṭbah merupakan wasilah untuk memperkenalkan pasangan lelaki dan perempuan yang akan melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Dalam khiṭbah hendaknya bukan semata-mata hanya penyampaian tujuan untuk meminang dan menikah, tetapi juga baik diisi dengan saling tukar informasi dari kedua belah pihak. Misalnya, terkait pekerjaan calon suami-isteri, pendidikan, atau harapan-harapan seperti akan memilih berapa jumlah anaknya nanti, dimana akan bertempat tinggal? Apakah bertempat tinggal di rumah baru atau pilih membersamai orang tua dan lain sebagainya.

Bahkan di saat khiṭbah ini juga sangat baik disampaikan hal-hal yang perlu diketahui oleh calon. Misalnya, terkait kesehatan, apakah salah satu calon mempunyai riwayat sakit diabetes atau penyakit kronis lainnya. Persoalan ini jangan malah dirahasiakan. Justeru sebaiknya disampaikan di awal, sebelum terjadi akad nikah. Sebab diabetes adalah tergolong penyakit kronis yang berbahaya dan beresiko menular melalui mutasi gen.

Adapun etika mengajukan khiṭbah dalam fiqh adalah sebagai berukut:

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja

Baca Juga:

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender

Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja

Pertama, pinangan kepada gadis atau kepada janda yang sudah habis masa ‘iddah-nya boleh dinyatakan secara terang-terangan.

Kedua, pinangan kepada wanita yang masih dalam masa ‘iddah (talak bain atau pasca kematian suaminya) tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dinyatakan secara sindiran saja.

Ketiga, dilarang melamar perempuan dalam masa ‘iddah talak raj’i (pendapat Jumhur ulama).

Keempat, dilarang meminang perempuan yang sedang dipinang orang lain.

Sementara itu, berdasarkan ayat dalam surat al-Baqarah : 235, bahwa ketentuan perempuan yang dipinang harus memenui syarat-syarat sebagai berikut, tidak terikat oleh akad perkawinan dengan lelaki lain, tidak berada dalam masa ‘iddah talak raj’i, dan tidak sedang dipinang orang lain.

Hal ini berdasarkan Hadits Nabi SAW berikut ini:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِب

Artinya: “Nabi saw melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang meminang perempuan yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”

Islam membedakan adab khiṭbah pada gadis dengan perempuan janda. Selain itu, orang melamar hendaknya tidak mengumumkan ke orang banyak. Bagaimana pun khiṭbah itu berbeda dengan pernikahan. Apabila di tengah perjalanan baru diketahui ada persoalan, khiṭbah boleh dibatalkan, dan tidak berlanjut ke jenjang pernikahan.

Khiṭbah itu belum ada ikatan resmi yang ditandai dengan akad nikah, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya dengan pernikahan. Hal itu berdasarkan Hadits Nabi saw. Dari Ummu Salamah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Kumandangkanlah pernikahan dan rahasiakanlah peminangan”.

Dalam kamus bahasa Arab, antara istilah “khiṭbah” dibedakan dengan istilah “zawâj” (menikah). Demikian juga dalam adat di Indonesia dibedakan antara mereka yang sudah menikah dengan yang bertunangan.

Hanya secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan ber-khalwat atau hal-hal yang sejenisnya. Untuk itulah, pertunangan hendaknya tidak usah diumumkan. Memandangkan antara pertunangan dan pernikahan ada jeda waktu yang kadang tidak pasti.

Dikatakan tidak pasti, karena pertunangan ini ada kalanya berlanjut hingga ke pernikahan, tetapi juga tiada larangan apabila tidak dilanjutkan hingga ke pernikahan. Hal itu apabila di masa pertunangan ini ditemukan hal-hal yang tidak dikehendaki atau ternyata menjadi halangan untuk menuju akad pernikahan.

Namun, dalam ‘penggagalan’ khiṭbah tersebut ada etikanya. Sesama umat Islam dilarang saling menyakiti dan harus disampaikan alasan yang rasional mengapa tidak dilanjutkan ke pernikahan. Termasuk memperhatikan adat kekeluargaan dan masyarakat setempat yang berbeda-beda.

Hal itu bisa dilakukan dengan cara dimusyawarakan terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang terkait, disampaikan dengan bahasa yang lugas, santun, tidak berbelit-belit, tidak boleh membeberkan aib orang lain dan menghindari pemutusan silaturrahim. Intinya, apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki sebelum terjadi ijab-qabul pernikahan, maka pertunangan masih bisa digagalkan.

Di sini ada hikmah dari khiṭbah, sehingga pernikahan dapat dilaksanakan antara dua insan merupakan pilihan terbaik. Tujuannya untuk menjalani kehidupan bersama yang penuh dengan cinta dan ikhlas untuk mencapai ridla Ilahi. Oleh itu, jika dibanding perkawinan pra-Islam, syariat khiṭbah memberikan kemuliaan kepada gadis atau perempuan, apakah perempuan tersebut sebagai yang dilamar atau pelamarnya.

Selain orang tua yang dimintai restu dan izinnya, khiṭbah juga meminta persetujuan perempuan, baik menerima atau menolaknya. Dengan adanya khiṭbah menunjukkan bahwa pelaksanaan pernikahan tersebut telah direstui oleh orang tua (wali) mempelai pengantin juga atas kehendak mereka berdua.

Khiṭbah dapat membebaskan perempuan untuk menentukan dirinya dan memilih pasangan hidupnya. Tradisi khiṭbah juga dapat memberi gambaran tentang apa saja kegiatan pra pernikahan dalam ajaran Islam, yang berbeda dengan tradisi agama lain. Wallâhu a’lamu. []

Fathonah K. Daud

Fathonah K. Daud

Lecturer di IAI Al Hikmah Tuban

Terkait Posts

Hukum Aborsi

Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

29 Desember 2022
Belenggu Patriarki dalam Narasi Kepahlawanan Tiga Srikandi Aceh

Belenggu Patriarki dalam Narasi Kepahlawanan Tiga Srikandi Aceh

20 Desember 2022
Khitan Perempuan

OIAA-Cairo: Mengharamkan Khitan Perempuan Sesuai Syari’ah Islam

19 Desember 2022
Khitan Perempuan

Ulama Dunia Desak Hentikan Khitan Perempuan

13 Desember 2022
Gus Dur Menurut Mba Alissa

Gus Dur Menurut Mba Alissa

12 Desember 2022
Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran

Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran Menurut Syekh As-Sya’rawi

2 Desember 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyadran Perdamaian

    Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist