• Login
  • Register
Sabtu, 28 Januari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Mengapa Terjadi Kekerasan Seksual terhadap Perempuan? (Bagian 2)

KH. Husein Muhammad KH. Husein Muhammad
20/03/2019
in Kolom
0
Perempuan bersedih

Ilustrasi: pixabay[dot]com

20
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pertanyaan krusial kita adalah mengapa terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan dan bagaimana sikap Islam terhadapnya? Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan guna mencari akar persoalan mengapa terjadi banyak kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan.

Ada sejumlah asumsi yang berkembang di publik selama ini. Keduanya lebih berdimensi moralitas atau agama. Asumsi pertama mengarahkan kesalahan kepada perempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dari perempuan sendiri. Mereka disalahkan, karena memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik. Mereka tidak menutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab.

Perempuanlah yang menciptakan “fitnah” (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki. Anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit dipahami oleh logika cerdas, bersih dan kritis. Bagaimana mungkin seorang yang tidak melakukan suatu tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilihnya dinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa? Apa yang salah dari dia? Mengapa menyalahkan dia dan bukan pelakunya?

Bukankah pelaku itu yang melakukan kejahatan. Jika saja pikiran pelaku itu terkendali, niscaya tak melakukan kekerasan itu. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutama perkosaan, terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik, melainkan juga terjadi pada perempuan balita dan manula. Ia juga terjadi terhadap isterinya bahkan terhadap darah dagingnya sendiri (incest), ayah terhadap anak kandungnya sendiri, atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atau kakak terhadap adiknya sekandung. Kekerasan seksual juga terjadi terhadap perempuan berjilbab.

Dalam kasus perkosaan yang terjadi di sebuah perguruan tinggi agama terkemuka di Jakarta beberapa waktu lalu, korban mengenakan jilbab warna putih, celana hitam, baju hijau dengan dalaman kaos warna loreng. Pada sisi lain perempuan tanpa jilbab juga tidak selalu menimbulkan perkosaan atau kekerasan seksual dalam bentuk lainnya.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • 3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik
  • Khitan Baik Bagi Laki-laki dan Tidak Baik Bagi Perempuan
  • Budaya Patriarki Picu Perempuan Jadi Mayoritas Korban Kekerasan Seksual
  • Metode Mubadalah Menggunakan Prinsip Dasar yang Menyapa Laki-laki dan Perempuan

Baca Juga:

3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik

Khitan Baik Bagi Laki-laki dan Tidak Baik Bagi Perempuan

Budaya Patriarki Picu Perempuan Jadi Mayoritas Korban Kekerasan Seksual

Metode Mubadalah Menggunakan Prinsip Dasar yang Menyapa Laki-laki dan Perempuan

Orang yang melihat perempuan tanpa jilbab/hijab tidak selalu melakukan pelecehan dan perkosaan. Ini menunjukkan bahwa antara perkosaan dan penampilan tidak berjilbab/hijab tidak memiliki hubungan sebab akibat.

Demikian juga alasan bahwa perkosaan terjadi karena pelaku terpengaruh oleh gambar-gambar porno atau menonton video porno. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menonton video porno terlibat dalam aksi kekeraan seksual. Factor-faktor ini lebih sekedar sebagai pemicu belaka bagi munculnya impuls-impuls hasrat birahi laki-laki terhadap perempuan.

Ada juga pandangan atau asusmsi yang menyalahkan pelaku dengan basis moralitas atau agama. Ia mengatakan bahwa kekerasan seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak bermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Pandangan ini boleh jadi benar, tetapi kita kesulitan mendefinisikan atau mengidentifikasi baik-buruknya moralitas seseorang sebelum ia melakukan perbuatannya.

Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual pelakunya justeru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. Komnas Perempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam: ada tokoh masyarakat, pejabat, anggota parlemen, tokoh agama, dan lain-lain.

Bahkan, sebagaimana dilansir media massa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur, ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapa hari ini media massa melansir seorang Raja yang sangat dihormati diduga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kita mendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu tindakan? Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argumen “moralitas” tersebut. (Baca : Catahu Komnas Perempuan, 2013).

Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didevinisikan sebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1)

Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih pada adanya ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang mengakar dalam budaya masyarakat. Ia adalah sistem sosial-budaya patriarkhi; sebuah sistem/ideologi yang melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas, menguasai, kuat, pintar dan sebagainya.

Dunia dibangun dengan cara berpikir, dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki, termasuk dengan cara-cara kekerasan.

Ideologi patriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhi penafsiran atas teks-teks agama dan juga para pengambil kebijakan-kebijakan publik/politik. Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik. Ketimpangan yang didasarkan atas sistem sosial/ideologi inilah yang berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak kekerasan terhadap perempuan.

Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik ekonomi, pengetahuan, status social dan lain-lainnya. Kendali muncul dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga, pengasuh-santri dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, bahkan orang pusat-orang daerah.[]

Tags: Buya HuseinfeminismeGenderhusein muhammadKekerasan seksualperempuanseksual
KH. Husein Muhammad

KH. Husein Muhammad

KH Husein Muhammad adalah kyai yang aktif memperjuangkan keadilan gender dalam perspektif Islam dan salah satu pengasuh PP Dar al Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Terkait Posts

Content Creator, Ngemis Online

Content Creator atau Ngemis Online?

28 Januari 2023
Pengalaman Perempuan

Writing for Healing: Mencatat Pengalaman Perempuan dalam Sebuah Komunitas

28 Januari 2023
Pesantren Menjawab Isu Lingkungan

Atensi Pesantren Menjawab Isu Lingkungan

28 Januari 2023
Budaya Patriarki

Budaya Patriarki Picu Perempuan Jadi Mayoritas Korban Kekerasan Seksual

27 Januari 2023
Tata Kelola Sampah

Bermubadalah, Perspektif Baru Tata Kelola Sampah

27 Januari 2023
Kampus Cantik

Akun Instagram Kampus Cantik, Sebuah Bentuk Glorifikasi Seksisme Bagi Perempuan

27 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fatwa KUPI

    Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Atensi Pesantren Menjawab Isu Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Writing for Healing: Mencatat Pengalaman Perempuan dalam Sebuah Komunitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Konco Wingking Dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik
  • Content Creator atau Ngemis Online?
  • 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah
  • Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis
  • Terminologi Mubadalah Berguna Untuk Gagasan Relasi Kerjasama

Komentar Terbaru

  • Menjauhi Sikap Tajassus Menjadi Resolusi di 2023 - NUTIZEN pada (Masih) Perlukah Menyusun Resolusi Menyambut Tahun Baru?
  • Pasangan Hidup adalah Sahabat pada Suami Istri Perlu Saling Merawat Tujuan Kemaslahatan Pernikahan
  • Tanda Berakhirnya Malam pada Relasi Kesalingan Guru dan Murid untuk Keberkahan Ilmu
  • Tujuan Etika Menurut Socrates - NUTIZEN pada Menerapkan Etika Toleransi saat Bermoda Transportasi Umum
  • Film Yuni Bentuk Perlawanan untuk Masyarakat Patriarki pada Membincang Perkawinan Anak dan Sekian Hal yang Menyertai
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist