• Login
  • Register
Sabtu, 12 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Modernisme Islam: Tokoh dan Pemikirannya

Sejarah kelahiran Muhammadiyah tidak bisa terpisahkan dari pemikiran Abduh yang rasional

Salman Akif Faylasuf Salman Akif Faylasuf
11/07/2024
in Publik
0
Modernisme Islam

Modernisme Islam

645
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Jamaluddin Al-Afhani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah tiga tokoh penting di dalam sejarah “Modernisme Islam”. Modernisme Islam adalah suatu kecenderungan pemikiran yang berkembang di dalam dunia Islam terutama di Mesir dan sekitarnya pada abad 19 dan awal abad 20. Intinya adalah gagasan yang mengupayakan kesesuaian antara Islam dengan dunia modern. Yakni penafsiran Islam yang tersesuaikan dengan zaman modern (modern datang dari Barat).

Jika kita telisik, sebenarnya modernisme Islam mempunyai kaitan dengan Rifa’ah Al-Tahtawi. Ia adalah satu tokoh yang mengenalkan peradaban Perancis kepada pembaca Mesir. Ia banyak menerjemahkan buku-buku mengenai filsafat, hukum, teologis dan lainnya. Tak hanya itu, ia juga dianggap sebagai bapak kebangkitan “Renaissance” atau “kebangkitan kembali” pemikiran Arab modern.

Dari Al-Tahtawi (yang pernah tingga 4 tahun di Mesir) lahirlah generasi-generasi berikutnya yang meneruskan semangat Al-Tahtawi, yaitu Jamaluddin Al-Aghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Al-Afghani kita kenal karena gagasannya yaitu “Pan Islamisme”, adalah kesatuan dunia Islam untuk melawan kolonialisme Barat. Sekali lagi ia dianggap tokoh penting karena mengoperkan Pan Islamisme keseluruh dunia untuk melawan penjajahan Barat, termasuk pengaruhnya sampai ke Indonesia.

Pan Islamisme

Demikian juga dengan murdnya Muhammad Abduh. Ia bukan saja meneruskan gagasan Al-Afghani di dalam mengembangkan Pan Islamisme, melainkan juga mengembangkan gagasan yang lebih spesifik yaitu “Reformisme”, melakukan gerakan yang disebut dengan “Islah”. Intinya, bahwa Islam sebagai praktik sosial, peradaban dunia sedang mengalami kemorosotan dan untuk membangkitkannya diperlukan pembaharuan.

Baca Juga:

Muhammad Abduh: Jika Nafsun Wahidah adalah Adam, Maka Adam yang Mana?

Pembaharuan yang dianggap Abduh penting salah satunya adalah di dalam cara pandang “world view” atau cara pandang akan dunia. Ia berusaha mengkritik beberapa warisan pemahaman Islam tradisional yang dianggap tidak sesuai dengan tantangan modernisme.

Itu sebabnya, Abduh kemudian mengembangkan pemikiran teologi rasional bahkan ia dianggap dekat dengan Muktazilah. Namun demikian, teologi Abduh bukan teologi fatalistik yang mengatakan bahwa seluruh tindakan manusia sudah Tuhan tentukan sehingga tidak mempunyai peran apa-apa, tawakkal saja. Tidak demikian.

Justru Abduh mengembangkan teologis yang optimis yang mengatakan bahwa manusia mempunyai peran. Karena itu, Abduh menulis “Risalah Al-Tauhid” berisi gagasannya. Yaitu teologi tauhid yang lebih mengembangkan independensi atau otonomi manusia.

Tak hanya itu, Abduh juga menulis buku “Al-Islam wa Al-Nasraniyah Ma Al-Ilmi wa Al-Madaniyah”. Isinya menolak tuduhan sebagian Oreintalisme Barat yang mengatakan bahwa Islam anti modernitas dan teknologi. Kata Abduh Islam tidak demikian, melainkan Islam sangat “Pro” akan ilmu pengetahuan dan mencintai pengetahuan.

Semangat Terbuka terhadap Barat

Salah satu ciri khas Abduh yang sangat menarik adalah (karena masih membawa semangat Al-Tahtawi) semangat terbuka terhadap Barat, pemikiran rasional dan peradaban modern. Sekali lagi, Islam adalah agama yang mencintai pengetahuan dan keberpikiran. Dengan kata lain, Islam tidak hanya mengulang-ngulang saja “taklid buta”, melainkan Islam juga melahirkan kreativitas ilmu-ilmu yang lain.

Yang tak kalah menariknya, karena gagasan-gagasan Abduh lah yang mengilhami berdirinya ormas Islam besar kedua yang bernama Muhammadiyyah. Sejarah kelahiran Muhammadiyah tidak bisa terpisahkan dari pemikiran Abduh yang rasional. Inilah warisan yang penting di tengah kecenderungan umat Islam yang sedikit-sedikit anti pemikiran Barat tak terkecuali mencurigai pemikiran dan pendekatan rasional.

Lalu siapa sebenarnya Rifa’ah Al-Tahtawi?

Rifa’ah Al-Tahtawi (1801-1878) hidup pada abad 19. Ia adalah kepala delegasi Mahasiswa Mesir yang diutus oleh Gubernur Mesir (pada saat di bawah kekhalifahan Utsmani di Turki, Istanbul) yang bernama Muhammad Ali. Ia terkenal karena kebijakan-kebijakannya untuk memodernisasi negara Mesir, terutama di bidang teknologi, birokrasi, tak terkecuali bidang-bidang penyelenggaraan negara.

Model Muhammad Ali di dalam memodernisasi Mesir adalah Prancis (karena hubungan yang sangat khas antara Mesir dan Prancis). Kita tahu, Prancis pernah menduduki Mesir pada masa Napoleon Bonaparte (mantan Kaisar Perancis). Akibatnya, pengaruh pemikiran dan peradaban Perancis sangat besar.

Ketika Muhammad Ali melakukan modernisasi pada abad 19 sejumlah Mahasiswa ia utus ke Prancis untuk belajar dalam berbagai disiplin, termasuk Al-Tahtawi yang merupakan lulusan Al-Azhar dan “kiai tradisional”. Saat Al-Tahtawi di Prancis, ia bukan saja sebagai pendamping atau imam Mahasiswa, melainkan juga belajar secara ototidak.

Misalnya, ia belajar dari nol bahasa Prancis dan menguasainya serta terlibat pergaulan yang sangat luas dan mengenal peradaban dan intelektual Prancis. Dengan kata lain, dalam rentang waktu 5 tahun di Prancis ia menyerap banyak informasi dan pengetahuan.

Hingga akhirnya ketika kembali ke Mesir ia menulis “memoar”. Tentu saja memoar ini sangat berharga oleh sebab ia tulis berdasarkan pengalaman-pengalaman. Memoar itu ia beri judul “Talkhis Al-Ibris fi Talkhis Al-Paris” ringkasan selama ia hidup di Paris.

Kritik dan Apresiasi terhadap Peradaban Prancis

Salah satu testimoninya dalam buku itu ia mengatakan begini: “Sesungguhnya orang-orang Paris itu mempunyai keunggulan atau khas. Di antara orang-orang Kristen lain, orang Paris mempunyai ciri khas kecerdasan dan kedalaman pemahaman-pemahaman dalam mengeksplorasi hal-hal baru.”

Jika kita membaca lebih jauh buku “Talkhis Al-Ibris fi Talkhis Al-Paris” ada kritikan dan apresiasi terhadap peradaban Paris (Prancis). Menariknya, pada Al-Tahtawi ini kita masih melihat ada sikap keterbukaan (dunia Islam tercerminmelalui figur Al-Tahtawi terhadap perabadan Barat).

Namun demikian, sebetulnya, hal ini sangat kontras dengan perkembangan sekarang. Di mana, sikap sentimen terhadap Barat, anti Barat, menuduh Barat sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menghancurkan Islam tanpa memisah-misahkan Barat yang mana, sebab Barat kompleks tidak sesuatu utuh dan satu. Bagaimanapun Barat ada segi positifnya, tidak selamanya negatif.

Dan bukunya Al-Tahtawi adalah sebuah kesaksian era di mana Islam masih mempunyai sikap lapang dada dan keterbukaan-keterbukaan. Inilah yang patut kita lestarikan dan apresiasi. Wallahu a’lam bisshawab. []

Tags: Jamaudin Al AfghaniModernisme IslamMuhammad AbduhPan IslamismeRasyid Ridha
Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait Posts

Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Disabilitas

    Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Persoalan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID