Mubadalah.id – Berjuta tanya seringkali hadir di benak saya sebagai anak yang dibesarkan oleh single mom, khususnya apabila mendengarkan tentang stereotype yang berkembang di masyarakat terkait janda. Sebagai anak yang dibesarkan oleh seorang single mom, saya tidak pernah merasa berbeda dengan teman-teman lainnya, yang dibesarkan oleh kedua orang tua yang lengkap.
Saya tidak pernah merasa kekurangan baik dalam kebutuhan materi maupun kebutuhan kasih sayang. Karena itu bagi saya, Ibu adalah perempuan terhebat karena ia mampu berperan sebagai single mom, ibu sekaligus ayah dalam membesarkan anaknya.
Ayah telah dipanggil Yang Maha Kuasa ketika umur saya masih beranjak sepuluh bulan. Sejak saat itu ibu memutuskan untuk menjadi single fighter yang menggantikan peran ayah dalam membesarkan saya hingga dewasa. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pada saat itu, saya sering bertanya tentang sosok ayah kepada ibu.
Saya juga sering iri melihat teman-teman yang memiliki orang tua yang lengkap. Namun, hal itu tidak lantas membuat saya merasa kurang dibanding teman-teman. Karena nyatanya saya juga memiliki sosok ayah, meskipun bersemayam di raga seorang perempuan hebat, seorang single fighter, yaitu ibu.
Ibu memang seorang single mom atau biasanya masyarakat kita menyebutnya janda. Sebagai seorang perempuan yang menyandang status janda di tengah masyarakat, ibu tidak jarang merasa terbebani. Bahkan menurut ibu, beban untuk menanggung status janda di tengah masyarakat lebih berat dibanding merawat, membesarkan, dan mendidik anaknya sendiri. Apalagi saat itu umur ibu masih 20 tahunan.
Janda merupakan sebutan bagi perempuan yang tidak bersuami karena bercerai atau ditinggal meninggal. Namun, Janda sering sekali menjadi sebuah stereotipe negatif di tengah masyarakat dan sering dijadikan bahan candaan yang sifatnya melecehkan. Janda sering dikaitkan dengan penggoda, genit, pelakor, jablay, gampangan bahkan perusak rumah tangga orang.
Berbagai stereotype tersebut telah melahirkan mitos mengenai single mom atau janda dan sering disebarkan melalui berbagai media popular seperti film, acara televisi, talkshow, komedi situasi. Berbagai stereotipe yang menyebar secara massif dan turun temurun ini telah melahirkan diskriminasi terhadap janda. Perundungan bahkan pelecehan kerap dialami oleh para perempuan yang menyandang status janda. Berbagai pemberitaan telah menunjukkan ada banyak kejadian pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami oleh janda.
Menjadi janda akibat perceraian dalam masyarakat di Indonesia pun tidak mudah. Beban diskriminasi yang dialami janda lebih besar daripada saat menjadi duda. Berbeda dengan duda, janda menjadi pihak yang selalu disalahkan dalam perceraian yang terjadi antara suami dan istri. Perceraian dalam pandangan masyarakat berbudaya patriarki terjadi akibat kesalahan si istri, meskipun yang menjadi penyebab perceraian adalah kesalahan laki-laki.
Contoh kasus; saat laki-laki melakukan poligami secara diam-diam yang membuat istri tidak menerima sehingga terjadilah perceraian. Namun, pihak yang disalahkan tetap lah perempuan. Perempuan sering dianggap tidak mampu memenuhi persyaratan untuk menjadi istri yang ideal bagi suami sehingga suaminya mendambakan istri lainnya. Tentunya hal ini tidak berlaku bagi sang istri.
Berbagai stereotype terhadap single mom atau janda sering kali membuat perempuan yang menyandang status ini terburu-buru untuk mencari pasangan hidup baru dan menikah lagi. Hal tersebut sebagai upaya untuk melepaskan status janda yang ia kenakan.
Ditambah lagi tuntutan masyarakat yang terus menerus membisikkan tentang tidak enaknya hidup menjadi single mom atau janda. Sementara itu, laki-laki yang mempersunting janda juga sering memberikan perlakuan berbeda dibanding saat mempersunting seorang gadis. Mempersunting seorang janda dianggap lebih ‘mudah’ dan ‘murah’ dibanding mempersunting seorang gadis.
Kembali lagi pada cerita ibu saya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ibu juga sering mengalami hal serupa dengan penggambaran saya di atas. Namun, beban pahit saat menyandang status janda sama sekali tidak pernah ia tunjukkan pada saya.
Ibu selalu berusaha menunjukkan sikap-sikapnya yang bertolak belakang dari berbagai stereotype masyarakat terhadap janda. Sehingga yang terlihat dari sosok ibu adalah sikap tegas, berprinsip, keras, dan teguh hati serta kerja keras dan pengorbanannya untuk anak semata wayangnya.
Tidak jarang pula tetangga maupun kolega sering memuji bahkan memberikan pengecualian ibu saya sebagai ‘janda yang berbeda’ dari janda lainnya karena keberhasilannya dalam menghantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Ini memang pujian bagi ibu, tapi mirisnya tetap bukan ditujukan untuk ‘janda’ pada umumnya.
Namun apapun itu, bagi saya, Ibu adalah sosok perempuan yang sukses mematahkan stereotype terkait ‘janda’ yang berkembang di tengah masyarakat. Jadi, teruntuk single mom lainnya, kalian adalah para ibu yang hebat! Jangan pernah patah semangat dan berkecil hati, karena yakinlah kalian pasti bisa menghantarkan anak-anak ke gerbang kesuksesan suatu saat nanti. []