• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Tafsir Qur’an Perspektif Kesetaraan

Hilyatul Aulia Hilyatul Aulia
13/12/2017
in Kolom
0
36
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Islam merupakan agama yang menuntut keadilan dalam tatanan masyarakatnya. Oleh karena itu, keadilan Islam harus sampai kepada setiap umatnya baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, realita yang terjadi sejak dulu hingga sekarang, kaum perempuan selalu menjadi korban ketidakadilan. Perempuan selalu dianggap sebagai makhluk subordinat, korban diskriminasi dan dan kurang dihargai. Bahkan pada zaman pra-Islam, perempuan diberlakukan bagaikan barang yang dapat dijualbelikan dan diwariskan. Bagaimana tafsir Qur’an perspektif kesetaraan melihat ini?

Budaya patriarkhi yang merupakan warisan turun temurun umat manusia sejak dulu, telah mengakar kuat dalam struktur masyarkat. Padahal, Islam tidak pernah menyinggung soal keabsahannya. Islam menghendaki kesetaraan pada umatnya, tidak memandang kaya-miskinnya, tinggi-rendah jabatannya atau pun jenis kelaminnya, karena al-Qur’an sendiri menyubutkan bahwa yang paling tinggi derajatnya di mata Tuhan adalah yang paling tinggi nilai ketakwaannya.

Baca juga: Merebut Tafsir: Sekali lagi Jilbab dan Burqo

Pembahasan kali ini dititikberatkan pada ayat 34 surah An-Nisa yang tafsir ayatnya, pada umumnya tidak memberikan keadilan pada perempuan. Dalam ayat ini, para mufassir pada umumnya berpendapat bahwa laki-laki (ar-rijal) adalah pemimpin atas perempuan (an-nisa) dikarenakan sebagian dari mereka (laki-laki) mempunyai kelebihan atas sebagian yang lain (perempuan) dalam segi intelektual dan ekonomi.

Padahal teks al-Qur’an sendiri tidak mengkhususkan kata gantinya (dhomir) pada laki-laki, karena menurut para ahli bahasa dhomir ‘hum’ di sini bermakna universal, artinya bisa jadi perempuan ataupun laki-laki.

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Realitanya, ada juga kaum perempuan yang memiliki kapasitas intelektual yang lebih tinggi dan dapat menafkahi keluarganya ketika suami tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai pemberi nafkah. Lalu apakah perempuan yang memiliki kapasitas intelektual dan ekonomi lebih unggul dapat menjadi pemimpin? Seharusnya bisa.

Karena teks ayatnya sendiri menyebutkan hanya sebagian laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin, sehingga memunculkan pemahaman bahwa sebagian yang lain mungkin tidak bisa karena tidak memiliki kreteria yang telah disebutkan, sehingga memberikan peluang bagi perempuan yang mumpuni untuk menjadi pemimpin dalam setiap tatanan kehidupan.

Keislaman secara formal yang besar cenderung untuk melemahkan perempuan karena pemahaman islam pada umumnya adalah Islam yang terjadi di Arab, di mana sistem yang ada pada masyarakatnya sampai saat ini masih menyulitkan perempuan. Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam relasi kehidupannya.

Perempuan sangat sulit sekali untuk keluar rumah karena masih dipandang sebagai aib yang besar. Kalaupun boleh keluar, harus didampingi oleh mahramnya, tentu ini sangat merepotkan karena melibatkan individu lain bahkan untuk memenuhi kebutuhan primer seorang individu yang seharusnya dapat dipenuhi secara mandiri.

Struktur masyarakat seperti ini menciptakan pandangan miring terhadap perempuan, di mana perempuan adalah makhluk yang lemah yang tidak dapat berdiri sendiri. Padahal budaya masyarakatnya sendiri yang meciptakan sistem kehidupan seperti ini, bukan doktrin agama.

Hal ini juga dapat disebabkan oleh tafsir teks al-Qur’an yang kurang sesuai dengan realita. Teks al-Qur’an -terutama tentang relasi laki-laki dan perempuan- hanya ditafsirkan secara harfiyah atau hanya dari satu sudut pandang saja, maka akan menciptakan suatu pemahaman yang tidak adil, karena hanya menguntungkan satu pihak.

Karena itu, perlu adanya tafsir baru pada ayat ini, di mana realita kehidupan harus menjadi sorotan utama dalam metodenya, bukan hanya mengandalkan dalil-dalil naqli saja. Karena untuk memberi solusi yang tepat, harus dikenali dulu realitanya, bukan tiba-tiba menjustifikasi teks al-Qur’an untuk dijadikan sebuah jawaban dari masalah yang realitanya belum tergambar secara jelas, karena teks al-Qur’an yang disampaikan, tafsirannya belum tentu tepat untuk menjawab masalah yang dimaksud.

Seperti halnya realita masyarakat di mana banyak kaum perempuannya memiliki daya otonomi yang cukup tinggi. Bisa saja teks al-Qur’an yang sama disampaikan dalam realita ini, namun harus dengan sudut pandang yang berbeda, di mana perspektif keadilan gender harus diterapkan agar sesuai dengan realita yang terjadi.

Kesetaraan merupakan salah satu cita-cita Islam. Di mana dengan terjunjung tingginya prinsip kesetaraan, maka akan menimbulkan kesadaran akan esensi tauhid yang sesungguhnya yaitu hanya Allah SWT lah satu-satunya tuhan yang berhak untuk disembah, bukan raja, pemimpin, ataupun suami.

Caranya mudah, beri kesempatan pada kaum tertindas untuk mendapatkan fasislitas yang sama dengan kaum yang lebih unggul agar mereka dapat berkembang seperti yang lainnya, misalnya kesempatan untuk mengenyam pendidikan, kesempatan untuk tampil di depan  publik, kesempatan untuk menaikkan tingkat ekonomi dan sosial dan kesempatan lainnya yang sekiranya dapat menjunjung eksistensi kaum tertindas agar mereka pun dapat dipandang oleh mata publik.

Meskipun dibutuhkan proses yang berbeda, yang terpenting adalah hasil yang sama sehingga akan terwujudnya prinsip keadilan.[]

 

*Tulisan ini adalah refleksi penulis atas Kuliah Umum dari Hj. Dr. Nurrofi’ah, dosen pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 7 November 2017 di Ma’had Aly Kebon Jambu. Penulis adalah mahasantri di kampus tersebut. Refleksi ini terdiri dari empat tulisan yakni: Tafsir Qur’an Persektif Kesetaraan, Poligami Terbatas Menuju ke Arah Monogami, Islamisasi bukan Arabisasi, dan Solusi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer.

Tags: hilyatul auliaKesetaraanperempuanTafisr Qur'an prespektik kesetaraantafsir qur'anulama perempuan
Hilyatul Aulia

Hilyatul Aulia

Mahasantri Ma'had Aly Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID