Mubadalah.id – Saya sering mendengarkan umpatan yang ditujukan kepada ibu-ibu yang anakanya tiba-tiba menangis. “Ibu yang bekerja sudah tentu gagal mengurus anak-anak. Ibu menjadi seseorang yang harus bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dari rahimnya. Jika ibu tidak bisa mengurus anaknya dengan baik, maka ia pantas disebut ibu yang gagal.” Dalam Al-Qur’an, seorang ibu itu sudah menanggung wahnan ala wahnin. Apa itu?
Padahal ibu juga seorang manusia. Ia bisa salah dan tidak seharusnya disalahkan secara sepihak. Ini adalah kisah Weni, dosen PNS yang saat ini berjuang menyelesaikan pendidikan doktor (S3).
Weni tinggal bersama keluarga, 3 anak dan suami. Weni seorang ibu yang mandiri. Saat dia hamil sering mengalami morning sick, mual dan muntah yang berlangsung hingga bulan ke-4.
Baca juga: (Bukan) Hanya Ibu yang Tahu
Meskipun demikian dia tidak pernah mengeluh. Setiap pagi dia tetap berangkat ke kampus sendiri. Dia selalu menyiapkan kantong plastik dan diikat di telinga agar lebih mudah mengantongi muntah saat mengendarai mobil.
Weni jarang diantar suaminya karena sang suami bertugas di laur kota. Weni selalu mengalami moorning sick di setiap kehamilannya.
Hari perkiraan lahir (HPL) Weni maju tiga minggu, sehingga belum sempat mengambil cuti dia sudah melahirkan. Akhirnya dia mengambil cuti setelah melahirkan selama 3 bulan, meskipun pada umumnya teman-temannya hanya 2 bulan setelah melahirkan.
Baca juga: Peran Ibu, Keluarga dan Kemerdekaan
Weni sengaja mengambil masa cuti yang lebih panjang pasca melahirkan karena menginginkan program ASI eksklusif berjalan lancar. Weni mengurus perizinan cuti setelah dia keluar dari rumah sakit.
Dia mengirimkan surat dari dokter kepada pihak kampus agar dapat segera diproses. Selain itu, saat pimpinannya menjenguk ke rumah sakit, dia menyampaikan beberapa alasan secara langsung agar permohonan cuti selama 3 bulan diproses dengan baik.
Salah satu alasan yang yang dia sampaikan kepada pimpinan yaitu butuh waktu istirahat yang cukup banyak agar dapat memulihkan stamina pasca melahirkan.
Pada waktu 3 bulan cuti, Weni mendapatkan ASI yang berlimpah. Setiap hari dia dapat menyimpan ASI perah minimal 5 botol ukuran 80 ml, di samping itu dia tetap memberi ASI secara langsung, siang dan malam. Agar kualitas ASI tetap terjaga, dia menyimpan ASI perah tersebut dalam kulkas.
Setiap pagi Weni pergi ke kampus bersama anaknya naik mobil. Sebelum mengajar, dia terlebih dahulu mengantar anaknya ke day care tempat dia bekerja.
Baca: Peran Ibu, Keluarga dan Kemerdekaan
Dia selalu membawa peralatan untuk menyimpan ASI perah, cooler bag dan beberapa botol kosong. Botol-botol tersebut terisi penuh dan diserahkan ke day care sebelum pulang.
Weni biasanya memeras ASI di ruang kerjanya, satu petak ruangan kaca yang ditutup dengan kertas-kertas, agar tidak tampak dari luar. Sebelum dia memiliki ruang kerja khusus, dia memeras ASI di toilet karena memang dianggap aman dan tidak terlihat banyak orang, namun tidak nyaman.
Dari kisah Weni, kita dapat belajar wahnan ala wahnin seorang ibu, yaitu bersusah payah dan berkorban untuk kebaikan anak.
Ibu adalah orang pertama yang hidup bersama, menyuplai kehidupan anak selama 9 bulan, mengisi setiap kekosongan diri anak-anaknya, dan lahan surga bagi anak-anak yang mau berbuat baik (birrul walidain). []