Mubadalah.id – Istilah multikultural erat kaitannya dengan bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya. Kondisi ini terlihat dari berbagai hal, mulai dari suku, ras, agama, budaya, hingga bahasa. Ini tentu menjadi identitas bagi bangsa kita yang berbeda dengan negara lainnya. Karena dari sini ada banyak potensi yang dapat dioptimalkan utamanya dalam ranah gerakan yang membutuhkan massa yang cukup banyak, salah satunya gerakan perempuan.
Feminisme multikultural sebuah istilah yang pertama kali saya dapat saat mengaji di asrama bersama Ibu Mufida. Jika dikaitkan dengan kondisi gerakan perempuan saat ini perlu kiranya menjadikan feminisme multikultural sebagai basis gerakan perempuan di Indonesia. Hal ini karena melihat potensi besar di atas yang dimiliki oleh bangsa kita. Terlebih, belakangan ini krisis identitas menjadi hal yang sering terjadi pada generasi muda bangsa, terlebih pada gerakan perempuan yang ada di Indonesia.
Jika konsep feminisme global melihat dari sudut pandang secara universal terkait problem perempuan di seluruh dunia. Keberadaan feminisme multikultural ini menjadi sangat penting untuk melihat peran-peran perempuan dalam kehidupan terlebih yang langsung bersinggungan dengan budaya dan lingkungan yang ada di masyarakat. Sehingga dari sini keberagaman yang ada menjadi potensi positif bagi perempuan bukan justru, menghilangkan perempuan dari ruang publik.
Mengapa peran serta posisi perempuan di kehidupan sehari-hari masyarakat perlu untuk juga diperhatikan? Hal ini tentunya melihat masih banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya daerah terpencil dan terbelakang, perempuan sering megalami marginalisasi dan diskriminasi dari lingkungan. Hal ini disebabkan karena perempuan banyak yang dibatasi oleh mitos-mitos, tradisi dan juga legitimasi teks agama yang dimaknai secara tekstual saja.
Ada banyak mitos yang dibangun dimasyarakat untuk membatasi ruang gerak perempuan. Mulai dari hal sepele, semisal jangan makan dengan posisi duduk seperti laki-laki, jangan berdiri di ambang pintu nanti susah saat lahiran, kalau menyapu yang bersih nanti suaminya kumisan, jangan ini, jangan itu, masih banyak lagi jangan yang dinisbatkan kepada perempuan. Seakan-akan perempuan lebih mudah memperoleh balasan atas setiap apa yang mereka kerjakan.
Bahkan selain mitos-mitos sepele seperti di atas, di beberapa daerah yang masih menjunjung tinggi budaya dan tradisi yang sudah turun temurun perempuan kerap kali menjadi korban yang terpinggirkan. Mulai dari tradisi sunat perempuan yang masih terjadi di berbagai daerah, hingga pengasingan bagi perempuan yang sedang menstruasi ataupun melahirkan masih sering terjadi. Padahal hal tersebut sangatlah merugikan perempuan yang membangun pandangan terhadap perempuan bukanlah manusia seutuhnya.
Bahkan selain budaya dan tradisi di masyarakat, keragaman agama yang ada terkadang muncul beberapa yang memarginalkan perempuan melalui teks-teks agama yang hanya dimaknai secara tekstual saja. Bahkan sering kali dibangun legitimasi agama terhadap perempuan yang berusaha memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki adalah bentuk menyalahi kodrat dan mengabaikan hukum-hukum agama yang ada.
Sehingga, tak jarang banyak sekali perempuan yang enggan show up, ataupun berkarya sebab tirani yang dibangun oleh lingkungan terdekat mereka sendiri. Baik itu melalui budaya ataupun agama yang ada. Padahal, jika mau dilihat kembali, potensi keragaman yang ada sangat penting untuk optimalisasi peran-peran di berbagai segi kehidupan.
Disinilah perlu adanya gerakan perempuan yang berbasis kearifan lokal tadi, agar multikulturalisme yang ada mampu membangun ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan, terlebih jika gerakan ini menggunakan pondasi feminisme multikuktural dalam gerakannya.
Feminisme multikultural ini hadir untuk menguatkan perempuan bahwa sebenarnya budaya dan keberagaman yang ada memiliki pengaruh potensi positif yang sama bagi perempuan, dan tidak hanya laki-laki. Perlu juga adanya kesadaran dari diri perempuan sendiri, jika mereka harus membebaskan diri dari belenggu mitos dan tradisi tradisional yang menjauhkan mereka dari kemajuan dan aktualisasi diri.
Di sini peran gerakan-gerakan perempuan yang ada di masyarakat perlu meningkatkan orientasi gerakan mereka untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar terbebas dari belenggu sistem patriarki yang mengakar dalam tradisi. Hal ini dapat dilakukan baik melalui edukasi maupun aksi yang harus terus disuarakan bersama, agar gerakan feminisme multikultural secara masif ini mampu mengurangi problem ketidaksetaraan yang ada di masyarakat. []