Minggu, 2 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Perempuan KUPI yang

    KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

    Mandat KUPI

    Membaca Mandat KUPI dalam Kerangka Rahmatan lil ‘Alamin

    Kemandirian Disabilitas

    Kemandirian Disabilitas Lewat Pertanian Inklusif

    Feminisme Sufistik

    Feminisme Sufistik: Menemukan Ruang Tengah antara Emansipasi dan Spiritualitas

    Perempuan Kurang Akal

    Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

    Menghapus Kata Cacat

    Menghapus Kata Cacat dari Pikiran; Bahasa, Martabat dan Cara Pandang terhadap Disabilitas

    Kurang Akal

    Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal

    Fahmina

    Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku

    Kesaksian Perempuan

    Kesaksian Perempuan Bukan Setengah Nilai Laki-Laki

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Perempuan KUPI yang

    KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

    Mandat KUPI

    Membaca Mandat KUPI dalam Kerangka Rahmatan lil ‘Alamin

    Kemandirian Disabilitas

    Kemandirian Disabilitas Lewat Pertanian Inklusif

    Feminisme Sufistik

    Feminisme Sufistik: Menemukan Ruang Tengah antara Emansipasi dan Spiritualitas

    Perempuan Kurang Akal

    Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

    Menghapus Kata Cacat

    Menghapus Kata Cacat dari Pikiran; Bahasa, Martabat dan Cara Pandang terhadap Disabilitas

    Kurang Akal

    Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal

    Fahmina

    Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku

    Kesaksian Perempuan

    Kesaksian Perempuan Bukan Setengah Nilai Laki-Laki

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pemaksaan Perkawinan Harus Segera Diakhiri!

Saatnya kita mengambil peran untuk segera mengakhiri pemaksaan perkawinan dengan mengawal pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Siti Aminah Tardi Siti Aminah Tardi
30 Mei 2021
in Publik, Rekomendasi
0
Pemaksaan Perkawinan

Pemaksaan Perkawinan

253
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kasus kekerasan seksual dalam bentuk eksploitasi seksual terhadap anak di Bekasi memasuki babak baru. Setelah sebelumnya selama sebulan tersangka AT (21) tidak memenuhi panggilan Kepolisian dan melarikan diri ke Bandung dan Cilacap.

Beberapa waktu lalu, keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya Bambang Sunaryo menawarkan perkawinan antara tersangka dengan korban. “Saya berharap ini ya, kalau namanya urusan bahasa saya perzinahan apakah bisa kalau anak ini kita nikahkan, supaya tidak menanggung dosa, kalau memungkinkan kita nikahkan saja kan gitu,” alasan dibalik tawaran perkawinan tersebut. (Kompas.com 25/5/2021)

Salah satu hambatan pemenuhan hak korban kekerasan seksual atas keadilan, kebenaran dan pemulihan adalah kerapnya keluarga, masyarakat, aparat desa, aparat pemerintah dan aparat penegak hukum mendorong penyelesaian secara kekeluargaan atau biasa disebut dengan “jalan damai”. Terlebih jika korban mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, atau pelakunya adalah pacar atau seusia korban. Salah satunya melalui cara mengawinkan korban dan pelaku dengan tujuan menghapuskan dosa, menutup aib keluarga, menjaga nama baik keluarga atau mencegah tercemarnya desa atau komunitas.

Dampak dari penyelesaian ini dapat dipastikan tidak akan menguntungkan korban, karena sendari awal korban tidak menjadi pihak penentu utama bagaimana kasusnya diselesaikan. Dalam banyak kasus, suara perempuan korban lebih banyak diwakili oleh ayah, saudara laki-laki, paman atau perwakilan keluarga besar yang memiliki pengaruh. Kita kerap luput mendengarkan suara, kepentingan atau perasaan korban sendiri.

Padahal kekerasan seksual menimbulkan dampak traumatik yang membutuhkan waktu panjang untuk pemulihannya. Korban dipaksa untuk hidup bersama dengan pemerkosanya, maka kekerasan seksual akan kembali terjadi dan bersembunyi di dalam lembaga perkawinan.  Korban tidak akan memiliki waktu untuk memulihkan diri, bahkan bisa semakin terisolasi dan kehilangan hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan hak dasar lainnya.

Korban selain kehilangan hak atas keadilan dan hak pemulihan, juga kehilangan hak atas kebenaran. Korban kehilangan hak untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban, dan tidak boleh diperbersalahkan. Perkawinan dengan pelaku, justru menjadikan korban tersandera, dan berada dalam posisi yang semakin tersubordinat dan tidak berdaya di hadapan suami atau keluarga.

Situasi ini menunjukkan bahwa satu bentuk kekerasan seksual berpotensi menimbulkan bentuk kekerasan lainnya yaitu pemaksaan pekawinan (forced marriage). Namun, pemaksaan perkawinan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan, namun memiliki berbagai tipe. Tulisan ini akan membahas tentang pemaksaan perkawinan, dan bagaimana kita harus menyudahinya. 

Pemaksaan Perkawinan (Forced Marriage)

Konvensi PBB tentang Persetujuan untuk Menikah, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1964) mendefinisikan pemaksaan perkawinan sebagai “union of two persons, at least one of whom has not given their full and free consent to the marriage”. Perkawinan anak adalah salah satu bentuk perkawinan paksa, mengingat salah satu dan/atau kedua belah pihak belum mampu memberikan persetujuan secara penuh, bebas dan terinformasikan akan dampak perkawinan terhadap kehidupan mereka. Berbagai konvensi internasional maupun hukum nasional (UU HAM dan UU Perkawinan) memuat klausula yang kurang lebih sama, yaitu persetujuan yang bebas dan sepenuhnya untuk melangsungkan perkawinan.

Intinya pemaksaan perkawinan terletak pada dihilangkan hak untuk memutuskan menikah atau tidak, memilih dengan siapa (pasangannya) dan kapan melangsungkan perkawinan atas dasar persetujuan yang penuh. Perkawinan paksa terjadi ketika kekerasan atau paksaan digunakan untuk memanipulasi seseorang agar menyetujui pernikahan.

Bentuk kekerasan meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, ancaman, penyekapan, penculikan, tekanan mental dan sosial dengan menggunakan pembenaran tafsir agama dan budaya sampai pembatasan gaya hidup, seperti pembatasan pergerakan, pergaulan, aturan berpakaian, pendidikan dan pilihan karir perempuan.

Sedangkan bentuk paksaan meliputi diantaranya dengan cara mempermalukan seseorang dan untuk menjaga reputasi keluarga adalah dengan menikah, penolakan menikah akan memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan orang tuanya, ancaman dari orang tua, saudara kandung, atau anggota keluarga dekat untuk membunuh atau melukai diri sendiri jika pernikahan tidak terjadi atau jika menolak akan memengaruhi peluang masa depan saudaranya untuk menikah. Paksaan ini menggunakan ikatan emosional antara anak dan orangtua/keluarga yang menyebabkan seseorang khususnya anak perempuan tidak mampu mengekpresikan pendapatnya atau ketidaksetujuannya.

The Forced Marriage Project (FMP) sebuah inisiatif untuk membangun kesadaran public akan pemaksaan perkawinan di Kanada, mengidentifikasikan tipe-tipe pemaksaan perkawinan, yaitu:

  1. Pemaksaan Perkawinan oleh Orang Tua, Keluarga dan Komunitas. Jenis ini yang paling umum terjadi ketika orang tua atau anggota keluarga lain memaksa salah satu atau kedua calon mempelai untuk menikah. Jenis kawin paksa ini biasanya didukung oleh masyarakat sekitar, membuatnya sulit untuk dihindari atau dihindari.
  2. Pemaksaan Perkawinan oleh Pemimpin Agama. Dalam jenis ini, salah satu atau kedua calon mempelai dipaksa oleh pemuka agama yang didukung oleh komunitas agamanya. Umumnya terjadi dalam komunitas yang terisolasi, dimana isolasi digunakan untuk memastikan yang dipaksa kawin memiliki sedikit atau tidak ada ikatan dengan dunia luar.
  3. Pemaksaan Perkawinan Paksa Konflik. Dalam pergolakan perang dan konflik, perempuan dan anak perempuan dipaksa menikahi laki-laki di kedua sisi konflik. Terjadi di Sierra Leone, Uganda dan Republik Demokratik Kongo. Secara historis, hal ini karena perempuan diperlakukan sebagai “pampasan perang” untuk diperkosa, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa menikah oleh laki-laki yang menangkap mereka, atau diberikan sebagai hadiah kepada pemimpin yang lebih tinggi.
  4. Perdagangan untuk Tujuan Perkawinan Paksa. Ada perdagangan yang berkembang dalam perdagangan perempuan dan anak perempuan untuk tujuan kawin paksa. Perdagangan ini paling umum terjadi di negara-negara di mana rasio laki-laki terhadap perempuan telah diubah secara artifisial melalui aborsi selektif jenis berjenis kelamin perempuan, atau pembunuhan bayi perempuan. Jumlah perempuan yang tidak sebanding menyebabkan terjadinya perdagangan orang untuk dinikahi atau pengantin pesanan.
  5. Penculikan untuk Tujuan Perkawinan Paksa. Dalam banyak kasus, perempuan diculik oleh laki-laki yang ingin menikahinya, seringkali dengan bantuan sekelompok temannya. Ada juga sejumlah kasus internasional di mana perempuan dan anak perempuan diculik untuk dijadikan istri kedua dalam pernikahan poligami.
  6. Adopsi untuk Tujuan Perkawinan Paksa. Anak perempuan diadopsi dari luar negeri untuk menjadi istri kedua atau ketiga dalam pernikahan poligami.
  7. Perkawinan Paksa Melalui Perbudakan Turunan. Dalam kasus ini, pemilik budak memaksa budak yang diwarisi ke dalam perkawinan yang ditentukan oleh pemilik budak. Meskipun perbudakan itu sendiri ilegal, kurangnya penegakan hukum di beberapa daerah memungkinkan perbudakan berlanjut dengan semua pelanggaran yang menyertainya.
  8. Perkawinan Paksa oleh Pasangan. Pasangan yang melakukan kekerasan memaksa pasangannya untuk menikah melalui penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Mengakhiri Pemaksaan Perkawinan Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Berdasarkan berbagai perkembangan pengaturan pemaksaan perkawinan baik di tingkat internasional, nasional dan pengalaman korban-korban kekerasan seperti diatas, maka Komnas Perempuan dan Forum Pengada Lembaga (2020) merekomendasikan pengaturan tentang pemaksaan perkawinan ini untuk diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Pengaturan ini diperlukan karena pemaksaan perkawinan termasuk larangan perkawinan anak tidak ada sanksi yang dirumuskan. Kemudian diusulkan definisi tindak pidana pemaksaan perkawinan sebagai  perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu muslihat, pengambilan  manfaat  ekonomi  maupun  non-ekonomi,  atau  pembatasan  ruang  gerak, penyekapan, atau penculikan, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya,   melakukan   perkawinan   yang   bertentangan   dengan   hakikat   perkawinan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Termasuk pemaksaan perkawinan yaitu: (i) perkawinan anak; (ii) pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya dan (iii) pemaksaan perkawinan pelaku dengan korban kekerasan seksual.

Dengan melihat pada pemaksaan perkawinan di Bekasi, korban mengalami dua bentuk pemaksaan perkawinan yaitu perkawinan anak, dan pemaksaan perkawinan dengan pelaku perkosaan. Hal ini akan terus berlangsung jika negara tidak menyatakan secara tegas larangan pemaksaan perkawinan dengan alasan apapun. Saatnya kita mengambil peran untuk segera mengakhiri pemaksaan perkawinan dengan mengawal pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. []

 

Tags: Hukum IndonesiaPemaksaan Perkawinanperempuanperkawinanperkawinan anakRUU Pungkas
Siti Aminah Tardi

Siti Aminah Tardi

Penulis adalah Advokat Publik, penggiat penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kini menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024.

Terkait Posts

Perempuan KUPI yang
Keluarga

KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

2 November 2025
Perempuan Kurang Akal
Keluarga

Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

1 November 2025
Kurang Akal
Keluarga

Saatnya Mengakhiri Mitos Perempuan Kurang Akal

1 November 2025
Fahmina
Personal

Refleksi Perjalanan Bersama Fahmina; Ketika Mubadalah Menjadi Pelabuhan Jiwaku

1 November 2025
Raisa dan Hamish Daud
Publik

Berkaca pada Cermin Retak; Kisah Raisa dan Hamish Daud

1 November 2025
KTD
Keluarga

Perempuan Korban KTD, Boleh Aborsi Kah?

1 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mandat KUPI

    Membaca Mandat KUPI dalam Kerangka Rahmatan lil ‘Alamin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemandirian Disabilitas Lewat Pertanian Inklusif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Feminisme Sufistik: Menemukan Ruang Tengah antara Emansipasi dan Spiritualitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berkaca pada Cermin Retak; Kisah Raisa dan Hamish Daud

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan
  • Membaca Mandat KUPI dalam Kerangka Rahmatan lil ‘Alamin
  • Kemandirian Disabilitas Lewat Pertanian Inklusif
  • Feminisme Sufistik: Menemukan Ruang Tengah antara Emansipasi dan Spiritualitas
  • Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID