Mubadalah.id – Siapa yang masih ingat lagu que sera sera? Lagu yang ditayangkan disebuah televisi swasta setelah adzan maghrib berkumandang. Entah hari ini masih ada atau sudah mati. Cuplikan video yang dinyanyikan oleh sekelompok anak kecil dengan beragam keadaan, salah satunya anak difable. Lagu itu sempat menemani masa kecil saya dulu, hingga hari ini saya masih mengingatnya betul.
Lagu yang dipopulerkan oleh Doris Day pada tahun 1956 yang rilis melalui sebuah film yang berjudul ‘The Man Who Knew Too Much’. Saat itulah lagu tersebut dikenal di seluruh penjuru dunia.
Lirik yang berciri khas bahasa Spanyol walaupun dibuat dari bahasa Italia itu memiliki makna ‘apa yang akan terjadi?’ dibuka dengan lirik yang seorang anak yang bertanya pada ibunya, akan seperti apa aku nantinya? “When i was just a little girl, I asked my mother, ‘What will I be? Will I be pretty? Will I be rich?’ Here’s what she said to me: ‘Que sera, sera, Whatever will be, will be; ‘The future’s not ours to see.’
Jika diartikan sepenggal lirik lagu que sera sera tersebut yaitu ‘saat aku masih kecil, aku bertanya pada ibuku akan seperti apa aku nantinya? Apakah akan menjadi cantik, kaya raya? Kemudian ia menjawab, apapun yang terjadi, terjadilah. Jangan terlalu memusingkan masa depan, jalani saja dengan sungguh-sungguh’. Itu merupakan sebuah jawaban yang bijak sebagai orang tua bukan?
Lalu bila diamati akan memiliki dua tafsiran, yang pertama lirik tersebut seakan-akan pasrah apapun yang akan terjadi kelak. Di sisi lain, ada makna lain yang bisa kita lihat jauh dari pada tafsiran pertama. Mari kita lihat selengkapnya.
Hari ini, tidak sedikit kita dituntut keluarga, lingkungan sekitar, bahkan tetangga sekalipun, yang mengharapkan kita menjadi manusia ‘sukses’ yang identik dengan materil. Saat kita lahir kita sudah dibebankan dengan berbagai pengharapan dan cita-cita sepihak orang tua. Orang tua yang seharusnya menjadi fasilitator dan mengarahkan apa yang ada dalam diri anak, cenderung memaksakan apa yang menjadi keinginan orangtua.
Padahal jika dikaitkan dengan lirik di atas ada makna lain ‘masa depan urusan Tuhan, yang bisa kita lakukan sekarang lakukanlah!’ yang terpenting bagaimana orang tua dan anak berjalan berdampingan memaksimalkan potensi yang sifatnya given. Atau bahkan mengeksplor hal lain yang menjadi keinginan dan kemauan yang besar.
Tentu ada beberapa indikator yang perlu dicapai dalam memaksimalkan potensi tumbuh kembang anak dalam keluarga. Salah satunya adalah lingkungan yang mampu menerima dan mendukung keadaan apapun si anak. Dukungan moril dan materil dalam operasional keluarga tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Idealnya, keduanya itu dibutuhkan.
Tapi lebih dari itu, sebenarnya memiliki orang tua yang mampu memahami, mengasihi, bahkan menjadi teman sendiri adalah dambaan setiap anak. Orang tua yang mampu diajak berdiskusi, bertukar pikir, diajak main bersama, menjadi kawan atau lawan sekalipun.
Jika lingkungan keluarga patriarki mengklaim bahwa pengasuhan dan perkembangan anak adalah tanggung jawab ibu. Maka kita perlu memberikan beberapa data bahwasanya ayah juga terlibat penting dalam tumbuh kembang anak.
Pada tahun 1985, Lamb, Pleck, Charnov dan Levine mengenalkan dimensi-dimensi keterlibatan ayah, diantaranya: pertama, paternal engagement, yakni pengasuhan secara langsung, interaksi satu lawan satu dengan anak, mempunyai waktu untuk bersantai atau,bermain. Kedua, Paternal accessibility, orangtua ada di dekat anak tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan anak. Ketiga, Paternal responsibility, yakni bentuk keterlibatan yang mencakup tanggungjawab dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan dan pengaturan.
Sedangkan menurut McBride, dalam penelitiannya menggunakan 5 aspek keterlibatan ayah dalam pengasuhan yaitu: tanggungjawab untuk tugas-tugas manajemen anak, kehangatan dan afeksi pada anak, pekerjaan rumah yang diselesaikan bersama dengan anak, aktivitas bersama yang terpusat pada anak, dan pengawasan dari orang tua.
Ayah berperan dalam perkembangan kehidupan anaknya dengan cara yang khusus. Ikatan antara ayah dan anak akan memberikan warna tersendiri dalam pembentukan karakter anak. Jika pada umumnya ibu memerankan sosok yang memberikan perlindungan dan keteraturan, sedangkan ayah membantu anak bereksplorasi dan menyukai tantangan. Maka keduanya harus dijalankan secara seimbang, dengan syarat jika kedua sifat tersebut adalah given.
Maka dapat kita simpulkan bersama dampak dari keikutsertaan ayah dalam ruang tumbuh kembang anak diantaranya, pertama adalah pengaruh pada perkembangan kognitif. Anak menunjukkan fungsi kogniitif yang lebih tinggi, mampu memecahkan masalah secara lebih baik dan menunjukkan IQ yang lebih tinggi.
Kedua, pengaruh pada perkembangan emosional. Anak mempunyai kelekatan yang nyaman, lebih dapat menyesuaikan diri ketika menghadapi situasi yang asing, lebih tahan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan, lebih mempunyai rasa ingin tahu untuk mengeksplorasi lingkungan, dapat berhubungan secara lebih dewasa pada orang-orang asing, bereaksi secara lebih kompeten.
Ketiga, pengaruh pada perkembangan sosial. Keterlibatan ayah secara positif berhubungan dengan kompetensi sosial anak, anak lebih banyak saling membantu, dan mempunyai kualitas pertemanan yang lebih positif. Lebih toleran dan mempunyai kemampuan untuk memahami, dapat bersosialisasi dengan baik, dalam jangka panjang menjadi orang dewasa yang sukses, berhasil dalam pernikahan.
Keempat, pengaruh pada penurunan perkembangan anak yang negatif. Keterlibatan ayah melindungi anak dari perilaku delinkuen, dan berhubungan dengan rendahnya penggunaan obat-obatan terlarang di masa remaja, perilaku membolos, mencuri, minum-minuman keras, dan rendahnya frekuensi externalizing dan internalizing symptom seperti perilaku merusak,
Maka, berdasarkan tinjauan pada beberapa pendapat para ahli di atas, indikator konstruk keterlibatan ayah dalam mengasuh anak secara umum meliputi keterlibatan secara langsung pada aspek perkembangan sosial, didaktik, disiplin, afeksi dan sosial maupun keterlibatan secara tidak langsung.
Masih berpikir bahwa tanggung jawab anak adalah ibu? Segera mengupgrade pengetahuan kita khususnya sebagai manusia yang hidup dalam dunia sosial yang dinamis ini, ia selalu berkembang berdasarkan ruang dan waktu bahkan tidak bisa diintervensi oleh paham-paham patriarki apapun.
Otoritas dan legitimasi sebagai orang tua hakikatnya mampu menjadi payung terhadap anak dalam menemukan jati dirinya. Bukan sebaliknya untuk memutuskan sepihak, mengintimidasi, dan membuat anak tidak nyaman di rumah sendiri. Selamat hari keluarga nasional, pandemi covid 19 menyadarkan kita bahwa sebaik-baiknya sahabat adalah keluarga itu sendiri. []