Mubadalah.id – Belum lama ini saya mendengar kabar yang agak mengejutkan. Laki-laki yang saya kenal baik sebagai pria humble, low profile dan baik tetiba telah bercerai dengan istrinya. Memang saat terakhir bertemu saya melihat wajah yang kuyu, tubuh yang semakin kurus, dan pendiam. Biasanya ia yang lebih dulu menyapa. Tak salah lagi, stigma duda juga membebani harga diri laki-laki.
Selama ini kita hanya mengetahui jika hanya perempuan yang kerap tak nyaman dengan stigma janda. Baik karena bercerai atau pasangannya meninggal dunia. Ternyata fakta yang ada, laki-laki juga menjadi korban patriarki yang tak siap menjadi duda. Ada rasa tak percaya diri, malu, dan enggan bertemu dengan orang lain. Stigma duda atau janda baiknya memang harus diakhiri.
Tips Membangun Relasi Pasutri agar tak Mudah Goyah
Namun sebelum itu, saya ingin menuliskan ulang kembali tentang relasi pasangan suami istri agar tak mudah ucapkan kata pisah, apalagi sampai bercerai, karena pada akhirnya tidak hanya anak-anak yang menjadi korban. Tetapi juga pemulihan mental bagi diri sendiri menghadapi stigma duda atau janda. Meski ketika tak ada lagi titik temu dalam relasi rumah tangga, perceraian menjadi jawab atas segala persoalan pelik suami istri.
Pondasi utama dalam relasi pasutri adalah kerelaan, atau dalam bahasa arab “ridha”, yakni penerimaan dan kenyamanan seseorang terhadap orang lain. Artinya kerelaan itu harus dari dan oleh kedua orang, istri dan suami.
Alqur’an sendiri menyebutnya dalam ungkapan yang memang resiprokal, taradhin minhuma, atau saling rela satu sama lain, saling menerima dan merasa nyaman satu sama lain, antara suami (ayah) dan istri (ibu).
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-baqarah 2:233)
Praktik Kesalingan
Dengan pilar kerelaan yang resiprokal ini, seseorang tidak mudah menyalahkan pasangannya, menyudutkan, apalagi melakukan kekerasan. Sebaliknya, seseorang akan selalu mencari sisi pasangannya, berbaik sangka, cepat memaafkan, dan kembali merajut tali kasih bersama. Sehingga melayani pasangan dalam sebuah relasi pernikahan merupakan ibadah yang berpahala.
Baik istri kepada suami maupun suami kepada istri. Melakukan pelayanan anjurannya oleh kedua pihak dalam relasi pernikahan agar melejitkan perolehan sakinah, mawaddah dan rahmah.
Begitu pun dengan aktivitas melayani anggota keluarga yang lain. Terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak, siapapun yang melakukannya akan memperoleh apresiasi dan pahala. Adapun ungkapan Nabi Muhammad Saw, yang secara khusus kepada perempuan mengenai jihad domestik, adalah sebagai bentuk apresiasi yang tinggi, bukan sebagai pengukuhan peran yang bersifat permanen.
Sebab, pada masa Nabi Muhammad Saw sendiri, banyak perempuan juga yang ikut berjihad perang, di samping Nabi Muhammad Saw sendiri melakukan kerja-kerja domestik dan mengapresiasi laki-laki yang melakukan hal tersebut.
Cegah Konflik Rumah Tangga dengan Kesalingan
Dengan mendasarkan pada teks-teks sumber di atas, terutama dengan perspektif dan metode mubadalah, pengurusan anggota keluarga, terutama pengasuhan dan pendidikan anak, adalah menjadi tanggung jawab bersama. laki-laki dan perempuan, baik sebagai suami istri maupun ayah ibu, harus bekerja sama saling menguatkan satu sama lain dalam menyukseskan peran pengasuhan dan pendidikan tersebut.
Tentu saja masing-masing bisa berbagi peran yang berbeda, karena alasan-alasan tertentu, tetapi keduanya tetap harus memiliki kepedulian dan perhatian yang sama. Peran domestik ini, sebagaimana penegasan Nabi Muhammad Saw, merupakan bagian dari ekspresi kasih sayang yang harus kedua orang tua berikan secara penuh kepada anak.
Melalui ketaatan dan kerelaan membangun keluarga maslahah ini, ingin menekankan bahwa keluarga yang kuat adalah yang tertopang oleh dua sisi, laki-laki dan perempuan. Baik sebagai suami istri, sebagai orang tua, atau sebagai anggota keluarga, saudara, adik, dan kakak. Begitu pun keluarga yang baik, sehat, sakinah dan maslahat.
Nilai-nilai ini harus kita perjuangkan bersama agar terasa secara bersama pula. Jika perempuan sebagai istri, ibu maupun anak, segala tindak-tanduknya tertuntut untuk bisa menjaga kehormatan keluarga dan membawa kebaikan untuk mereka, maka hal yang sama juga kepada laki-laki, baik sebagai suami, ayah maupun anak.
Saya percaya, dengan praktik kesalingan dalam keluarga seperti di atas, konflik rumah tangga bisa kita hindari. Dan laki-laki maupun perempuan tak lagi menjadi korban patriarki. Tak perlu ada lagi stigma duda maupun janda yang ditanggapi negatif. []