Mubadalah.id – Pernikahan merupakan mitsaqan ghalidha (ikatan yang kokoh) yang mempersatukan dua anak manusia yang setara, laki-laki dan perempuan dalam sebuah komitmen membangun rumah tangga.
Dalam membangun rumah tangga, keduanya tentu tidak boleh menunjukan superioritas laki-laki (suami) atas perempuan (istri). Karena keduanya, jika merujuk pada semangat ajaran agama Islam adalah setara.
Kesetaraan suami dan istri dalam membangun rumah tangga ini dapat ditinjau dari lima aspek.
Berikut lima aspek kesetaraan suami dan istri dalam membangun rumah tangga, seperti dikutip dalam buku Fikih Kawin Anak, yang ditulis oleh Mukti Ali, dkk.
Pertama, setara dalam aspek kemanusiaan. Laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan lak-laki dan perempuan dari satu jiwa (nafs wahidah), seperti pinang dibelah dua dan menjadikan perempuan dan laki-laki saling melengkapi agar mendapatkan ketenteraman, keseimbangan dan kedamaian dan melahirkan generasi laki-laki dan perempuan untuk melanjutkan dinamika peradaban di atas bumi.
Sebagaimana Allah Swt berfirman,
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ
Artinya : Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. (QS. al-A’raf ayat 189)
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً
Artinya : Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. an-Nisa ayat 1)
Kedua ayat tersebut menyebutkan dengan tegas bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari nafs wahidah (jiwa yang satu), yaitu laki-laki dan perempuan berasal dari unsur yang serupa yaitu saripati tanah yang darinya makhluk pertama diciptakan.
Kedua, kesetaraan dilihat dari makna zawj-zawjah (suami-istri) dan penggunaannya dalam al-Qur’an.
Arti zawj dalam bahasa Arab adalah dua sesuatu atau dua paruh yang sebagian dengan sebagian yang lain dalam kesesuaian yang sempurna. Sehingga dalam al-Qur’an sendiri tidak menyebut perempuan secara mutlak dengan istilah zawjah al-rajul (kalimat feminin), akan tetapi dalam beberapa ayat menyebutnya dengan istilah zawj al-rajul (kalimat maskulin).
Istilah-istilah yang digunakan dalam al-Qur’an tersebut menyiratkan arti bahwa tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, antara suami dan istri.
Kalimat zawj yang biasa digunakan untuk sebuah makna suami di dalam al-Qur’an justru digunakan untuk makna istri. Sebaliknya kalimat zawjah yang biasa digunakan untuk sebutan kepada istri, dalam al-Qur’an digunakan untuk menyebut kata suami.
Para penafsir menyimpulkan sebagai tanda bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan suami dan istri, laki-laki dan perempuan.
Kedua insan itu, suami istri, bagaikan dua sisi dalam satu mata uang, saling melengkapi, saling menyempurnakan dan saling membutuhkan. Dengan penjelasan itu makna sejati zawj adalah kecocokan, kesesuaian dan harmoni.
Ketiga, sederajat di hadapan Tuhan. Keempat, hak belajar dan mengembangkan potensi diri. Dan kelima, hak berpolitik dan peran publik. (Rul)