Mubadalah.id – Ini adalah rekaman proses wawancara yang diajukan seorang dosen perguruan tinggi Islam dari timur Indonesia. Dia mengawali dengan pertanyaan: Apa pandangan Anda dengan fenomena childfree?
“Mungkin kita perlu definisikan dulu yaa. Childfree adalah pilihan seseorang dengan pasanganya untuk berkeluarga tanpa perlu memiliki anak sendiri. Jadi, bisa saja, tanpa anak sama sekali dalam kehidupan mereka, atau justru memilih untuk mengasuh anak, atau anak-anak, dari orang lain. Saudara sendiri, sahabat, atau siapapun. Bukan dari rahim sang istri yang dilahirkannya sendiri”.
“Pilihan ini selama bersifat individu, tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dan istri-suami keduanya sadar dengan pilihan tersebut, adalah boleh dan sama sekali tidak melanggar norma atau ajaran apapun dalam Islam”.
Apa dalil yang mendukung pandangan tersebut?
“Dalil utamanya adalah hukum menikah sendiri, sebagai induk dari beranak pinak, adalah juga sesuatu yang dibolehkan, paling jauh sunnah. Artinya, orang yang memilih untuk tidak menikah, menurut mayoritas ulama, adalah sama sekali tidak melanggar apapun. Yang dilarang itu membenci pernikahan dan melawan pernikahan. Sementara memilih tidak menikah, karena alasan individual tertentu, adalah tetap boleh. Karena itu, banyak ulama juga yang memilih menjadi jomlo dan tanpa menikah”.
“Nah, kalau tidak menikah saja boleh, maka turunan dari hukum ini adalah bahwa orang yang menikah dan memilih tidak punya anak juga boleh. Memiliki anak adalah turunan dari menikah. Jika tidak menikah adalah boleh, maka memilih tidak memiliki anak juga boleh. Begitu logika sederhananya.”
Bukankah ada teks hadits yang memerintahkan menikah dengan perempuan yang subur dan bisa memiliki anak banyak, karena Nabi Saw akan membanggakan jumlah umat Islam?
“Ya, teks hadits itu ada dalam riwayat Sunan Nasa’i. Tapi, itu bukan perintah. Ia adalah nasihat umum bagi seseorang yang ingin menikah, biasanya dan umumnya, ya mencari pasangan yang subur dan bisa memiliki anak. Anjuran Nabi Saw dalam teks tersebut adalah bersifat petunjuk dan anjuran umum saja (lil irsyad). Bukan perintah yang bersifat wajib (la yadull ‘ala al-wujub). Karena, jika wajib, maka akan ada larangan menikah bagi mereka yang tidak subur. Padahal, banyak laki-laki dan perempuan yang tidak subur juga ingin menikah. Mereka, dalam pandangan mayoritas ulama fikih, adalah boleh untuk menikah”.
“Beberapa istri Nabi Saw, seperti Aisyah ra dan Hafsah ra, tidak memiliki anak. Dan ini sama sekali bukan masalah dan tidak ada larangan sama sekali menikahi perempuan yang tidak subur. Karena mereka juga berhak menikmati keluarga dengan menikah, sekalipun tidak memiliki anak.
Artinya, teks hadits Sunan Nasa’i tersebut tidak bisa menjadi dasar untuk melarang seseorang memilih tidak memiliki anak, sebagaimana tidak bisa menjadi dasar untuk melarang seseorang yang menikah dengan pasangan yang tidak subur”.
“Ini sama persis dengan redaksi perintah menikah dalam al-Qur’an, seperti an-Nisa (4: 3) dan an-Nur (24: 32), yang oleh para ulama tafsir dan fikih, tidak dipahami sebagai perintah yang wajib, melainkan petunjuk, atau palng jauh hanyalah sunnah saja. Artinya, memilih tidak menikah, menurut mayoritas ulama adalah sama sekali tidak haram. Hal yang sama juga dengan teks hadits Sunan Nasa’i sama sekali tidak bisa menjadi dasar untuk mengharamkan pilihan untuk tidak memiliki anak”.
Bukankah ada ayat yang melarang membunuh anak karena takut miskin (QS. Al-Isra, 17: 31)? Tidakkah childfree bisa diqiyaskan dengan larangan membunuh anak ini?
“Menurutku ini qiyas ma’a al-fariq, atau analogi yang tidak pada tempatnya. Alias salah kaprah. Karena ayat itu berbicara tentang membunuh anak yang menjadi tradisi beberapa kabilah Arab saat itu. Yaitu, tentang sesuatu yang sudah ada, yaitu anak yang menjadi target pembunuhan. Sementara childfree itu tentang sikap atas sesuatu yang belum ada. Yaitu, menahan diri untuk tidak memiliki anak. Perbuatannya juga berbeda. Yang pertama aktif (membunuh) dan yang kedua pasif (menahan diri). Jadi, meng-qiyas kan dua hal ini adalah tidak tepat sama sekali”.
Para penganut childfree memang bersifat individual, tidak melakukannya sebagai gerakan sosial. Tetapi, mereka sering membanggakannya di ruang publik, terutama di media sosial. Apakah dengan demikian mereka terkena larangan mendakwahkan gerakan childfree itu?
“Orang yang berniat pamer, membanggakan diri, apalagi dengan sikap merendahkan pilihan orang lain, tentu saja tidak boleh dalam Islam. Dan ini menyangkut semua hal, tidak hanya soal pilihan tidak memiliki anak. Orang yang punya harta, lalu pamer dan membangga-banggakannya kepada yang lain, apalagi sampai sombong dan merendahkan yang lain adalah salah di mata Islam. Begitupun yang memiliki anak”.
“Tetapi kalau yang dilakukan adalah ekspresi diri, apalagi ungkapan syukur (tahadduts bin ni’mah), maka ia bisa boleh bahkan baik. Begitupun orang yang tidak memiliki harta, boleh dong mengekspresikan dirinya. Masa hanya yang punya harta yang boleh mengekspresikan diri di media sosial. Begitu juga yang tidak punya anak, boleh dong mengekspresikan dirinya. Masa hanya yang punya anak saja yang boleh”.
“Tetapi jika sudah untuk pamer, riya, sombong, apalagi merendahkan orang lain, maka tentu saja menjadi tidak boleh. Dalam hal apapun. Harta, anak, jabatan, atau pencapain. Begitupun sebaliknya: tanpa harta, tanpa anak, tanpa jabatan, atau tanpa pencapaian”.
Apakah fenomena childfree merupakan produk feminisme?
“Sebagai pilihan individu, aku pikir bukan. Karena, memilih tidak menikah itu sudah lama juga ada. Begitupun turunanya: memilih tidak punya anak. Namun, sebagai fenomena yang kemudian diapresiasi secara publik, diberi ruang aktualisasi, dan menjadi pembicaraan publik, bisa jadi adalah berkat feminisme. Namun, feminisme bukan faktor tunggal di sini. Ada faktor individu, keluarga, sosial, ekonomi, dan yang lain”.
Tidakkah childfree ini melanggar fitrah manusia untuk bereproduksi dan melahirkan?
“Bereproduksi dan melahirkan adalah salah satu fitrah manusia. Namun juga ada fitrah-fitrah lain dalam kehidupan manusia, seperti mengembangkan diri, menginginkan keamanan dan kenyamanan, memiliki waktu dan kesempatan untuk berkiprah dan membantu orang lain. Semua ini juga fitrah manusia. Artinya, jika fitrah hanya diartikan sebagai satu-satunya fitrah manusia, ya bisa jadi memilih tidak memiliki anak adalah melanggar fitrah”.
“Namun, jika kita menyadari bahwa fitrah itu banyak sekali dan beragam, maka sesungguhnya, yang terjadi adalah konflik antar berbagai fitrah manusia. Dan di antara fitrah manusia juga adalah kebebasan memilih yang ada pada setiap manusia. Tanggung-jawabnya lalu adalah: apakah dia akan memilih untuk kebaikan diri maupun orang lain, atau sebaliknya akan memilih sesuatu yang justru akan menyusahkan diri dan menjerumuskan orang lain”.
“Childfree sebagai pilihan individu, mungkin, bukan pilihan yang ideal jika dikaitkan dengan norma-norma umum dalam Islam. Namun, ia sama sekali tidak bisa dianggap haram, apalagi dianggap membunuh, na’udzu billah min dzalik. Kecuali, jika hal ini menjadi gerakan yang bersifat masif, tentu saja menjadi haram, karena akan menghentikan reproduksi manusia melalui alur biologis hubungan seksual, kehamilan, dan melahirkan. Jika sebagai pilihan individu-individu, bisa jadi, childfree menjadi berkah dan jalan untuk mengasuh anak-anak yang justru tidak memiliki orang tua. Semoga.” []