Mubadalah.id – Ada banyak sekali elemen di dalam kampus. Mulai dari dosen, mahasiswa, civitas akademika, penjaga kantin, satpam, tukang kebun dan lain sebagainya. Salah satu elemen kampus yang paling banyak adalah mahasiswa. Mereka memiliki kesempatan untuk belajar, berkarya, berdaya secara kolektif dan memiliki komitmen kuat untuk melawan kekerasan seksual di kampus.
Mereka juga mendapat kesempatan yang sama untuk mengakses pengetahuan dan pengalaman di ruang-ruang publik khususnya yang ada di kampus. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak kampus yang belum menjadi ruang aman dan nyaman bagi para mahasiswa sebab maraknya kasus kekerasan seksual di kampus.
Hasil Penelitian
Komnas Perempuan mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang paling tinggi terjadi di Universitas. Dari tahun 2015-2021 Komnas Perempuan telah mencatat ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di Perguruan Tinggi, yakni 87,91% berupa kekerasan seksual, 8,8% diskriminasi dan kekerasan psikis serta 1,1% kekerasan fisik.
Sedangkan menurut data yang didapatkan dari hasil penelitian The Jakarta Post tahun 2019 (Survey Sintas Indonesia 2016) berdasarkan tempat pelaporan ditemukan fakta bahwa 174 kasus kekerasan seksual terjadi di 79 kampus dari 29 provinsi yang ada di Indonesia.
96% korbannya adalah mahasiswi atau perempuan, 20% tidak melapor dan 50% tidak menceritakan kasus yang dialami kepada siapapun dengan alasan malu, takut dan bingung. 93% para korban kekerasan seksual tidak melapor kepada penegak hukum. Meskipun ada 6% yang melapor, pelaku tetap memperoleh kebebasan dan tidak terjerat oleh hukum.
Fakta dari hasil penelitian di atas menjadi tamparan keras sejauh mana peran elemen kampus dalam ikut serta memberantas kekerasan seksual di kampus. Bukan tidak mungkin, dari sekian korban tidak hanya mahasiswa, tetapi juga ada dosen atau elemen lainnya yang juga terlibat, entah menjadi korban ataupun pelaku.
Berpotensi Munculkan Kekerasan Berlapis
Kasus kekerasan seksual ataupun kekerasan berbasis gender juga berpotensi untuk mengkerdilkan mahasiswa. Stigma-stigma yang muncul berpotensi untuk memarginalkan dan mensubordinasi khususnya pada mahasiswa perempuan. Sehingga, penting para elemen kampus bergerak secara kolektif untuk menciptakan ruang aman dan nyaman sehingga siapapun bisa berproses dengan maksimal menuju manusia yang mandiri dan berdikari.
Jika situasi kekerasan kita biarkan, maka sama saja kita mengabaikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Membiarkannya terus tumbuh dengan subur di dalam kampus. Ada lima bentuk ketidakadilan gender yang berpotensi melanggengkan kekerasan seksual di kampus, yaitu subordinasi atau penomorduaan perempuan, marginalisasi atau peminggiran perempuan, stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence) dan beban ganda (double burden).
Di dalam organisasi mahasiswa misalnya, subordinasi masih sering kita jumpai. Secara tidak sadar ternyata sering kita paktikkan. Misalnya dalam penunjukkan sosok ketua, pasti yang akan menunjuk laki-laki. Untuk perempuan langsung terseleksi menjadi sekretaris, bendahara atau bagian konsumsi.
Perempuan dianggap tidak bisa memimpin bukan karena riwayat prestasi atau lainnya tetapi hanya karena dia seorang perempuan. Ya, meskipun tidak bisa kita pukul rata, di era sekarang juga sudah mulai banyak orang yang lebih aware dengan situasi ini.
Gerak Bersama Wujudkan Ruang Aman
Mahasiswa perempuan juga banyak yang mengalami stigmatisasi atau pelabelan negatif, apalagi jika keluar dan pulang terlalu malam. Banyak perempuan yang pulang malam dilabeli sebagai perempuan tidak baik. Berbeda dengan laki-laki, mau pulang selarut apapun tidak akan jadi masalah karena dia laki-laki.
Sebenarnya, fenomena ini cukup menarik. Situasi keluar malam dianggap ancaman sebab bisa membahayakan perempuan. Artinya, situasi malam hari belum menjadi ruang yang aman bagi perempuan, bahkan bagi laki-laki sekalipun. Kenapa justru kita sibuk menstigma yang keluar malam, bukan sibuk untuk berusaha menciptakan ruang aman bagi siapapun?
Selain itu juga ada violence atau kekerasan. Kekerasan ini banyak sekali jenisnya. Ada kekerasan berbasis gender baik secara langsung maupun secara online atau yang sering disebut dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), kekerasan dalam pacaran (KDP) dan lain sebagainya. Tentu saja, fenomena kekerasan ini perlu mendapatkan perhatian. Sehingga, tidak lagi banyak korban kasus kekerasaan.
Jika kampus bisa menjadi ruang aman dan nyaman untuk berproses, maka siapapun yang ada di dalamnya akan lebih tenang dalam belajar dan berkembang. Mereka juga mampu mengawal untuk terus mengambangkan kapasitas diri dan menjadi pribadi yang berdikari dari berbagai aspek kehidupan.
Menjadi pribadi yang paham akan kebutuhan diri dan tujuan hidupnya melanjutkan pendidikannya di kampus. Mari, sekarang kita sadari. Bergerak secara kolektif untuk memberantas kekerasaan seksual ternyata amat sangat penting. Mungkin kita tidak merasakan langsung, tapi bisa saja ada banyak orang yang membutuhkannya. []