• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Ratu Aceh Sultanah Safiatuddin yang Cakap sebagai Pemimpin

Ratu Aceh ini tercatat menorehkan sejumlah kebijakan yang mengangkat kesejahteraan rakyat Aceh, termasuk kelompok perempuan

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
12/09/2022
in Figur, Rekomendasi
0
Ratu Aceh

Ratu Aceh

432
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kamis, 8 September lalu, dunia terkejut dengan berita duka meninggalnya Ratu Elizabeth II yang merupakan penguasa kerajaan terlama dalam sejarah Monarki Britania Raya. Berpulangnya Ratu Inggris tersebut tak hanya meninggalkan duka mendalam bagi warga Inggris saja, tapi juga beberapa warga negara lain yang bersimpati pada keluarga kerajaan. Di Nusantara sendiri, kita pernah punya Ratu Aceh Sultanah Safiatuddin yang juga cakap sebagai pemimpin

Lalu di tengah membanjirnya ucapan bela sungkawa kepada Kerajaan Inggris, beberapa pihak melihat kepergian sang ratu seharusnya menjadi pertanda bahwa sistem monarki, terutama di Inggris Raya tak lagi relevan karena sepanjang kepemimpinan Sang Ratu, ia tak berhasil memanfaatkan privilege kekuasaan yang ia punya untuk membantu mencegah konflik peperangan, dan bahkan wabah paceklik, yang salah satunya terjadi di negara tetangga Inggris, Irlandia.

Situasi tadi kemudian mendorong sejumlah warganet berkomentar agar masyarakat tak berlarut-larut membanggakan Ratu Elizabeth II, sebab di antara pemimpin perempuan yang ada, termasuk di Indonesia, juga tak kalah berjasanya semasa hidup. Bahkan, di antara sekian banyak nama pemegang tahta kerajaan perempuan, mayoritas nama besar mereka justru tenggelam akibat budaya patriarki yang lebih banyak kita warnai oleh tokoh laki-laki dibandingkan perempuan.

Masa Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda

Satu dari pimpinan perempuan tersohor itu bernama Sultanah Safiatuddin. Menurut rujukan sejarah, ia merupakan perempuan pertama yang memegang pucuk jabatan tertinggi sebagai Ratu Aceh di Kesultanan Aceh Darussalam. Ia sendiri lahir dengan nama asli Putri Sri Alam yang merupakan anak sulung dari Sultan Iskandar Muda, yang pernah menjadi raja di Kesultanan Aceh Darussalam. Ketika hidup, Putri Sri Alam mendapatkan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul Alam Syah Johan Berdaulat Zillu Ilahi fi’I Alam.

Jejak besarnya memimpin Aceh tidaklah semulus yang kita bayangkan meski ia berdarah bangsawan. Justru sebelum meraih tahta, ia menghadapi dilema dan pertentangan dari tokoh masyarakat waktu itu yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan.

Baca Juga:

Pengalaman Perjuangan Perempuan Aceh

Kisah Ratu Safiatuddin Didukung Ulama Aceh

Waktu itu, pada masa terakhir kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda, kondisi kesehatannya yang terus menurun membuat sang raja tak dapat produktif. Sultan sakit selama berbulan-bulan hingga akhirnya wafat pada tahun 1636. Keberlanjutan kepemimpinan oleh Sultan Iskandar Tsani yang merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda atau suami Sultanah Safiatuddin.

Sayangnya, dibandingkan dengan kinerja pendahulu atau mertuanya, ia kurang cakap dalam pemimpin pemerintahan yang memunculkan distabilitas politik dalam pemerintahan. Hal tersebut membawa Kesultanan Aceh dalam posisi darurat di tengah gencarnya kolonialisme Bangsa Eropa.

Dukungan Syekh Nuruddin Ar-Raniri

Kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani berakhir hanya dalam kurun waktu selama 5 tahun. Beliau meninggal di usia 30 tahun tepatnya tahun 1641 M tanpa meninggalkan seorang ahli waris untuk meneruskan tahta. Karena ia dan sang istri belum mempunyai keturunan.

Kekosongan tampuk pimpinan, jelas membuat Kesultanan Aceh dirundung duka sekaligus dilema. Meski istri Sultan Iskandar Tsani memiliki peluang untuk memimpin. Namun jejak historis masa dulu memperlihatkan bahwa tidak pernah ada perempuan yang menduduki tahta utama.

Melihat gonjang-ganjing ini, salah satu ulama yang paling berpengaruh di Kerajaan, Syekh Nuruddin Ar-Raniri, mengadakan musyawarah. Yakni menentukan siapa yang berhak menduduki tahta untuk menjadi Sultan berikutnya. Setelah proses musyawarah berlangsung, keputusan bulat telah mereka menentukan bahwa pemimpin selanjutnya yaitu Puteri Safiatuddin untuk menjadi Sultanah.

Para ulama menunjuk beliau atas dasar seorang perempuan boleh menjadi pemimpin asal memenuhi syarat- syarat keagamaan, akhlak, serta ilmu pengetahuan (Hasymy, 1977). Pengangkatan pemimpin wanita pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh tersebut menjadi peristiwa besar bukan hanya di Aceh tapi juga kerajaan-kerajaan nusantara. Putri Sri Alam menjadi salah satu ratu bijak yang namanya harum meski tak banyak tersebutkan dalam buku-buku sejarah.

Kiprah Sultanah Safiatuddin Menjadi Pemimpin Perempuan Pertama

Bahkan, menilik dari data historis, Sultanah Safiatuddin dinobatkan menjadi pemimpin perempuan pertama dengan masa kepemimpinan paling lama yaitu 34 tahun. Lantas hal ini menjadi babak baru dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Meskipun saat ia naik tahta, masih saja kepemimpinannya menuai berbagai kritikan dari berbagai pihak karena ia perempuan. Walau begitu, alih-alih merespon omongan buruk yang datang padanya. Sultanah Safiatuddin memiliki karakteristik dan strategi tersendiri dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

Ratu Aceh ini tercatat menorehkan sejumlah kebijakan yang mengangkat kesejahteraan rakyat Aceh, termasuk kelompok perempuan. Di antara program yang ia jalankan yaitu: membentuk kelompok-kelompok kajian ilmu, menyusun aturan tentang hak ibu tunggal agar tetap memperoleh santunan ketika tak lagi memiliki suami, membentuk pasukan perang yang tak hanya melatih pasukan laki-laki tapi juga perempuan, hingga mengefektifkan zakat untuk keluarga-keluarga kurang mampu (Lestari, 2021).

Kiprah Sultanah Safiatuddin tentu menunjukkan bahwa seorang perempuan bisa memenuhi kriteria sebagai Ratu Adil. Bahkan sempat saya sebutkan di awal. Bila seseorang tersebut memiliki kapasitas mumpuni dan dapat bertanggung jawab atas amanah yang ia emban. Maka kemudian hari ia mampu membuktikan bahwa ia dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya mementingkan diri dan keluarganya saja. []

 

 

 

Tags: Kerajaan InggrisKesultanan AcehMonarkiratu acehRatu AdilRatu Elizabeth II
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Puser Bumi

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

21 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?
  • Hadits-hadits yang Membolehkan Azl
  • Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan
  • Pengertian dan Hadits Larangan Melakukan Azl
  • Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version