Kebaikan dan keramahan dari teman-teman Kristen, justru membuat Dalpa menjadi sangat kagum kepada mereka. Hingga akhirnya membuat Dalpa menyadari, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam, maka sudah sepatutnya kita rayakan, dan rawat keberagaman ini dengan penuh suka cita.
Mubadalah.id – Ketakutan bertemu dengan orang berbeda agama, Dalpa (21) (mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF)) rasakan saat ia pertama kali bertemu dengan Dwi, seorang pemuda beragama Kristen, di Gereja St. Yusuf Kota Cirebon.
Pertemuan Dalpa dengan pemuda Kristen ini berawal dari sebuah kegiatan yang pernah Dalpa ikuti. Kegiatan tersebut adalah Camping Sangalikur.
Camping ini merupakan camping lintas iman yang diinisiasi oleh paroki dari berbagai gereja se-Wilayah III Cirebon.
Pada saat itu, Dalpa mengaku bahwa camping dengan teman-teman yang beragam agama ini menjadi kegiatan pertama yang ia ikut.
Karena selama perjalanan hidupnya, Dalpa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar di lingkungan pesantren. Sehingga membuat Dalpa tidak pernah bertemu dan berinteraksi selain dengan teman-teman di pondok pesantrennya.
Hal tersebutlah yang membuat Dalpa sulit untuk menerima kepada teman-teman yang berbeda agama.
“Saya takut, deg-degan, ini kegiatan orang Kristen, saya takut,” kata Dalpa.
Kisah Obi
Sama halnya dengan Dalpa, Obi (23) juga merasakannya. Perempuan kelahiran di tanah sunda, Desa Cigugur, Kecamatan Kuningan ini cukup sulit menerima kepada mereka yang berbeda agama.
Perempuan yang juga mahasantriwa SUPI ISIF itu mengaku saat ia duduk di sekolah menengah atas (SMA), sebagian guru-guru Obi mengajarkan bahwa sebagai muslim janganlah kalian berteman dengan non-muslim.
Pesan gurunya itu, membuat Obi semakin fanatik untuk menolak kepada mereka yang berbeda agama.
Bahkan orang tua Obi pun pernah meminta Obi untuk hati-hati dalam memilih teman. Apalagi kalau ada yang mau berteman dari beragama Kristen, sebaiknya jangan.
Padahal, seperti kita ketahui bersama bahwa Cigugur Kuningan merupakan daerah yang sangat terkenal dengan keberagamannya.
Menurut Staf Fahmina Institute, Alifatul Arifiati, Cigugur Kuningan, merupakan daerah yang sarat dengan keberagaman. Karena di dalam satu anggota keluarga itu, kata Alif, diwarnai dengan beragam agama. Misal, ayahnya seorang muslim, ibunya Kristen, dan anak-anaknya seorang penghayat Sunda Wiwitan.
Namun, fakta keberagaman yang ada di lingkungan Cigugur itu ternyata tidak dirasakan oleh Obi. Ia justru menolak keberagaman tersebut.
Terlebih, penolakan tersebut, hingga kini masih Obi rasakan, terutama saat sebelum mengikuti kegiatan Youth Interfaith Camp (YIC) di Subang.
Karena di YIC ini, Obi yakin ia akan bertemu dengan teman-teman yang beragama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
Hingga akhirnya, walaupun dengan perasaan takut tersebut, Obi bersama Farid yang juga mahasantriwa SUPI ISIF tetap berangkat untuk mengikuti YIC.
Perjumpaan Menjadikan Perubahan
Setelah tiba di dalam kegiatan, keduanya, Dalpa dan Obi benar-benar menemukan sebuah keajaiban. Rasa takut bertemu dengan orang yang berbeda agama itu seketika hilang saat mereka berjumpa langsung dengan teman-teman yang beragama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
Dalpa menceritakan bahwa saat bertemu dengan Dwi, pemuda Kristen itu justru sangat baik dan ramah sekali kepadanya.
“Pada awalnya memang aku takut banget, tapi begitu kenal, Kak Dwi ini orangnya super baik dan ramah banget. Jadi ketakutan itu seketika hilang dengan perjumpaan aku dengan mereka,” jelasnya.
Kata Dalpa, dengan perjumpaan juga, membuat stigma negatif terhadap mereka yang berbeda agama ini runtuh dan hilang semuanya.
Bahkan kebaikan dan keramahan dari teman-teman Kristen, justru membuat Dalpa menjadi sangat kagum kepada mereka. Hingga akhirnya membuat Dalpa menyadari, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam, maka sudah sepatutnya kita rayakan, dan rawat keberagaman ini dengan penuh suka cita.
Sama halnya dengan Dalpa, Obi pun demikian. Obi merasakan bahwa teman-teman yang non-muslim itu tidak sejahat apa yang dipikirkan oleh guru-gurunya. Teman-teman non-muslim ini justru sangat baik.
Bahkan, Obi menegaskan bahwa berteman dengan mereka yang berbeda agama itu adalah sebuah keniscayaan dan sekaligus rahmat (kasih sayang) yang telah Allah Swt berikan kepada kita semua.
“Obi bersyukur, senang sekali akhirnya bisa berjumpa dengan teman-teman dari Kristen. Hal inilah yang membuat pikiran dan hati Obi terbuka dan sadar berbeda itu asyik dan menyenangkan,” tuturnya.
Selain itu, Obi juga menceritakan, ada hal yang menarik saat ia ikut berproses dalam kegiatan YIC. Hal menarik tersebut adalah tenyata yang menjadi teman dalam satu kelompok Obi adalah seorang pendeta.
Obi betul-betul merasakan kekaguman kepada Pak Pendeta ini, “ko mau ya seorang pendeta (kalau di Islam ustad/kiai) mau ikut terlibat dalam kegiatan seperti ini,” paparnya.
Sepanjang dalam kegiatan itu, lanjut kata Obi, sang pendeta begitu ramah, tenang, damai, dan baik sekali. Beliau tidak sungkan untuk bercerita, berbagi, dan memberikan nasihat yang penuh kesejukan.
Hingga akhirnya Obi pun menyadari, ternyata semua agama termasuk agama Islam adalah agama yang meminta kita untuk bersikap rendah hati, saling menyayangi, menebarkan cinta kasih dan kedamaian.
Islam: Agama yang Damai
Sejalan dengan cerita di atas, saya jadi teringat perkataan yang sering KH. Husein Muhammad ucapkan, bahwa Islam adalah agama yang hadir untuk menciptakan kedamaian, cinta, kasih sayang, dan keadilan.
Kehadiran Islam justru harus memberikan kedamaian bagi seluruh umat manusia. Bukan kebencian, atau bahkan permusuhan.
Sangat disayangkan apabila kerahmatan (kasih sayang) yang Islam cita-citakan justru tidak kita tebarkan kepada mereka yang berbeda agama.
Senada dengan semangat Islam di atas, melalui berbagai catatan hadis, Nabi Muhammad Saw pun telah memberi teladan pada kita untuk selalu memuliakan orang-orang yang berbeda.
Hal ini bisa kita lihat dari kisah nabi memuliakan pelayannya yang beragama Yahudi. Kisah ini terungkap dalam berbagai kitab hadis, termasuk kitab hadis yang paling shahih di mata umat Islam, yaitu Shahih Al-Bukhari.
Dalam kitab shahih ini, hadis nomor 1371, Anas bin Malik r.a bercerita bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki pelayan yang beragama Yahudi.
Suatu saat, pelayan ini jatuh sakit. Lalu, nabi menjenguknya.
Ketika menjenguk, Nabi Muhammad Saw. mendekat ke kepala dan mengelusnya, sambil bersabda, “Maukah engkau masuk Islam?”
Lalu, sang pelayan melempar pandangan ke ayahnya yang juga beragama Yahudi.
“Kalau engkau lihat itu baik, silakan ikuti ayah dari Qasim ini (Nabi Muhammad Saw),” jawab sang ayah.
Karena keluhuran akhlak Nabi Muhammad Saw selama ia melayani di rumah nabi, sang pelayan itu bersedia menjadi muslim.
Tentu, hal ini tidak terlepas dari kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Saw kepada pelayan yang beragama Yahudi tersebut.
Oleh sebab itu, perjumpaan Dalpa dan Obi yang akhirnya bisa berteman dan menghormati mereka yang berbeda agama adalah bagian dari apa yang telah Nabi Muhammad Saw lakukan.
Artinya, Dalpa dan Obi telah menjalankan perintah kesunahan yang telah Nabi Muhammad Saw ajarkan. Yaitu mereka saling berbuat kebaikan, kedamaian dan kasih sayang kepada mereka yang berbeda agama.
Maka dari itu, mari kedamaian dan kasih sayang ini perlu kita rawat bersama. Jangan sampai, kedamaian dan kasih sayang antar umat beragama ini terlukai oleh orang yang gemar membenci, melakukan kekerasan dan menyulut permusuhan. []