• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Bagaimana Menghentikan Perceraian di Luar Pengadilan?

Penjelasan mengenai perceraian dalam perkawinan Islam seringkali terputus dan terbatas pada konsep-konsep fikih yang tidak diikuti dengan penjelasan bahwa penjatuhan talak dan fasakh di luar pengadilan, tidaklah terakui di depan hukum

Akmal Adicahya Akmal Adicahya
23/03/2023
in Publik
0
Perceraian di Luar Pengadilan

Perceraian di Luar Pengadilan

633
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Jika suatu perkawinan yang tidak kita catatkan atau perkawinan siri dapat tercatatkan di kemudian hari melalui proses sidang isbat nikah atau permohonan pengesahan perkawinan, tidak demikian halnya dengan cerai siri atau perceraian di luar sidang pengadilan. Oleh undang-undang perkawinan suatu perceraian tidak dianggap memiliki kekuatan hukum jika keputusan atau penetapan perceraian tersebut tidak melalui putusan pengadilan (vide Pasal 39 UU 1/1974). Oleh karenanya, penjatuhan talak maupun pernyataan fasakh perceraian di luar pengadilan tidak dinilai memutus perkawinan di hadapan hukum.

Pada sisi lain, tidak sedikit masyarakat yang berkeyakinan bahwa dengan terucapkannya talak oleh suami, atau dengan menyatakan fasakh perkawinan oleh seorang muhakkam telah mengakibatkan terjadinya perceraian. Hingga menjadi dasar bagi mereka untuk menikah dengan pasangan yang baru. Praktik ini berpotensi merugikan kedua mempelai, dan juga khususnya merugikan bagi anak yang lahir dari pernikahan yang baru.

Karena pernikahan yang baru pada prinsipnya tidak dapat tercatatkan maupun kita mohonkan pengesahannya melalui itsbat nikah. Sebabnya salah satu pasangan dianggap masih terikat perkawinan dengan orang lain. Bagi sang suami Ia akan dianggap melakukan poligami liar, sementara istri yang telah Ia talak secara siri dan menikah kembali dengan pria lain akan dianggap melakukan poliandri. Ujungnya, terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut berpotensi mengalami kesulitan untuk memperoleh akta kelahiran.

Hukum Perceraian di Indonesia

Hingga berlakunya undang-undang perkawinan, talak oleh suami pemberitahuannya cukup kepada pegawai yang bertugas. Tidak terdapat proses sidang untuk memeriksa sebab serta kebenaran terjadinya talak. Lebih-lebih tidak terdapat prosedur yang tersedia untuk memastikan suami menunaikan kewajibannya kepada istri paska jatuhnya talak.

Kondisi ini telah dikritik oleh berbagai pihak,hingga akhirnya memunculkan kewajiban persidangan perceraian di depan pengadilan yang tertuang dalam undang-undang perkawinan. Kewajiban perceraian di depan pengadilan bagi umat muslim dikuatkan oleh Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu juga melalui Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam membagi perceraian menjadi dua bentuk. Yaitu cerai talak dan cerai gugat. Dalam perkara cerai talak, pengadilan memberikan izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan persidangan. Paska jatuhnya talak, suami dan istri memiliki kesempatan untuk rujuk sebagaimana talak dalam konsep fikih. Sementara dalam cerai gugat, pengadilan menjatuhkan talak ba’in sughra atas perkawinan para pihak berperkara (vide Pasal 119 KHI). Konsep ini dalam fikih kontemporer kita kenal sebagai pemisahan oleh hakim (at-tafriq al-qadha’i).

Baca Juga:

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Isu Perceraian Veve Zulfikar: Seberapa Besar Dampak Memiliki Pasangan NPD?

Kepastian Hukum melalui Sidang Perceraian

Melalui sidang perceraian, istri dapat memperoleh kepastian hukum atas status perceraiannya. Sekaligus juga menuntut hak-haknya, serta hak anak yang berada dalam pengasuhannya. Hakim pemeriksa perkara juga mempunyai wewenang untuk berinisiatif (ex-officio) membebankan kewajiban paska perceraian kepada suami. Seperti kewajiban untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah (vide Pasal 41 UU 1/1974).

Jaminan hukum atas hak-hak istri juga telah Mahkamah Agung perkuat. Yakni melalui pemberlakuan sejumlah rumusan yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Seperti penundaan pengucapan ikrar talak bila suami belum mampu membayar kewajibannya kepada istri dalam perkara cerai talak (Vide SEMA 1 Tahun 2017). Atau permintaan agar pengadilan tidak mengeluarkan akta cerai suami, hingga sang suami membayarkan kewajibannya kepada istri dalam perkara cerai gugat (Vide SEMA 2 Tahun 2019).

Perceraian di depan pengadilan pun tidak terbatas pada perkawinan-perkawinan yang tercatatkan. Dalam praktik peradilan, khususnya pada peradilan agama, kita kenal adanya perkara itsbat nikah cerai. Yaitu penggabungan permohonan penetapan sahnya perkawinan sekaligus dengan gugatan cerai. Sehingga, meski pernikahan mereka lakukan secara siri, namun perceraian dapat mereka lakukan di depan persidangan. Hal ini bertujuan untuk meringkas pemeriksaan perkara dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi suami, dan istri. Khususnya bagi anak yang lahir dalam perkawinan tersebut.

Utamakan Perceraian di Pengadilan

Perlu kita akui bahwa kultur hukum (legal culture), khususnya pemahaman akan pentingnya bercerai di pengadilan belum menjadi kesadaran bagi sebagian masyarakat. Kiranya, salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut ialah terpisahnya penjelasan-penjelasan fikih dengan penjelasan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan mengenai perceraian dalam perkawinan Islam seringkali terputus dan terbatas pada konsep-konsep fikih yang tidak diikuti dengan penjelasan bahwa penjatuhan talak dan fasakh di luar pengadilan, tidaklah terakui di depan hukum.

Aturan untuk mewajibkan jatuhnya perceraian, terlebih penjatuhan talak di depan pengadilan seringkali kita nilai tidak sejalan dengan konsepsi fikih yang masyhur diajarkan di Indonesia. Meski telah tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, konsep ini masih tidak banyak yang menerima sebagai bagian dari konsep fikih. Terlepas dari soal kedudukannya dalam fikih islam, sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa  kewajiban persidangan cerai ialah untuk menghindarkan mudharat yang timbul akibat melakukan perceraian secara sewenang-wenang.

Dengan mengingat tujuan terbuatnya aturan tersebut, maka tidaklah salah kiranya jika melakukan sejumlah kompromi untuk mematuhi baik ketentuan dalam fikih, maupun ketentuan dalam perundang-undangan. Pertama, dengan tidak mengucapkan talak kecuali telah memperoleh izin pengadilan. Jika suami memang telah ingin berpisah dengan istrinya, maka alih-alih mengucapkan talak secara langsung, ajukan dahulu izin ikrar talak ke peradilan agama.

Hindari Perkawinan Siri atau Tidak Tercatat KUA

Kedua, kalaupun talak telah terucap di luar pengadilan dan suami serta istri yakin telah jatuh talak, maka segera ajukan gugatan cerai atau permohonan talak ke depan pengadilan. Sehingga status perkawinan di antara suami dan istri tidak lagi samar dan kabur di hadapan hukum. Ketiga, tidak menggunakan seorang muhakkam untuk menjatuhkan fasakh melainkan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Tujuannya agar keputusan perceraian oleh hakim (qadhi) yang melakukannya.

Saat ini hampir semua kota di Indonesia telah memiliki pengadilan agama. Di mana ia dapat melayani pendaftaran perkara secara elektronik dan menyediakan layanan persidangan bebas biaya bagi mereka yang kurang mampu. Termasuk persidangan perkara perceraian. Keempat, Istri yang dicerai harus menunda pernikahan dengan pasangan lain sebelum habisnya masa iddah yang terhitung sejak keluarnya akta cerai.

Karena melakukan perkawinan pada masa iddah akan dianggap sebagai pernikahan yang batal di hadapan hukum. Kelima, menghindari perkawinan siri atau perkawinan yang tidak melalui prosedur pencatatan pada KUA (Kantor Urusan Agama).

Untuk menikah dan tercatatkan dalam register perkawinan, petugas KUA akan memastikan berbagai hal. Termasuk status perkawinan serta status perceraian dengan pasangan sebelumnya. Jika KUA mengizinkan perkawinan dan mencatatkan perkawinan tersebut, maka hilanglah keragu-raguan atas status perceraian dari perkawinan sebelumnya. Kedua mempelai juga telah dianggap beriktikad baik (Goeder Trouw). Kecuali terbukti sebaliknya, dan karenanya segala akibat hukum dari perkawinan ini akan terlindungi di depan hukum. []

 

Tags: KUANikah SiriPengadilan agamaperceraianperkawinan
Akmal Adicahya

Akmal Adicahya

Alumni Fakultas Syariah UIN Malang, Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • KDRT

    3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID