• Login
  • Register
Jumat, 18 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Masa Iya, Laki-laki Butuh Feminisme Sih?

Kita semua dirugikan oleh patriarki, kita semua membutuhkan feminisme. Laki-laki tidak hanya satu identitas tunggal dengan konsep hegemonic masculinity, biarkan laki-laki menjadi dirinya yang sepenuhnya dengan nilai-nilai feminin yang justru baik untuknya dan untuk dunia

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
15/05/2023
in Personal
0
Laki-laki Butuh Feminisme

Laki-laki Butuh Feminisme

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pedebatan tentang feminisme seolah tidak pernah berakhir, termasuk wacana apakah laki-laki membutuhkan feminisme? Salah satu pengguna Twitter ada yang beropini, “Laki-laki dukung feminisme saja aneh buat saya”. Opini ini merefleksikan kurangnya pemahaman mengenai feminisme itu sendiri, yang belakangan juga menjadi obrolan panjang tentang unpopular opinion seputar feminisme.

Pada 15 April 2023, Ziliun yang berkolaborasi dengan Mubadalah.id dan media partner lainnya mengadakan webinar yang berjudul “Masa Iya, Laki-laki Butuh Feminisme?”. Webinar ini mengundang empat pembicara yaitu Tunggal Pawestri, Wanda Roxanne, Wawan Suwandi dan Rahadi Marsito. Obrolan dalam webinar ini langsung menjawab bahwa laki-laki memang butuh feminisme. Mengapa?

Wawan yang akrab kita panggil dengan Jundi, menjelaskan bahwa feminisme penting bagi laki-laki karena feminisme membebaskan laki-laki dari perilaku toxic masculinity bagi diri dia sendiri, laki-laki lain, dan juga kelompok rentan lainnya.

Menurutnya selama ini laki-laki terjebak dalam toxic masculinity yang membuat mereka harus membuktikan pada masyarakat bahwa laki-laki itu keren (maskulin). Namun pembuktiannya merugikan orang lain seperti ingin dianggap keren dengan memiliki banyak pasangan perempuan dan menormalisasi kekerasan.

Bagaimana Konsep Laki-laki Ideal Dibentuk?

Nur Hasyim dalam bukunya “Good Boys Doing Feminisme” menjelaskan bahwa konsep “laki-laki ideal” melahirkan hierarki dalam maskulinitas atau kelelakian. R. W. Connell dan peneliti lainnya menyebut hal ini sebagai hegemonic masculinity. Connell menjelaskan bahwa hegemonic masculinity secara umum punya ciri dengan kekuatan fisik, dominasi, superioritas dan kekerasan.

Baca Juga:

Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

Perempuan Menjadi Pemimpin, Salahkah?

Membaca Ulang Pandangan Ibnu Rusyd tentang Perempuan

Merendahkan Perempuan adalah Tanda Pikiran yang Sempit

Laki-laki yang ideal dalam patriarki adalah mereka yang gagah, dominan, heteroseksual, berpenghasilan, berkeluarga, dan memiliki anak. Hierarki maskulinitas menempatkan hegemonic masculinity pada hierarki tertinggi. Sedangkan laki-laki yang tidak sesuai dengan hegemonic masculinity kita tempatkan dalam posisi yang lebih rendah sebagai subordinate masculinity.

Salah satu teman laki-laki saya, Teguh (bukan nama sebenarnya) juga sepakat bahwa laki-laki butuh feminisme. Dia menjelaskan bahwa feminisme membuatnya memahami bahwa patriarki tidak membebaskan laki-laki menjadi sosok laki-laki sesuai yang mereka mau. Ada nilai-nilai yang melekat dalam maskulinitas untuk menjadi laki-laki ideal patriarki, seperti yang Jundi jelaskan, yaitu menjadi laki-laki keren.

Teguh pernah mendapatkan tekanan dari orang-orang yang mengatakan, “Macho dong jadi laki-laki, yang gagah dan jangan lembut”. Kelembutan ia kaitkan dengan femininitas, sehingga dianggap “nggak laki”. Dia tidak sesuai dengan karakteristik hegemonic masculinity, dan termasuk dalam subordinate masculinity yang dianggap lemah dan rendah. Sehingga dia tidak dianggap “laki-laki ideal/sejati” dan mendapatkan stigma dari masyarakat.

Hegemonic Masculinity Merugikan Laki-laki

Nur Hasyim menjelaskan bahwa konsep hegemonic masculinity memberikan privilese, kuasa dan keuntungan material yang Connell sebut sebagai dividen untuk laki-laki. Akibat nilai maskulinitas yang toxic ini, laki-laki harus membayar mahal maskulinitas mereka dengan merepresi emosi agar terlihat kuat dan tegar (tidak boleh menangis), tidak dekat dengan anak-anak karena pengasuhan bukan tanggung jawab utama mereka.

Selain itu, karena maskulinitas laki-laki juga terlibat dalam kekerasan seperti tawuran, perang dan KDRT. Laki-laki juga cenderung tidak mudah beradaptasi dalam perubahan karena nilai-nilai yang kaku sebagai laki-laki. Tuntutan maskulinitas patriarkis membentuk laki-laki agar selalu mengutamakan superioritas, kekuatan dan kekerasan. Kemudian menghukum laki-laki yang tidak sesuai dengan maskulinitas patriarki.

Bagaimanapun, laki-laki yang tidak mendominasi, tidak superior, tidak kuat terutama secara fisik) dan lembut (tidak melakukan kekerasan), akan dianggap “kurang laki” dan kita tempatkan dalam subordinate masculinity. Laki-laki dengan subordinate masculinity laki-laki juga berpotensi mendapatkan bullying, tekanan dan kekerasan lainnya. Masyarakat dengan nilai toxic masculinity menyeragamkan karakteristik laki-laki yang dianggap ideal.

Laki-laki yang ideal tertuntut untuk menjadi pencari nafkah dalam keluarga. Sehingga nilai dan aktivitas laki-laki berpusat sebagai breadwinner dengan pekerjaan produktif. Karena hal ini, nilai laki-laki masih kita pandang sebagai “pencari uang” yang harapannya bisa membayar makanan atau apapun saat pacaran hingga perkawinan. Salah satu contoh kasus laki-laki berusia 24 tahun yang menjual genteng untuk pacarnya. Kasus perampokan, begal, penipuan dan hal kriminalitas lainnya juga pelakunya kebanyakan laki-laki.

Transformasi Maskulinitas, Menjadi Laki-laki Baru yang Egaliter

Patriarki merugikan, kita semua membutuhkan feminisme. Maka perlu transformasi sosial dalam masyarakat, terutama pada konsep maskulinitas. Perlu ada perubahan agar maskulinitas menjadi egaliter dan tidak lagi toxic. Nur Hasyim menjelaskan bahwa perlu konsep laki-laki baru yang penuh penghormatan kepada sesama, komunikasi yang terbuka, berempati, saling berbagi dan tidak melakukan kekerasan.

Selain itu laki-laki perlu kita latih untuk fleksibel, cakap mengasuh anak, melakukan pekerjaan domestik, mengelola emosinya, komunikatif, dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Maskulinitas tradisional yang patriarki bangun terlalu mahal untuk kita bayar dari generasi ke generasi. Hegemonic masculinity tidak memiliki masa depan, karena hanya melanggengkan penindasan dan kekerasan.

Maskulinitas tradisional atau hegemonic masculinity bagi saya adalah red flag dalam berpasangan. Sekalipun saya heteroseksual, saya tidak menyukai laki-laki dengan toxic masculinity. Saya pernah memiliki hubungan dengan laki-laki yang kuat secara fisik, namun juga bisa mengekspresikan dan mengontrol emosinya. Dia suka memasak, dan tidak mengontrol saya untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginannya.

Bagi saya, dia adalah sosok laki-laki baru yang dapat memiliki hubungan yang sehat ke depannya. Dia memiliki nilai egaliter, dan tidak akan melarang pasangannya untuk bekerja ataupun melakukan hal-hal yang pasangannya inginkan. Laki-laki baru seperti ini adalah gambaran hubungan yang sehat, yang kita butuhkan dalam menjalin relasi dalam semua hal.

Feminisme memahami bahwa laki-laki juga dirugikan dalam patriarki. Laki-laki tidak hanya satu identitas tunggal dengan konsep hegemonic masculinity. Feminisme memberikan ruang pada laki-laki untuk menjadi diri dia yang sepenuhnya dengan nilai-nilai feminin yang justru baik untuknya dan untuk dunia. []

 

 

Tags: feminismeGendergerakan perempuankeadilanKesetaraanlaki-lakiperempuan
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

eldest daughter syndrome

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

17 Juli 2025
Love Bombing

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

16 Juli 2025
Disiplin

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

15 Juli 2025
Inklusivitas

Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

15 Juli 2025
Kesalingan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

13 Juli 2025
Harapan Orang Tua

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

12 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • eldest daughter syndrome

    Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mu’adzah Al-Adawiyah: Guru Spiritual Para Sufi di Basrah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mu’adzah Al-Adawiyah: Guru Spiritual Para Sufi di Basrah
  • Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan
  • Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?
  • Disabilitas dan Kemiskinan adalah Siklus Setan, Kok Bisa? 
  • Perempuan Menjadi Pemimpin, Salahkah?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID