Mubadalah.id – Sebutan ulama dalam banyak komunitas muslim di dunia selama ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan.
Untuk menyebut perempuan sebagai ulama harus ditambahkan kata “perempuan” sehingga menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama”.
Kenyataan ini jelas memperlihatkan bahwa kaum perempuan dianggap tidak ada yang layak disebut ulama. Dengan kata lain, mereka dianggap tidak memiliki kapasitas intelektual, keilmuan, moral, dan keahlian yang lain.
Pandangan semacam ini ternyata juga dianut oleh berbagai kebudayaan di dunia. Bahkan, para filsuf menempatkan perempuan sebagai makhluk bodoh dan tidak layak menempati posisi kepemimpinan di ruang mana pun.
Hal tersebut merupakan salah satu fakta peradaban patriarkis yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Perempuan dalam peradaban tersebut dipandang sebagai manusia kelas dua, subordinatif, tidak cerdas, terlarang untuk berada pada posisi menafsirkan, dan mengelaborasi.
Termasuk terlarang untuk memutuskan, menentukan, dan mengimplementasikan hukum-hukum agama “perempuan”.
Bahkan, Plato, seorang filsuf terbesar, menempatkan kedudukan terhormat laki-laki pada kemampuannya memerintah.
Sementara posisi terhormat perempuan terletak pada kemampuannya melakukan pekerjaan sederhana atau hina dengan berdiam tanpa bicara.
Pandangan Salafi
Tokoh besar dan pendiri aliran Islam Salafi, Imam Ibnu Taimiyah, dalam bukunya yang terkenal, Majmu’ Fatawa (Kumpulan Fatwa), mengatakan bahwa perempuan adalah aurat, berarti ia adalah objek seks.
Sebagai objek, perempuan tak punya akal. Ia hanya berfungsi sebagai pemuas hasrat seks (laki-laki).
Ia menolak pandangan kaum rasionalis tentang wajibnya melakukan penalaran rasional (an-nazhar) dan analisis (al-istidlal), bagi siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan.
Anggapan-anggapan tersebut jelas bertentangan dengan realitas di segala tempat dan zaman.
Realitas sepanjang sejarah menunjukkan tidak sedikit perempuan yang cerdas, kreatif, dan menjadi pemimpin yang sukses sebagaimana kaum laki-laki.
Pembatasan dan pengucilan (marjinalisasi) terhadap mereka, di samping telah mengingkari fakta sosial dan kebudayaan, juga telah mengabaikan perintah Tuhan dan Nabi Saw.
Dalil Al-Qur’an
Betapa banyak ayat al-Qur’an yang menyerukan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan. Beberapa di antaranya ialah:
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ (1) خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍۚ (2) اِقۡرَاۡ وَرَبُّكَ الۡاَكۡرَمُۙ (3) الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ (4) عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ (5)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, (3) Yang mengajar (manusia) dengan pena. (4) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (5) (QS. al-Alaq ayat 1-5)
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan Allah beri rahmat. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. at-Taubah ayat 71)
Semua perintah Tuhan tersebut berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Kita tidak tahu siapa yang mengkhususkan perintah Tuhan itu hanya kepada laki-laki. Siapa yang mengecualikan perempuan dari ketentuan ayat-ayat Tuhan tersebut. []