Mubadalah.id – Di antara bentuk amal kebajikan yang biasanya gencar umat Islam lakukan pada bulan Muharam adalah menyantuni anak yatim. Dalam Kitab Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin karya Syaikh Abu Bakar Syatho Ad-Dimyathi, diterangkan bahwa terdapat beberapa amalan yang sangat dianjurkan untuk kita lakukan pada Bulan Muharam. Khususnya pada Hari Asyura’ (10 Muharram).
Salah satu dari beberapa amalan tersebut adalah ‘mengusap kepala’ (menyantuni) anak yatim atau berbuat baik kepadanya. Dalam kitab tersebut, beliau menuturkan:
ومن مسح فيه على رأس يتيم أو أحسن إليه فكأنما أحسن إلى أيتام ولد آدم كلهم…الخ
Artinya: “Barangsiapa mengusap kepala anak yatim atau berbuat baik kepadanya pada hari 10 Muharram, maka ia seakan-akan berbuat baik kepada seluruh anak yatim”. (Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin, 2/302).
Santunan anak yatim ini, apalagi pada bulan Muharram merupakan amal kebajikan yang Allah SWT dan rasul-Nya cintai. Allah SWT pasti akan lebih menyayangi hamba-Nya yang mau menebarkan kasih sayang kepada anak yatim sekaligus memberikan keistimewaan dan pahala berlipat kepada mereka. Di samping itu, terkait keutamaan menyantuni anak yatim ini, Rasulullah SAW pernah bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُما شَيْئًا
Artinya: “Aku dan orang yang merawat anak yatim seperti ini dalam surga.” Kemudian nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, seraya sedikit merenggangkannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Kemuliaan Anak Yatim
Hadis di atas kiranya sudah cukup menjelaskan kemuliaan anak yatim dan orang-orang yang merawatnya. Kemuliaan yang akan didapatkan orang-orang yang menyayangi dan mau merawat anak yatim, salah satu caranya ialah bersikap santun dan berkenan memberikan santunan kepada mereka sangatlah istimewa. Yakni kelak akan ditempatkan di dalam surga berdekatan dengan Rasulullah SAW.
Terlepas dari kemuliaan anak yatim dan orang-orang yanng berkenan menyantuninya, ada satu hal menarik yang perlu kita telaah. Pada momentum bulan Muharam, bagi sebagian umat Islam, khususnya yang cukup finansial, biasanya gemar mengadakan acara santunan anak yatim dan menjadikannya sebagai acara rutin tahunan.
Akan tetapi, dewasa ini seiring dengan berkembangnya media massa digital, tak jarang kita jumpai bahwa acara santunan anak yatim tahunan tersebut mereka laksanakan secara terbuka dan ‘terabadikan’ di media sosial. Apakah acara santunan anak yatim yang terkesan ‘mereka pertontonkan’ tersebut merupakan budaya yang tepat dan patut kita lestarikan? Ataukah kurang tepat dan perlu kita lakukan pembaharuan?
Mengemas Acara Santunan Anak Yatim secara Bijak
Dalam menyikapi persoalan ini, kita sebagai umat Islam harus cermat dan tidak boleh sembarangan. Kita harus mengemas acara santunan tersebut secara bijak agar acara santunan kepada anak yatim ini tetap menjadi aktivitas baik dan bernilai positif. Selain itu tidak menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
Pada dasarnya, mengadakan acara santunan anak yatim secara terbuka, dengan niat syiar agama Islam, sehingga memungkinkan untuk terlihat oleh khalayak umum itu merupakan hal yang boleh kita lakukan. Kebolehan ini tentu berlaku selama tidak menimbulkan dampak negatif bagi pihak tertentu. Khususnya bagi anak yatim yang menjadi ‘tokoh utama’ dalam acara tersebut.
Selama anak yatim tidak merasa malu karena tampil di hadapan publik untuk kita berikan santunan. Lalu mereka juga tidak merasa sedih sebab adanya santunan tersebut, maka tidak mengapa mengadakan acara santunan anak yatim secara terbuka. Akan tetapi, bila acara santunan tersebut ternyata menimbulkan perasaan malu dan sedih bagi anak yatim, maka sebaiknya acara santunan tidak lagi kita selenggarakan secara terbuka.
Sikap Santun dalam Menyantuni Anak Yatim
Di sinilah urgensi sikap santun dalam menyantuni anak yatim. Jangan sampai acara yang sebenarnya memiliki esensi baik dan bernilai positif ini berubah menjadi acara yang menyayat hati anak-anak yatim. Oleh sebab itu, dalam beramal kebaikan, kita semestinya mengedepankan cara yang baik pula. Sebab, melakukan amal kebaikan dengan tanpa kita sertai cara yang baik itu dapat merusak esensi amal kebaikan itu sendiri.
Mengacu pada pembahasan di atas, maka dalam menyantuni anak yatim, kita sebagai umat Islam harus mampu menunjukkan sikap bersedekah. Yakni dengan tanpa menyakiti atau membuat malu pihak yang menerima sedekah dari kita. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ …الأية
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, …” (QS. Al-Baqarah : 264).
Berdasarkan ayat di atas, bila kita kaitkan dengan acara santunan anak yatim, untuk mengantisipasi perasaan malu atau sedih yang mungkin saja timbul dalam perasaan anak yatim, kita harus mengambil sikap ihtiyath (berhati-hati) dalam menyantuni.
Menyantuni secara Tertutup
Dalam hal ini, sikap ihtiyath yang dapat umat Islam lakukan adalah menyantuni anak yatim secara tertutup, atau lebih baik lagi secara diam-diam langsung mendatangi rumahnya tanpa perlu ‘kita perlihatkan’ kepada orang lain. Dengan cara ini, Insya Allah kemungkinan adanya perasaan malu atau sedih anak yatim ketika menerima santunan relatif tidak ada.
Di samping itu, umat Islam perlu mengerti bahwa pernyataan “mengusap kepala anak yatim” sebagaimana pada keterangan sebelumnya, secara hakiki merupakan simbol kasih sayang dan cinta yang semestinya kita lakukan secara konsisten. Bukan merupakan ‘ritual’ wajib yang hanya kita lakukan satu tahun sekali, yakni pada saat Bulan Muharam tiba saja.
Menyantuni anak yatim bukan hanya sebatas memberikan ‘uang jajan’ kepada mereka. Tetapi seyogyanya lebih daripada itu. Umat Islam semestinya juga memperhatikan hak-hak anak yatim dalam posisi sebagai anak, seperti: menyayangi mereka dengan sikap lembut, menjamin pendidikan mereka, dan perbuatan ihsan lain yang bermanfaat bagi mereka.
Dengan demikian, umat Islam yang berkenan menyantuni dan berbuat ihsan kepada anak yatim layak kita sebut sebagai ‘kafilul yatim’, dan kelak akan mendapatkan kedudukan spesial di surga bersama Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bisshawab. []