Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Khalil ‘Abd al-Karim tentang praktik poligami yang dilakukan masyarakat muslim generasi awal. Maka sebenarnya lebih banyak dipengaruhi budaya Arab pra-Islam.
Praktik mengawini banyak perempuan telah biasa dilakukan masyarakat Arab sebelum Islam. Setelah Islam datang, praktik ini juga masih tetap menjadi sesuatu yang biasa dilakukan, termasuk oleh para sahabat dan tabi’in.
Al-Qur’an hanya memberikan batasan-batasan tertentu. Tetapi pengaruh budaya Arab dalam hal kebiasaan mengawini lebih dari seorang istri cukup kuat mengakar pada kesadaran setiap orang pada saat itu.
Ketika al-Qur’an memberikan batasan empat istri saja dalam suatu kehidupan perkawinan, tidak sedikit dari para sahabat dan tabi’in yang tetap masih berpetualang dengan mengawini lebih dari empat orang perempuan. Tentu, tidak dengan melanggar al-Qur’an, karena melakukannya dengan cara kawin-cerai.
Sehingga yang berada di bawah tangan mereka tetap empat istri. Tidak sedikit juga, yang menambahkan dengan beberapa budak perempuan, selain para istri yang berstatus merdeka.
Misalnya yang tercatat sebagai istri Umar bin Khattab ra adalah lima orang, ditambah tiga orang budak perempuan.
Yaitu, Zainab binti Mazh’un, Umm Kultsum bint Ali bin Abi Thalib ra, Umm Kultsum bint Jarwal —cerai karena tidak bersedia masuk Islam. Kemudian Jamilah bint Tsabit, Umm Hakim bint al-Harits, ‘Aikah bint Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Serta tiga orang budak perempuan yang ketiganya melahirkan anak bagi Umar bin Khattab ra.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib, adalah salah seorang yang tercatat melakukan kawin-cerai dengan banyak perempuan. Dalam suatu riwayat, ia melakukan kawincerai itu dengan lebih dari sembilan puluh perempuan.
Sehingga, Imam Ali bin Thalib ra sendiri pernah memberi peringatan kepada masyarakat untuk tidak mengawinkan putri mereka terhadap Hasan yang suka kawin-cerai.
Budaya Masyarakat
Budaya masyarakat pada saat itu, menganggap prestise tersendiri bagi lelaki yang mampu mengawini banyak perempuan, dan juga ketika putri-putri mereka bisa menikah dengan tokoh-tokoh tertentu. Kita tidak mengatakan bahwa praktik ini salah pada konteks sosial mereka. Tetapi kita bisa memastikan bahwa praktik ini terjadi bukan lantaran al-Qur’an anjurkan.
Seperti yang dalam beberapa teks hadits, kisah-kisah poligami beberapa sahabat juga terjadi sebelum al-Qur’an Allah turunkan. Bahkan jauh sebelum masuk Islam, mereka telah melakukan poligami.
Seperti yang dikisahkan tentang Ghilan bin Salamah ats-Isaqafi ra, Wahb al-Asady ra dan Qays bin al-Harits ra, mereka semua masuk Islam dengan membawa lebih dari empat orang istri. Ada yang sepuluh dan ada yang delapan orang. Nabi Saw kemudian memerintahkan mereka untuk menetapkan empat orang istri saja, dan menceraikan yang lain.
“Dari Ibn Umar ra berkata: bahwa Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam). Bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka”. (HR. at-Turmudzi). []