Mubadalah.id – Kesadaran tidak poligami terhadap ayat an-Nisa yang menggejala pada saat sekarang ini mulai dari akhir abad kesembilan belas masehi, adalah sesuatu yang wajar. Karena tuntutan peradaban kemanusiaan saat ini telah mengalami lompatan yang signifikan terhadap jati diri kemanusiaan perempuan.
Lompatan yang sama juga terjadi pada tuntutan peradaban terhadap jati diri kemanusiaan para budak, yang sebelumnya masih setengah manusia. Tetapi ketika Imam az-Zamakhsyari yang hidup pada abad ke enam hijriyah, menegaskan untuk memilih monogami dan meninggalkan poligami, adalah sesuatu yang luar biasa.
Karena pada saat itu, perbudakan masih merajalela dan poligamipun setali tiga uang saja. Banyak orang pada saat itu, yang tidak saja memiliki lebih dari seorang perempuan. Tetapi juga memiliki selir dari para budak perempuan. Tetapi az-Zamakhsyari lebih memilih memaknai ayat an-Nisa untuk menegaskan komitmen ter. hadap monogami, dengan pernyataan:
“Tetaplah dan nikahlah seorang perempuan saja, dan tinggalkan poligami sekarang juga. Karena pokok persoalan, semuanya ada pada keadilan. Di mana kamu menemukannnya, di situ lah kamu harus memilih dan mengambilnya.”
Pandangan Pakar Fiqh Indonesia
Pilihan ini diisyaratkan juga oleh Tengku Muhammad Hasbi Ash-shiddqi, pakar fiqh Indonesia. Dalam kitab tafsirnya ‘an-Nur’, ia menyatakan:
“Ulama-ulama besar Mu’tazilah berpendapat, bahwa tidak boleh seorang laki-laki beristri dengan yang kedua, semasih mempunyai seorang istri. Ulama Mu’tazilah mempersaksikan dengan seksama segala bencana-bencana dan kesukaran-kesukaran yang disebabkan oleh poligami. Mereka menginsafi bahwa di antara dasar-dasar syari’at Muhammad ialah memberkan kepada illat (wasilah) hukum yang diberikan kepada tujuan. Kita lihat bahwa akibat beristri banyak itu sangat buruk, yang tidak dapat kita pandang menjadi baik oleh akal dan tidak Allah ridhai. Karena itu, mereka haramkan.”
Pilihan pandangan seperti ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Pada saat di mana masyarakat masih bergelimang dengan kebiasaan berpoligami, ia menegaskan bahwa perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah monogami.
Penafsiran seperti ini, mengisyaratkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an, sekalipun masih mengakomodasi budaya saat penurunannya, juga mengandung pesan-pesan transformatif untuk perubahan sosial kemanusiaan. Pesan-pesan ini dengan mudah bisa kita tangkap pada struktur bahasa al-Quran sendiri.
Karena itu, kebanyakan ulama tafsir memandang perlu untuk melakukan kritik terhadap poligami, yang menurut struktrur bahasa al-Qur’an sendiri menyimpan api ‘ketidak-adilan’, yang seringkali menimpa terhadap perempuan.
Bahkan, mereka tahu poligami dipraktikkan banyak orang pada saat itu. Termasuk tokoh-tokoh utama dalam sejarah awal muslim. []