Mubadalah.id – Masturbasi atau onani pada dasarnya bukan jalan normal untuk memenuhi nafsu syahwat, dan mempertimbangkan bahwa masturbasi atau onani bisa mendatangkan kerugian bagi pelakunya bila dibiasakan, maka hukum asal masturbasi/onani lebih condong kepada hukum makruh.
Kemubahan ini, jika telah nyata menunjukkan kecenderungan bahwa masturbasi atau onani merusak pelakunya–atas dasar hadits Nabi yang melarang setiap perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain–maka masturbasi/onani hukumnya bisa menjadi haram.
Sedangkan masturbasi atau onani yang dilakukan guna menghindari perbuatan zina bisa menjadi mubah dan dibolehkan. Allah SWT berfirman (4: 31):
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang tidak boleh kamu untuk mengerjakannya. Niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecil yang kamu kerjakan) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
Sementara pendapat yang menyatakan bahwa dosa onani sama dengan dosa perzinaan, di samping tidak tepat juga sama sekali tidak rasional. Sebab, kalau dosa zina dan onani disamakan. Maka setiap orang diduga keras (dhann) akan memilih untuk melakukan perzinaan daripada onani/masturbasi dan prihal ini pasti berbahaya.
Pendapat itu mungkin para ulama sampaikan agar seseorang tidak gampang melakukan aktivitas masturbasi atau onani. Terlebih menjadikannya sebagai adat kebiasaannya tiap hari.
Walhasil, hukum masturbasi atau onani mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang timbul. Hukumnya sangat kondisional dan situasional. Elastisitas ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syarî’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana (jarîmah) atau perbuatan yang terkena hukum ta’zîr. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, murû`ah, dan kehormatan belaka.
Puasa
Untuk menghindari timbulnya nafsu birahi secara tak terkendali, hendaknya diperhatikan ajaran hadits Nabi SAW agar para pemuda yang belum mampu melakukan perkawinan memperbanyak ibadah puasa.
Puasa bisa menjadi perisai (tameng) yang cukup efektif dari perbuatan-perbuatan yang tidak pantas ia kerjakan. Bisa juga menyibukkan dan menenggelamkan diri dalam sejumlah aktivitas. Sehingga yang bersangkutan tidak punyak banyak waktu untuk bermasturbasi atau beronani, seperti aktif dalam organisasi, kelompok-kelompuk studi, dan sebagainya.
Seseorang tidak perlu risau akan terjadinya penimbunan sperma. Sehingga ia harus melakukan onani atau masturbasi. Sperma yang menumpuk itu tidak mesti ia keluarkan lewat jalan onani/masturbasi.
Bahkan, pada umumnya, tanpa masturbasi atau onani pun timbunan sperma yang seharusnya keluar, pada saatnya akan keluar dengan sendirinya secara alami. Biasanya keluar dengan jalan mimpi saat tidur atau karena kelelahan.
Penting kita catat bahwa pergaulan di antara mereka yang berbeda jenis kelamin sering menjadi faktor dominan bagi timbulnya gejolak nafsu birahi. Oleh karena itu, tata etik pergaulan dalam ajaran Islam penting kita perhatikan kembali di tengah mainstream modernisme-hedonisme dewasa ini. []