• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Pentingnya Mengasah Sensitivitas Keadilan Gender

Tanpa adanya sensitivitas, rasanya keadilan gender hanya akan menjadi wacana semata dan ketidakadilan gender akan terus selalu ada

Wilis Werdiningsih Wilis Werdiningsih
31/08/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Sensitivitas Keadilan Gender

Sensitivitas Keadilan Gender

684
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pikiran saya melayang tatkala membaca sebuah tulisan yang membincang tentang bagaimana upaya mewujudkan keadilan gender, yang sangat membutuhkan tingkat sensitivitas tinggi dari orang-orang yang berada dalam suatu relasi tersebut. Sensitivitas ini haruslah diuji secara terus-menerus. (Nuril, 2023). Tanpa adanya sensitivitas tentu keadilan gender yang digaung-gaungkan akan tetap sulit terwujud.

Perspektif perempuan haruslah terus kita insafi dan kita pahami, bukan hanya menjadi sebuah perspektif atau pendekatan semata. Ia harus menelusup jauh ke dalam relung kemanusiaan setiap orang. Bahwa sebuah keadilan hanya akan terwujud, jika kedua belah pihak yang berelasi (laki-laki dan perempuan) memiliki pemahaman dan kemauan untuk mewujudkannya.

Saya ingin kembali kepada pemahaman tentang apa itu keadilan gender? Mengutip pandangan Dr. Nur Rofiah, keadilan gender adalah kondisi di mana dalam sebuah relasi tidak ada pihak yang mengalami ketidakadilan dalam konteks pengalaman sosial maupun pengalaman biologisnya.

Lebih lanjut Dr Nur Rofi’ah, menekankan terdapat dua indikator terwujudnya keadilan hakiki yakni pertama, apakah pengalaman biologis yang perempuan rasakan tidak semakin sakit? Kedua, dalam asumsi kebaikan apakah perempuan kita pastikan tidak mengalami lima pengalaman sosial (stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, violence, dan beban ganda)?

Menilik Sensitivitas Gender

Sensitivitas yang saya maksud adalah sebuah kepekaan. Sementara sensitivitas gender kita maknai sebagai kemampuan atau kepekaan seseorang dalam usahanya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Yaitu suatu kondisi di mana laki-laki dan perempuan memiliki peran, fungsi maupun tanggung jawab yang serasi, seimbang, setara dan harmonis. (Hayati, 2017).

Perempuan dan laki-laki berbeda kita lihat dari aspek biologisnya, namun tidak untuk kita bedakan haknya dalam mendapatkan keadilan sosial. Terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender sebagai puncak dari adanya sensitivitas gender yang tertandai dengan tereliminasinya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka memiliki akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang setara dalam berbagai aspek kehidupan.

Baca Juga:

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Tafsir Sakinah

Benarkah Istri Shalihah Itu yang Patuh Melayani Suami?

Nyai Awanillah Amva: Jika Ingin Istri Seperti Khadijah, Muhammad-kan Dulu Dirimu

Maka, sensitivitas ini dapat kita lihat dari apakah akses, partisipasi, kontrol dan manfaat sudah kita terima dan terasa secara seimbang oleh kedua jenis kelamin yang sedang berelasi. Seorang laki-laki yang memiliki tingkat sensitivitas tinggi, maka ia akan berbesar hati untuk berbagi peran, fungsi maupun tanggung jawab secara bersama-sama.

Mengapa tentang sensitivitas ini menarik bagi saya pribadi? Saya adalah sebagian dari perempuan yang kebetulan juga berkiprah di ranah publik. Sama seperti perempuan lainnya, saya memiliki tanggung jawab tidak hanya memikirkan pekerjaan saya, tetapi juga memikirkan urusan domestik rumah tangga saya.

Mengapa Berat Menjadi Perempuan?

Saat ini saya memiliki dua orang putra yang sama-sama masih usia sekolah dasar. Pekerjaan saya, mengharuskan saya untuk bekerja sedari pagi hingga sore hari. Berkaitan dengan jadwal mengantar dan menjemput anak sekolah, saya dan suami tentu berbagi tugas. Lalu di mana letak ketidakadilan yang sesekali masih saya benarkan kondisi yang demikian?

Tidak dapat saya pungkiri, bahwa meskipun saya bekerja di ranah publik saya tetap seorang perempuan yang juga sebagai ibu rumah tangga. Predikat ibu rumah tangga ini tentu memunculkan konsekuensi pada umumnya. Bahwa memikirkan/mengerjakan kebutuhan rumah tangga adalah tanggung jawab saya.

Mulai dari memasak, mencuci dan menyetrika baju, membersihkan rumah dan serangkaian pekerjaan rumah lainnya. Meskipun suami seringkali membantu saya menyelesaikan pekerjaan tersebut, namun penanggung jawab utama tetaplah saya.

Pada kondisi tertentu, tentu hal ini tidak menimbulkan masalah. Namun pada kondisi di mana pekerjaan sedang menumpuk, dan fisik merasa lelah, tentu keluh kesah mulai muncul. Lalu bermuara pada pertanyaan mengapa sebegitu beratnya menjadi seorang perempuan.

Bantuan yang suami berikan tersebut, tidak lantas menggeser beban moril sebagai seorang ibu rumah tangga yang tetap ada di pundak saya. Betapa sulit atau bahkan mustahil melemparkan tanggung jawab ibu rumah tangga dengan segala tanggung jawab di bidang domestik kepada suami.

Pentingnya Sensitivitas Pasangan Suami Istri

Oleh sebab itulah, pada tulisan ini saya ingin menekankan betapa sensitivitas dari pasangan merupakan prasyarat terwujudnya keadilan gender dalam kehidupan rumah tangga. Tanpa adanya sensitivitas, rasanya keadilan gender hanya akan menjadi wacana semata dan ketidakadilan gender akan terus selalu ada.

Sensitivitas keadilan gender ini harus ada dan terus kita asah. Di mana proses pembentukannya diawali dari kehidupan keluarga, yakni bagaimana pasangan suami-istri memahami relasi pembagian peran dengan mempertimbangkan kondisi, keinginan dan harapan keduanya, sehingga harapannya terjadi keseimbangan pembagian peran.

Pada akhirnya kehidupan rumah tangga akan dipenuhi dengan kebahagiaan. Setiap pasangan menjadi sumber kebahagiaan bagi pasangannya. Keduanya dapat hidup bahagia dan saling membahagiakan. []

 

Tags: beban gandaistrikeadilan genderPeran PerempuanSensitivitassuami
Wilis Werdiningsih

Wilis Werdiningsih

Wilis Werdiningsih Ibu rumah tangga, ibu dari dua orang putra. Saat ini juga aktif sebagai dosen di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian pendidikan dan isu kesetaraan gender.

Terkait Posts

Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID