Mubadalah.id – Suhu bumi makin tinggi. Lima tahun terakhir adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850. Tak tanggung-tanggung di beberapa negara kenaikan suhunya mencapai 5 derajat. Gletser mulai mencair dan merobohkan gunungan es. Tapi, di belahan dunia yang sekarat lain, bencana kekeringan menyebabkan gagal panen, kelaparan, hingga kematian.
Sementara manusia adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas hal ini. Data ini tersampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dilaksanakan. Laporan ini merupakan studi yang diluncurkan oleh para ilmuan sebelum pertemuan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26).
Fenomena semacam ini sebetulnya sudah para cendikia peringatkan. Pada tahun 1985, Jill Jäger, seorang ilmuwan lingkungan, menghadiri pertemuan di sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen Austria. Pertemuan yang dipimpin oleh ahli meteorologi bernama Bert Bolin ini merupakan pertemuan kecil para ilmuwan iklim yang bermaksud membahas hasil salah satu penilaian internasional pertama mengenai potensi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Manusia harus lebih bijak saat menghuni bumi. Tapi, bukankah manusia memang selalu bebal? Selalu tak pernah percaya dengan peringatan-peringatan. Apapun itu, baik peringatan dari sesama manusia atau bahkan dari Langit (Tuhan). Manusia yang hidup pada abad ke masehi pernah berkata, bahwa bumi adalah ibu.
Bumi adalah Ibu Kosmik Manusia
Sebuah penggambaran bahwa bumi adalah ibu kosmik manusia. Jagalah bumi, karena sesungguhnya ia adalah ibumu. Sesungguhnya, tidak ada satu pun yang memperlakukannya (bumi) dengan baik atau buruk, kecuali dia (tahu dan akan) melaporkannya kepada Allah Swt (al-Mu’jam al-Kabîr li َath- Thabrani, no. 4595).
Pun, dalam pondasi Islam yang terbangun dalam Kalimat tauhid menjelaskan secara terang benderang bahwa tiada tuhan selain Allah—yang artinya bahwa selain Allah adalah ciptaan. Tak peduli ia alam, hewan, atau manusia sekalipun. Itu artinya manusia sama derajat dengan gunung, hutan, sungai. Pun manusia sama derajatnya dengan kambing, gajah, ayam, dan babi sekalipun.
Alam, hewan dan manusia sama di hadapan Khaliq (pencipta) sebagai makhluk (ciptaaan). Ketiganya adalah saudara. Manusia yang dibekali dengan akal merasa lebih unggul dengan saudaranya yang lain memperlakukan alam semesta sebagai sapi perah melebihi dari kebutuhan mereka sendiri, hingga sampai pada tahap keserakahan. Tanpa ampun.
Keserakahan dan ketamakan manusia ini mengantarkannya pada bencana. Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyebutkan sebanyak 1.862 bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang Januari-Juli 2023 disebabkan oleh faktor perbuatan manusia.
Siapa lagi yang paling terdampak kalau bukan kelompok perempuan dan anak-anak. Perempuan dalam tradisi masyarakat patriarkhi dibebankan untuk bertanggung jawab persoalan domestik dan memastikan seluruh kebutuhan rumah tangga terpenuhi.
Kelangkaan Air
Di Lombok Utara, misalnya, kelangkaan air karena kekeringan menyebabkan perempuan berada pada kondisi yang putus asa—sebab kelangkaan air membuat posisi emosi mereka naik turun. Pada kondisi ini, laki-laki menuntut semua kebutuhan domestik terpenuhi tanpa mau tahu bagaimana prosesnya. Kondisi semacam ini pada akhirnya menyebabkan hubungan keluarga tak lagi harmonis.
Pun, pada kelangkaan air menyebabkan anak-anak usia sekolah merasa minder untuk berangkat sekolah. Mereka merasa tidak pantas ke sekolah karena kondisi badan yang kumal dan bahu. Tak heran jika angka putus sekolah menjadi tinggi. Belum lagi masalah kesehatan reproduksi, kelangkaan air membuat perempuan menjadi terancam kesehatannya.
Sebegitu besar krisis ekologi yang melanda ruang hidup. Agama seolah dianggap tak memiliki peran apapun. Padahal, agama memiliki fungsi strategis dalam perawatan lingkungan hidup. Oleh karena itu, agama seharusnya mengambil perannya lebih perlu menggerakkan elemen agama untuk menjaga alam.
Absennya narasi agama dalam isu krisis dan kerusakan linkungan di antaranya terjadi karena masih minimnya kajian yang menelusuri khasanah pemikiran Islam, dan menawarkan kajian pembaruan dalam interpretasi teks-teks keagamaan terkait dengan perawatan lingkungan.
Peran Agama
Di Indonesia, pengajaran agama Islam kita transmisikan melalui berbagai macam ragam dan cara. Paling jamak kita temui di kalangan masyarakat adalah majelis taklim dan pesantren. Sebuah ruang belajar kolosal yang terpusat pada satu figur tokoh agama atau pengasuh yang akan membahas persoalan-persoalan keseharian terkait agama.
Dengan jumlah penganut agama Islam sebanyak 244,41 juta tak mengherankan jika data yang terhimpun oleh Dirjen Bimas Islam jumlah majelis taklim mencapai 994. 000 dan 39.167 pesantren. Data ini kemungkinan besar akan terus bertambah karena masih banyak yang belum terdaftar.
Ruang agama, seperti majelis taklim dan pesantren memiliki peran yang sangat vital, bukan hanya dalam transmisi pemahaman keagamaan tetapi membumikan kebijakan strategis pemerintah.
Pada saat pandemi misalnya, tokoh agama dan ulama, khususnya yang memiliki majelis taklim dan pesantren mempunyai peran signifikan dalam mensosialisasikan pentingnya distansi sosial untuk menghalangi penyebaran yang lebih masif virus covid, sampai pentingnya vaksin—dan menekankan bahwa vaksin covid adalah halal kepada masyarakat dan jemaah.
Dengan potensi ini, agama dapat berperan—melalui tokoh agamanya—untuk mejadi juru bicara paling efektif perawatan dan pemulihan lingkungan yang telah rusak karena keserakahan manusia. []