Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan para ahli fiqh tentang makna hijab, mereka hadir mengubah dan memperluas makna hijab.
Terlebih menurut pandangan ahli fiqh, makna hijab kini menjadi sebagai penutup tubuh perempuan. Dan bukan lagi tirai pemisah ruang antara laki-laki dan perempuan dan tidak hanya untuk para istri Nabi saja. Tetapi juga perempuan-perempuan muslimah lain.
Alasannya adalah agar tidak menimbulkan gangguan bernuansa seksual dan dalam kerangka “mensucikan hati”. Dalam teori fiqh disebutkan: “al-‘Ibrah bi ‘Umum al-Lafzh La Bi Khushush al-Sabab” (yang dipakai adalah kata-kata umum bukan kasus yang karenanya teks itu diturunkan).
Jadi “hijab” atau sekat, pada dasarnya sebagai alat atau cara “pencegahan” terjadinya tindakan bernuansa seksual. Pertanyaan kita adalah apakah tujuan pencegahan dan “pensucian hati”, atau agar menjadi saleh, hanya bisa ia lakukan dengan alat dan cara ini?
Ini adalah cara pandang legal-formal dan menyederhanakan masalah serta kedangkalan berpikir. Kesucian hati atau kesalehan, dalam banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi lebih menekankan dan terletak pada cara pandang, pikiran dan hati manusia. “Dan pakaian Takwa itulah yang terbaik?”.
Selanjutnya kita bicara tentang Jilbab. Kata ini disebutkan dalam surat yang sama, al-Ahzab, ayat 59:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Hal itu agar mereka lebih mudah kita kenal dan karena itu mereka tidak ada yang mengganggu.” (QS. al-Ahzab ayat 59). []
Sumber : Buku Jilbab dan Aurat Karya KH. Husein Muhammad