Mubadalah.id – Ketika seorang laki-laki dan perempuan yang menikah secara sah seharusnya sudah mempunyai kesadaran penuh bahwa keluarga adalah organisasi kecil yang memiliki aturan dalam pengelolaannya. Karena itu, antara keduanya baik suami maupun istri harus memperlakukan, mempergauli, menjaga dan merawat pasangannya secara ma’ruf (Mu’asyarah bi al-Ma’ruf), agar terus bahagia dunia dan akhirat. (Baca: Laki-Laki di Akhirat Dapat Bidadari, Kalau Perempuan Dapat Apa?)
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal tersebut menurut Kang Faqih Abdul Kodir termasuk ke dalam salah satu dari sekian banyak ayat-ayat pilar rumah tangga. Salah satu ayat al-Qur’an yang bisa dikategorikan ke dalam hal tersebut adalah firman Allah SWT dalam surat al-Nisa ayat 19:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Asbab al-Nuzul dari ayat ini adalah sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Dawud dan An-Nasai yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa di zaman Jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal, wali si mati lebih berhak daripada istri yang ditinggalkannya. Sekiranya si wali ingin mengawininya atau mengawinkan kepada orang lain, ia lebih berhak daripada keluarga wanita itu. Maka turunlah ayat tersebut (Al-Nisa ayat 19) sebagai penegasan tentang kedudukan wanita yang ditinggal suaminya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad hasan yang bersumber dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif (Hadits ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah), bahwa ketika Abu Qais bin Al-Aslat meninggal, anaknya ingin mengawini istri ayahnya (ibu tiri). Perkawinan seperti ini adalah kebiasaan di jaman jahiliyah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (An-Nisa ayat 19), yang melarang menjadikan wanita sebagai harta waris.
Dalam pengertiannya Mu’asyarah berasal dari kata usyrah, yang secara literal berarti: keluarga, teman dekat. Dalam bahasa Arab dibentuk berdasarkan sighah musyarakah baina al-itsnaini, yang berarti kebersamaan di antara dua belah pihak, oleh sebab itu kita sering mengartikan bahwa mu’asyarah adalah bergaul atau pergaulan karena di dalamnya mengandung kebersamaan dan kebertemanan. Karena mu’asyarah sebagai kesalingan antara suami dan istri, maka dalam prosesnya kesalingan itu harus berlaku seimbang antara suami dan istri.
Sedangkan pengertian ma’ruf secara bahasa berakar dari kata ‘urf, yang berarti adat, kebiasaan atau budaya. Adat atau kebiasaan adalah suatu yang sudah dikenal dengan baik oleh suatu masyarakat. Dan kata ma’ruf secara istilah memiliki pengertian setiap hal atau perbuatan yang oleh akal dan agama dipandang sebagai suatu yang baik.
Berkaitan dengan pola hubungan mu’asyarah antara suami-istri, Al-Qur’an menyebutkan bahwa hubungan suami dan istri berlandaskan pada azas kemitraan, yang keberadaan keduanya saling melengkapi, prinsip keadilan selalu ditegakkan dimanapun dan dalam keadaan apapun Hubungan antara suami-istri tidak hanya sebatas hubungan seksual saja akan tetapi merupakan interaksi yang idealnya penuh dengan kedewasaan; dewasa dalam bersikap terhadap pasangan, terhadap keluarga dan terhadap anak, dikatakan dewasa ketika seseorang mampu membawa dirinya bersikap di manapun orang tersebut berada.
Dengan demikian berdasarkan hal tersebut maka mu’asyarah bi al-ma’ruf dengan segala persoalannya, akan dapat dipahami sebagai suatu pergaulan atau pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan yang dibangun secara bersama-sama dengan cara-cara yang baik, yang sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakatnya masing-masing. Namun tidak bertentangan dengan norma-norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia.
Menurut Ath-Thabari ketika menafsirkan ayat di atas, apabila para istri menaati Allah SWT dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. (Tafsir Ath-Thabari, jil. 2, hal. 466)
Mu’asyarah bi al-ma’ruf antara suami-istri ini dilandasi dengan kewajiban setiap muslim untuk amar ma’ruf nahyi munkar, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat al-Taubah ayat 71:
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat masih banyak yang menganggap pengertian mu’asyarah hanya sebatas pergaulan suami-istri dalam bentuk hubungan seksual semata. Oleh karena itu sering terjadi pasangan suami istri bisa melakukan hubungan seksual dengan baik tetapi dalam interaksi sosialnya masih kurang sehingga sering terjadi pertengkaran dalam rumah tangga bahkan sampai menjadi penyebab terjadinya perceraian. Padahal seharusnya istilah ini bisa lebih difahami secara lebih luas dari sisi biologis, psikologis maupun sosiologis.
Rasulullah SAW mencontohkan bahwa pernikahan merupakan sarana untuk mengatur hubungan seksual secara legal, karena itu keduanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, tidak mengandung unsur subordinal dan memarjinalisasikan salah satu dari keduanya. Pernikahan pada dasarnya bukan hanya menyatukan dua insan berbeda jenis kelamin yang dilandasi saling menyukai untuk berkomitmen hidup sakinah, namun pada dasarnya pernikahan merupakan sebuah proses mempertemukan dua keluarga secara kultural, itulah mengapa pada aspek mu’asyaroh bil ma’ruf antara suami istri, tidak hanya fokus pada keberadaan suami-istri semata tetapi juga meliputi cara mendidik anak, kekerabatan dengan keluarga kedua belah pihak suami maupun istri dan kehidupan bertetangga maupun bersosial.
Pada dasarnya al-Quran memandang ma’ruf sebagai sesuatu yang mengandung hal-hal yang harus dijalankan dan mengandung larangan-larangan yang harus ditinggalkan dan juga mengandung hukum-hukum fikih. Dalam surat al-Baqarah ayat 228 dikatakan:
وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ
Artinya: ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
Karena itu, dibutuhkan sikap toleransi dan lapang dada untuk mempermudah peran masing-masing suami dan istri dalam rumah tangga dalam membentuk keluarga yang mulia. Yang dimaksud dengan menggauli dengan baik adalah: akhlak yang baik, lembut, bicara pelan dan tidak kasar, mengakui kesalahan dan kekhilafan yang semua orang pasti pernah melakukannya.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku orang yang paling baik kepada keluargaku”
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep mu’asyarah bil ma’ruf adalah suatu konsep kesalingan dan kerjasama antara suami dan istri untuk menghadirkan setiap perbuatan baik dalam rumah tangga ketika berinteraksi antara keduanya, baik dalam masalah biologis (hubungan seksual), psikologis (saling memberikan kenyamanan dan kebahagiaan) maupun sosiologis (menjaga kehormatan dan martabat masing-masingnya ditengah-tengah masyarakat).
Dalam konteks pelaksanaannya kansep ini harus mengedepankan prinsip keadilan artinya mu’asyarah bil ma’ruf harus dilakukan oleh suami kepada istrinya dan juga sebaliknya. Wallaahu a’lamu bishshawwab. []