Mubadalah.id – Dalam banyak narasi keagamaan, masih sering dijumpai tafsir-tafsir yang memberi ruang untuk melakukan pemukulan terhadap istri, seolah hal ini bagian dari hak suami atas istri. Padahal, jika ditilik secara lebih jernih dan menyeluruh, Islam hadir justru hadir untuk menolak segala bentuk kekerasan. Bahkan Islam hadir untuk merestorasi relasi yang timpang dan menegakkan keadilan dalam keluarga.
Prinsip-prinsip dasar Islam seperti kasih sayang, penghormatan terhadap sesama, dan larangan berbuat zalim semestinya menjadi fondasi utama dalam kehidupan rumah tangga.
Maka sudah saatnya umat Islam berani meninjau ulang warisan tafsir lama yang melegitimasi kekerasan, dan menggantinya dengan pandangan yang lebih selaras dengan nilai-nilai rahmah dan kemanusiaan.
Pandangan ini bisa kita pilih untuk menegaskan prinsip Islam yang anti terhadap segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Tentu saja masih banyak rumusan fikih yang diperlukan untuk memastikan prinsip-prinsip pernikahan yang sakinah dan mawaddah, sebagaimana sudah ditegaskan pada pembahasan sebelumnya.
Karena persoalan KDRT tidak hanya persoalan pemukulan dan kekerasan fisik. Tetapi lebih dari itu, adalah persoalan ketimpangan relasi dan perendahan terhadap martabat kemanusiaan perempuan. Sejak pertama kali perempuan diikat dalam akad pernikahan, sampai ketika menjadi ibu atas anak-anak yang dilahirkannya.
Kita harus memastikan, pandangan-pandangan fikih yang kita ajarkan haruslah yang mengakar pada prinsip ketauhidan, kesederajatan, dan anti terhadap segala jenis kekerasan.
Dalam hal perkawinan, fikih harus menegaskan bahwa lembaga perkawinan dalam Islam bukanlah lembaga perbudakan yang meleburkan jati diri seseorang ke dalam jati diri pasangannya.
Karena setiap pasangan tetap memiliki hak kemandiriannya untuk menjadi diri sendiri. Kemandirian ini dipertemukan antara dua diri untuk menjadi kekuatan yang utuh dalam menghadapi tantangan hidup.
Dalam bahasa al-Qur’an, istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah pakaian bagi sang istri (QS. Al-Baqarah, 2:187).
Prinsip-prinsip dalam al-Qur’an
Untuk menjamin kemandirian dan kebersamaan ini, ada beberapa prinsip yang harus keduanya jadikan dasar. Yaitu seperti yang tertulis dalam beberapa ayat al-Qur’an: prinsip-prinsip pertama, kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan (taradlin) (QS. Al-Baqarah, 2:232–233).
Kedua, tanggung jawab (al-Amanah) (QS. An-Nisa, 4:48). Ketiga, independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah, 2:229 dan An-Nisa, 4:20). Keempat, kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tenteram (as-sakinah) dan penuh cinta kasih (al-mawaddah wa ar-rahmah) (QS. Ar-Rum, 30:21).
Kelima, perlakuan yang baik antar sesama (mu’asyarah bil ma’ruf) (QS. An-Nisa, 4:19), dan keenam, berembug untuk menyelesaikan persoalan (musyawarah) (QS. Al-Baqarah, 2:233; Ali ‘Imran, 3:159; dan Asy-Syura, 42:38).
Dengan prinsip-prinsip ini, perempuan seharusnya memperoleh jaminan untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Apalagi menjadi objek kekerasan dalam relasi perkawinan. []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.