Mubadalah.id – Dalam relasi rumah tangga yang adil gender, tak ada satu pihak pun yang diposisikan sebagai pelayan bagi yang lain. Rumah tangga bukanlah sistem majikan-pembantu, di mana istri selalu dituntut melayani, sementara suami merasa berhak menuntut tanpa memberi timbal balik. Pola relasi semacam ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Salah satu area penting yang sering terjadi ketimpangan ini adalah dalam hubungan intim. Tidak sedikit perempuan yang berada dalam posisi sebagai pihak yang wajib melayani. Istri harus memberi kepuasan, kapan pun dan di mana pun, meski sedang kelelahan, sakit, atau tidak menginginkannya. Sebaliknya, kebutuhan dan kerelaannya sering kali suami abaikan.
Padahal, al-Qur’an sendiri menjunjung tinggi prinsip timbal balik dalam relasi suami-istri. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2:187) menyebutkan: “Hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunna” — “Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.”
Ayat ini turun dalam konteks hubungan intim, menegaskan bahwa relasi seksual dalam Islam bukanlah kewajiban sepihak, melainkan kebutuhan bersama yang harus saling memuaskan. Kepuasan yang hanya berpihak adalah bentuk egoisme yang tidak akan pernah menciptakan ketenteraman, apalagi kebahagiaan.
Pandangan Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali pun menyatakan bahwa sebagaimana istri memiliki kewajiban menyenangkan suami, suami pun memiliki kewajiban yang sama terhadap istri. Prinsip timbal balik ini harus menjadi pondasi relasi seksual dalam rumah tangga.
Sayangnya, sebagian orang memahami teks-teks agama secara literal dan lepas dari konteks. Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah yang menyebut bahwa istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan intim akan dilaknat malaikat hingga pagi hari (HR. Bukhari, No. 4697).
Hadits ini tidak bisa dipahami secara kaku. Penolakan istri sering kali dilandasi alasan kuat yaitu bisa jadi kelelahan, kondisi fisik, bahkan potensi pencederaan. Tidak adil bila kemudian ia dianggap berdosa hanya karena menjaga dirinya sendiri.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah menegaskan pentingnya membaca teks keagamaan dalam konteks nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Pelayanan seksual harus bersifat timbal balik, yaitu melakukannya dengan saling pengertian, tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Inilah spirit Islam rahmatan lil alamin yang seharusnya menjadi ruh dalam setiap rumah tangga. []