Mubadalah.id – Fikih sejatinya dituntut lebih arif dalam memandang persoalan-persoalan seksual dalam kenyataan hidup manusia. Sayangnya, kita kerap terjebak pada penilaian moral yang terburu-buru, terutama ketika membicarakan orientasi seksualitas perempuan.
Alih-alih hanya sibuk menyalah-nyalahkan, yang jauh lebih penting adalah bagaimana fikih membangun kesadaran akan tanggung jawab (amanah) dalam perilaku seksual, baik terhadap diri sendiri, pasangan, maupun masyarakat.
Konsep fikih yang amanah inilah yang seharusnya dikedepankan. Yaitu fikih yang menanamkan rasa tanggung jawab, bukan menanamkan rasa takut yang berlebihan dalam setiap sudut kehidupan.
Termasuk seksualitas perempuan seharusnya dibuka, disadari, dipertanggungjawabkan, bahkan disyukuri. Sehat secara moral, biologis, maupun psikologis.
Dalam sebuah seminar, Indriani Bone, seorang teolog perempuan, menegaskan bahwa seksualitas perempuan harus ia rayakan. Karena ia berkaitan langsung dengan reproduksi manusia. Bahkan tubuh perempuanlah yang Tuhan beri kepercayaan untuk memikul amanah besar melahirkan generasi baru. Dari rahim merekalah awal mula peradaban manusia terbentuk. Tanpa manusia, tidak akan ada peradaban.
Karena itu, seksualitas perempuan adalah bagian dari rencana-Nya yang patut disyukuri, diafirmasi, dan dirayakan, bukan ditabukan atau bahkan dianggap najis.
Masyarakat kita sudah seharusnya bertaubat dari pandangan-pandangan seksis dan misoginis yang selama ini menodai martabat seksualitas perempuan.
Teologi Islam
Dalam perspektif teologi Islam, struktur sosial yang misoginis sejatinya adalah bentuk kezaliman kekuasaan yang otoriteryang harus kita lawan. Mengutip hadis Nabi, “Afdhal al-jihad al-qawl al-haqq ‘inda sultanin jair,” yakni menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim adalah jihad yang paling utama. Maka memperjuangkan kedaulatan seksualitas perempuan dalam situasi yang menindas adalah tindakan terpuji.
Sudah saatnya seksualitas perempuan tidak lagi untuk kepentingan di luar dirinya. Sebab praktik demikian hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial yang merugikan semua pihak. Dalam Islam, segala bentuk kerusakan harus kita hilangkan (la dharara wa la dhirar).
Jika kita meyakini Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, yang menegakkan nilai keadilan dan memuliakan martabat manusia. Maka perjuangan mewujudkan keadilan relasi gender adalah salah satu jihad terbaik umat Islam saat ini.
Perjuangan ini bukan untuk mengganti patriarki menjadi matriarki, melainkan untuk membangun tatanan yang saling menghargai, memberi ruang partisipasi yang setara bagi setiap orang berdasarkan kemampuan dan kelayakan bukan berdasarkan jenis kelamin.
Sebagaimana Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tegaskan dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, perjuangan menegakkan keadilan relasi gender ini bukan hanya baik, tetapi juga sangat islami. []