Mubadalah.id – Salah satu persoalan paling krusial yang dihadapi umat Islam masa kini adalah cara memandang orang yang berbeda keyakinan. Mereka kerap dilabeli dengan istilah kafir, musyrik, bahkan murtad.
Padahal, di era modern saat ini, pandangan dunia mayoritas bangsa telah bergeser. Identitas kebangsaan dan kepentingan bersama menjadi fondasi utama hidup bernegara. Sehingga pembedaan atas dasar agama sering kali dianggap diskriminatif.
Bahkan konsep negara kebangsaan menuntut adanya kesetaraan warga negara dalam segala aspek, tanpa memandang agama apa yang masyarakat anut. Berbeda halnya jika suatu negara berdiri atas dasar satu agama tertentu.
Penganut agama mayoritas sering diposisikan sebagai warga negara utama, sedangkan yang lain dipandang sebelah mata. Cara pandang eksklusif semacam ini bisa menimbulkan persoalan serius, bahkan terhadap sesama penganut agama itu sendiri.
Dalam sejarah peradaban Islam, kita dapat melihat bagaimana tuduhan murtad atau penyimpangan ajaran agama kerap menimpa ulama-ulama besar hanya karena perbedaan pendapat atau penafsiran.
Diskriminasi atas dasar keyakinan bukan hanya membungkam perbedaan, tetapi juga mematikan kreativitas berpikir dan berkarya. Ujungnya, cara pandang yang merasa hanya ia yang benar, akan menjadi bumerang di dalam komunitas sendiri.
Di Indonesia
Di Indonesia, isu ini menemukan relevansinya ketika wacana formalisasi syariat Islam terus bergulir tanpa rekonstruksi pemahaman yang komprehensif. Kasus Aceh bisa menjadi contoh. Saat ini, daerah istimewa tersebut tengah merancang Qanun Jinayah yang memasukkan sejumlah tindak pidana dalam fikih Islam. Termasuk murtad dengan ancaman hukuman mati.
Prof. Muslim Ibrahim, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, secara tegas menyatakan bahwa hukuman bagi orang murtad menurut fikih adalah hukuman mati. Bila Qanun ini benar-benar mereka sahkan, Aceh berpotensi menjadi daerah pertama yang menghadapi konflik internal akibat penerapan hukum murtad.
Dampaknya bisa jadi lebih dahsyat dibandingkan masa DOM, sebab label “Islam” atau “murtad” sering kali akan dipegang kelompok mayoritas atau pihak yang sedang berkuasa. Setiap pemikiran keagamaan yang tidak sejalan dengan arus utama berpotensi dianggap menyeleweng dan dicap murtad.
Di Malaysia
Di negeri jiran Malaysia, situasinya juga serupa. Partai Islam Se-Malaysia (PAS) terus mendesak pemerintah federal untuk mengesahkan hukuman mati bagi murtad, setidaknya mereka memulai uji coba di Negara Bagian Kelantan.
Dalam sejarah perdebatan pemikiran Islam di Malaysia, PAS tak segan menuntut hukuman mati negara bagi tokoh-tokoh yang dianggap menyimpang, seperti Kassim Ahmad dan Othman Ali.
Mengutip Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, persoalan-persoalan ini muncul akibat cara pandang yang terlalu tekstual, menutup ruang ijtihad dan tidak membuka diri terhadap perbedaan. Jika hal ini terus kita biarkan, bukan tidak mungkin konflik atas nama agama akan terjadi di depan mata kita sendiri.
Sudah saatnya umat Islam meninjau ulang cara pandangnya terhadap orang yang berbeda keyakinan. Agama mestinya menjadi sumber rahmat bagi semesta, bukan alat menebar ketakutan apalagi kekerasan. Negara pun wajib memastikan kesetaraan warga tanpa diskriminasi keyakinan, agar semua bisa hidup damai dalam bingkai kebangsaan. []