Bagi seorang Muslim, setiap perbuatannya selalu mengandung aspek ibadah jika dilakukan atas landasan aturan dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan dicontohkan Rasulullah, termasuk pernikahan.
Pernikahan bukan hanya jalan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan seksual secara halal, namun juga sebagai ikhtiar membangun keluarga yang baik. Keluarga yang menjadi wadah untuk meneruskan keturunan dan tempat awal mendidik generasi baru untuk belajar nilai-nilai moral, berpikir, berkeyakinan, berbicara, bersikap, bertakwa dan berkualitas dalam menjalankan perannya di masyarakat sebagai hamba dan khalifah Allah.
Keluarga yang bahagia adalah cerminan dari keluarga yang baik, di mana anggota keluarga, satu dengan yang lainnya mempunyai komitmen bersama membangun keluarga dengan prinsip kesalingan. Ada relasi yang baik, sehingga bisa menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam rumah tangga, di antaranya masalah pemenuhan hak, kewajiban dan komunikasi.
Masalah pemenuhan hak dan kewajiban serta mandegnya komunikasi antara suami istri, menjadi salah satu pemicu terjadinya poligami. Sebagai contoh, beberapa alasan yang mendasari suami untuk berpoligami adalah ketika istri tidak bisa melakukan kewajibannya karena sakit, yang karena sakitnya itu sehingga hak suami tidak terpenuhi oleh istri.
Akhir-akhir ini, Fenomena poligami menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia, terlepas dari pro dan kontra, poligami dianggap sebagai hak laki-laki untuk mempunyai istri lebih dari satu yang berlandaskan atas firman Allah di dalam Al-Qurán Surat an-Nisa ayat 3.
Meskipun demikian, Al-Qur’an memberi isyarat bahwa manusia tidak mampu berbuat adil, karena adil bukan semata-mata masalah materi yang bersifat konkrit, tetapi mencakup juga keadilan yang bersifat abstrak (QS. an-Nisa/4:129)
Mengkaji tafsir Al-Qurán Surat an-Nisa ayat 3 di dalam Tafsir Al-Wajiz yang ditulis oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, keputusan untuk melakukan poligami adalah keputusan dengan prasyarat dan pertimbangan-pertimbangan yang sangat berat dan sulit. Sehingga, Wahbah az-Zuhaili menekankan untuk hanya beristri satu, karena dengan menikahi satu orang perempuan saja, itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya.
Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, menafsirkan QS. an-Nisa/4:3, sebagai berikut: “Dan jika kalian khawatir bila tidak bisa berbuat adil dalam perkara anak yatim, seperti menikahi mereka dengan mahar yang kecil, maka takutlah juga berbuat kezaliman yang lainnya, yaitu tidak berbuat adil antara perempuan yang kalian nikahi. Untuk mencegah kezaliman Allah membatasi maksimal jumlah istri. Maka nikahilah wanita yang dihalalkan bagi kalian dari golongan yang berbeda, yaitu menikahi, dua, tiga, atau empat wanita saja. Maka jika kalian khawatir tidak berbuat adil di antara mereka, maka menikahlah dengan satu orang saja, atau budak-budak bagaimanapun banyaknya jumlah mereka tanpa syarat pembagian (keadilan dalam tempat istirahat) bagi budak wanita. Dan terbatas menikahi satu wanita yang merdeka itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya di antara mereka.”
Intisari dari tafsir QS. an-Nisa: 3 di atas, menunjukan bahwa ketika seseorang dihadapkan kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezhaliman, aniaya, dan tidak mampu menunaikan kewajiban, walaupun perkara itu adalah suatu hal yang mubah, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. Akan tetapi ia harus konsisten terhadap hal yang baik dan selamat, karena sesungguhnya sebaik-baik perkara yang diberikan kepada seorang hamba itu adalah selamat.
Senada dengan Tafsir Wahbah az-Zuhaili, walaupun poligami merupakan perkara yang mubah, realitasnya ternyata menyisakan penderitaan bagi istri, orang tua dan anak. Hal ini terungkap dalam hadis Nabi SAW riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah dari Miswar bin Makhramah yang mengangkat peristiwa yang dialami keluarga putri Nabi SAW (Fatimah) ketika Ali akan melakukan poligami.
Miswar bin Makhramah berceritera bahwa ia mendengar Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya berkata, “Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bin Abi Thalib lebih memilih menceraikan putriku dan menikah dengan putrinya (Keluarga Hisyam). Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku” [H.R. al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah].
Hadis di atas, mempertegas bahwa, monogami merupakan jalan maslahah menuju keluarga bahagia dalam pernikahan. Nabi SAW melarang Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sahabat terdekatnya untuk melakukan poligami, bahkan beliau meminta Ali memilih menceraikan Fatimah putri Nabi jika tetap menikahi gadis tersebut. Alasan yang diajukan Rasulullah adalah beliau tidak rela andaikan poligami itu akan menyusahkan dan menyakiti putri tercintanya Fatimah, yang berarti menyakiti perasaan Rasulullah SAW sebagai ayahnya.
Menggabungkan Tafsir Wahbah az-Zuhaili terkait QS. an-Nisa/4:3 dan hadis Nabi SAW di atas, dapat dipahami bahwa poligami berpotensi untuk melakukan kezhaliman, aniaya, dan pengingkaran dalam menunaikan kewajiban, sehingga poligami dapat dicegah oleh semua pihak, baik keluarga istri maupun suami, manakala diduga kuat pernikahan itu dapat menyusahkan istri dan keluarganya.
Untuk mewujudkan keluarga bahagia, poligami seharusnya tidak dijadikan pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Suami istri hendaknya senantiasa memohon hidayah dan pertolongan Allah, membangun relasi yang baik dengan berusaha saling memenuhi hak dan kewajiban, membangun komunikasi yang terbuka dan menjauhkan peluang yang dapat mengantarkan adanya kemungkinan poligami dengan mewujudkan prinsip monogami dalam pernikahannya. Wallahu A’lam. []