Manusia saja yang kemudian menambah-nambahi beban kepada perempuan. Bahwa katanya, perempuan berjilbab lebih taat pada suami, lebih baik, lebih bersinar, lebih ini, lebih itu. Kenyataannya tidak sama sekali. Pergulatan hati dengan iman yang naik turun setiap hari itu lebih ribet dari sekadar selembar kain di kepala. Kita tidak bisa menghakimi amal seorang perempuan lebih banyak atau lebih sedikit dari kerudung yang ia pakai.
Pemakaian kerudung pada perempuan kerap kali menjadi pergulatan yang tidak ada habisnya. Tubuh perempuan tidak hanya menjadi persoalan bagi dirinya sendiri, namun terdapat campur tangan masyarakat dan lingkungan sosial yang turut mengatur serta mengontrol tubuh perempuan.
Tidak jarang orang-orang yang mengungkapkan dirinya hijrah justru melakukan penghakiman dan merasa paling benar untuk mengkritik orang lain. Padahal Islam itu sendiri tidaklah eksklusif, bersifat terbuka, demokratis, dan ramah terhadap perempuan. Kegelisahan tersebut tertuang di dalam buku Kalis yang ditulis secara ringan untuk dibaca oleh kalangan muda.
Muslimah yang Diperdebatkan adalah kumpulan tulisan Kalis dari mojok.co yang berisi tentang Islam dan Perempuan, serta fenomena perempuan Islam yang dilihat dari perspektif feminisme. Banyak hal menarik yang dibahas oleh Kalis, seperti kerudung yang bersertifikat MUI, ulama perempuan untuk kesetaraan gender, gerakan Indonesia tanpa pacaran yang terasa basi, hingga dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Buku ini terdiri dari 26 artikel yang akan memperkaya pembaca terkait ketubuhan perempuan, Islam, dan feminisme.
Salah satu artikel berjudul “Hikayat Merek dan Studi Iklan: Pesan-Pesan untuk Kontes Hijab Hunt” sangat menarik untuk disimak. Dalam tulisan tersebut, Kalis mengkritisi bagaimana pasar diciptakan dengan landasan halal dan syariah. Produk yang merupakan sponsor dari audisi HijabHunt secara nyata menggunakan label agama agar produknya laris di pasaran perempuan muslim Indonesia.
“FYI aja yah, strategi pemasaran yang membuat bias sakralitas nilai agama dan spiritualitas ini memang sedang marak di Indonesia, lho… Dengan tren seperti ini, kita tinggal menunggu munculnya sabun hijaber, pasta gigi hijaber, hingga deodorant hijaber.” (hlm. 32-33).
Ungkapan Kalis tersebut sebetulnya sangat relevan dengan feminisme post-modern mengenai tubuh perempuan. Terdapat tipe tubuh yang lebih diterima, dinormalisasikan, dihirarkikan, dan hal tersebut membangun konstruksi identitas (Prabasmoro, 2003).
Dengan kata lain, kontes hijaber tidak lebih dari komoditas yang menampilkan identitas perempuan muslim jelita dengan produk yang serba halal. Bagi Kalis, muslimah tidak harus cantik sempurna (sebagaimana yang ditampilkan oleh media) dan perempuan semestinya memiliki otoritas untuk membeli produk apapun sesuai dengan kemampuan ekonominya masing-masing.
Secara keseluruhan tulisan-tulisan di dalam buku ini sangat menarik untuk disimak karena sangat membuka wawasan mengenai fenomena sosial perempuan muslim. Tulisan Kalis sarat akan nilai-nilai toleransi, keberagaman, kesetaraan, serta keadilan yang mengajak pembacanya untuk tetap waras dan arif dalam melihat persoalan perempuan muslim. Lewat celotehannya yang apik, buku ini wajib untuk dibaca!
Islam selalu hadir lebih nyata lagi di telinga, mata, serta aliran darah saya di dalam sebuah ide bernama feminisme. Feminisme yang dalam banyak situasi sebetulnya bermakna keadilan. Keadilan hakiki untuk semua manusia. []
Judul buku | : | Muslimah yang Diperdebatkan |
Pengarang | : | Kalis Mardiasih |
Penerbit | : | Buku Mojok |
Tahun terbit | : | 2019 |
Dimensi buku | : | 14 x 20 cm |
Harga buku | : | Rp 78.000 |