Mubadalah.id – Cinta adalah salah satu topik yang selalu menarik untuk dibicarakan. Cinta kerap dijadikan tema utama dalam banyak karya seni dan sastra.Cinta sering digambarkan dalam berbagai representasi keseharian kita. Sebagaimana banyak dinarasikan, cinta pada dasarnya tidak dapat didefinisikan, irasional dan berada pada tataran perasaan. Cinta juga sering dipandang sebagai kebutuhan personal dan menempati ruang privat. Karena pandangan itu banyak diyakini masyarakat kita, sehingga tak jarang dari kita menerima begitu saja hal-hal yang termasuk dalam bagian kontruksi sosial dan budaya. Apakah boleh perempuan memulai dulu dalam menyatakan cinta?
Baca juga: Cinta yang Kokoh
Dalam budaya percintaan masyarakat kita, perempuan tidak diperbolehkan untuk lebih dahulu menyatakan cinta, perempuan tidak diperbolehkan mengejar laki-laki, kalau sudah berkomitmen perempuan harus nurut dan tidak diperbolehkan menolak.
Perempuan tidak diperbolehkan lebih dahulu mengajak laki-laki jalan, perempuan harus bisa menahan rasa rindu sebelum laki-laki lebih dahulu mengungkapkan, pokoknya perempuan harus punya gengsi.
Dunia percintaan pun dipandang sebagai hubungan yang erat kaitannya dengan patriarki dan cenderung laki-laki sentris.
Namun, apakah sikap seperti demikian itu mampu menjaga hubungan atau justru mengganggu bagi perempuan?
Baca juga: Karena Aku Mencintainya
Saya pernah mengalami hal seperti demikian dalam dunia percintaan. Segala perasaan yang saya rasakan selalu ditahan dan dipendam demi menjaga gengsi sebagai perempuan. Sampai akhirnya saya merasa tersiksa sendiri dengan sikap-sikap yang diatur sedemikian rupa.
Alih-alih menjaga hubungan, saya justru dianggap tidak mempunyai perasaan pada pasangan. Karena selalu menahan dan memilih untuk dipendam daripada diungkapkan.
Bagi perempuan ekspresif seperti saya yang lebih sering menyuarakan daripada menyembunyikan perasaannya, tentulah itu menyiksa saya dalam kebebasan berekspresi.
Membaca hal-hal yang diatur sedemikian, membuat saya berpikir betapa perempuan sangat dibatasi haknya atas dirinya oleh norma-norma sosial. Tidak hanya dalam hal fisik, bahkan sampai dalam ranah percintaan pun perilaku perempuan dituntut norma sosial.
Baca juga: Mitos Kecantikan dan Kebanggaan Perempuan
Pada masa para pemikir awal, para feminis mengkritik peran cinta dalam melanggengkan hubungan patriarkal.
Dalam gagasannya, cinta dipandang ideologi yang melegitimasi penindasan perempuan yang membuat perempuan terjebak dalam hubungan yang eksploitatif.
Lynne Pearce dalam kajiannya terhadap percintaan memandang cinta mampu membebaskan perempuan dari cengkeraman patriarki karena kekuatan naratifnya. Cinta dipandang sebagai transformasi dan perlawanan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah: “(Dari Abu Buraidah, dari ayahnya). Sang ayah berkata: ada seorang perempuan muda datang kepada Nabi SAW, dan bercerita: “Ayah saya menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui saya”. nabi SAW memberikkan keputusan akhir di tangan sang perempuan.
Kemudian perempuan itu berkata: “Ya Rasulullah, saya rela dengan yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin mengumumkan kepada para perempuan bahwa para orang tua sama sekali tidak memiliki hak untuk urusan ini”.
Serta hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Dari Ibn Abbas ra: Istri Tsabit bin Qays datang mengunjungi Nabi SAW. Dia berkata: “Tidak ada yang saya kecam dari agama maupun moral Tsabit, tetapi saya tidak ini ada kekafiran dalam keislaman saya (dengan satu rumah Bersama Tsabit).”
Rasulullah SAW bertanya: “Maukah kamu kembalikan kebunnya (yang diberikan sebagai maskawain)?”. “Ya, mau”, jawab sang istri. “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia”, kata Nabi SAW kepada Tsabit sang suami.
Baca juga: 9 Perempuan Periwayat Hadits dalam Al-Kutub Al-Tis’ah
Kedua hadits itu menggambarkan kisah keberanian perempuan untuk melaporkan pelanggaran hak atas dirinya.
Hadits ini masih sangat relevan untuk menegaskan kemandirian dan kemanusiaan perempuan.
Perempuan sebagai manusia utuh yang memiliki hak atas dirinya sendiri tanpa ada yang mengatur, sehingga perempuan benar-benar merasa nyaman dan tidak ada paksaan.[]